Rivalinno Handoko, “Jago Kampung” Pekerja di Ketinggian
Sejak dua dekade lalu, bekerja di ketinggian puluhan meter dengan menggantung di seutas tali, adalah makanan harian Rivalinno Handoko (46). Dari minim pengaman hingga profesional. Berguru dari situ, ‘jagoan kampung” ini ingin memastikan jaminan keselamatan ribuan pekerja ketinggian lebih terjaga.
Pria dengan rambut sebahu yang sebagian tidak lagi hitam ini menyambut hangat di kediaman sekaligus kantornya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Rabu (24/10/2018) siang itu dia masih lumayan santai. Mungkin sangat berbeda jika bertemu sepekan sebelumnya. Saat itu, bersama rekan-rekannya, dan asosiasi tempatnya bergabung, dia menggagas lomba Indonesia Rope Challenge. Sebuah lomba bagi para pekerja tali di ketinggian yang pertama kali diadakan.
Lomba yang diikuti puluhan peserta dari seluruh Indonesia, dan sebuah tim dari Malaysia itu berlangsung lancar. Peserta senang, gembira, dan penuh canda. “Mereka ketawa-ketawa, karena lombanya kami konsep dengan fun. Ada lomba Bucket Water, bawa air di ketinggian, City of Light itu nyalain lampu di atas, atau Messenger, bawa surat sampai kotaknya,” jelas Revi, panggilannya. Kami berbincang di lantai atas kantornya yang teduh.
Namun, meski seru dan penuh hiburan, lomba itu tetap mengutamakan teknik, dan kemampuan peserta. Lebih dari itu, faktor keselamatan adalah yang paling utama. Semua peserta dinilai bagaimana tetap mengutamakan keselamatan saat berada di ketinggian. Meski jauh lebih cepat, tetapi melupakan faktor keamanan, peserta akan didiskualifikasi.
Lomba yang pertama kali diadakan di Indonesia itu menjadi ajang berkumpulnya para pekerja tali di ketinggian. “Jadi lebarannya kita, semuanya pada ketemu. Tapi di situ juga ada sosialisasi dan edukasi, dan yang terakhir bersenang-senang,” kata instruktur Rope Access dengan sertifikasi nasional dan internasional ini. Rope Access pada dasarnya adalah metode bekerja di ketinggian dengan menggunakan tali. Selain dengan tali, beberapa jenis pekerjaan di ketinggian menggunakan metode gondola, scaffolding, tangga, dan lainnya.
Lomba itu adalah oleh-olehnya setelah mengikuti kejuaraan Rope Access tingkat Dunia di Jerman, beberapa bulan lalu. Bersama dua orang rekannya, dia memutuskan harus mengikuti kejuaraan tingkat dunia itu dengan biaya kantor.
Mereka memang tidak juara, tapi mereka mendapat banyak ilmu dan jejaring baru. Ilmu itu lalu diaplikasi, disesuaian dan dimodifikasi, sehingga menjadi lomba Rope Access tingkat Asia Tenggara. Lomba ini terbagi dalam dua kelas, yaitu Speed perorangan, dan tantangan beregu. Selain peserta bersertifikasi untuk tim, juga dibuka kelas umum di perorangan.
Revi menjelaskan, tujuan besar dari lomba ini adalah pentingnya sosialisasi keselamatan tentang pekerja dengan tali di ketinggian. Sebab, kasus-kasus kecelakaan saat bekerja masih sangat sering terdengar.
“Tapi sekarang sudah lebih baiklah. Pas lomba kemarin saya pikir akan lebih banyak ngasih masukan tentang persiapan dan keselamatan. Tahunya sudah pada bagus,” kata Revi. Namun, dia melanjutkan, “yang masih banyak kejadian itu di kasus buruh kasar. Kalau pekerja yang tersertifikasi pasti sedikit banyak sudah lebih amanlah.” Rautnya gundah. Dia melepas dan memasang sendal gunungnya. Berulang-ulang.
Mengutip data Asosiasi Rope Access Indonesia, ada sekitar 8.000 orang yang telah mengikuti pelatihan dan mendapatkan sertifikat untuk bekerja. Sebagian besar dari mereka adalah teknisi. Namun, jumlah buruh kasar di Indonesia jutaan jumlahnya. Para buruh ini yang berada paling bawah dalam urutan keselamatan dan kesehatan kerja. Sebagian besar korban yang terjatuh dari ketinggian saat bekerja adalah buruh.
Sebab, lanjut Revi, mereka tidak mendapat pengetahuan dan pelatihan mumpuni tentang persiapan, teknis, hingga teknik ketika bekerja dengan tali di ketinggian. Buruh bangunan, konstruksi, hingga pekerjaan pembersihan.
Di satu sisi, aturan tentang keselamatan pekerja baru terealisasi 2016 lalu, dalam Peraturan Menteri nomor 9 tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bekerja di Ketinggian. Aturan yang sedikit banyak memberi tekanan agar keselamatan pekerja jauh lebih diutamakan, utamanya pekerja dengan tali di ketinggian.
Jagoan kampung
Revi mengenal pekerjaan dengan tali di ketinggian sejak pertengahan 90-an. Saat itu dia masih kuliah di Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat. Meski kuliah di Depok, dia ngekos di Grogol, dekat kampus Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat. Jaraknya puluhan kilometer. Sebabnya sederhana, saat itu Untar memiliki fasilitas memanjat yang baik, sementara di kampusnya dinding pun tidak ada.
“Tapi saat itu kerjaannya manjat mulu. Tiap hari manjat. Pas ngikut lomba cuma sampai juara kampung. Di nasional kalah. Jagoan kampung,” kenangnya. Dia pernah mengikuti pra-PON 1996 mewakili kampungnya Bandar Lampung. Setahun setelahnya dia mengikuti kejuaraan tingkat Asia.
Menang?
“Nggaklah. Kan cuma jagoan kampung, he he.”
Sebuah tawaran pekerjaan datang padanya. Dia ditantang untuk membersihkan gedung tinggi. Dari situ karirnya sebagai pekerja tali bermula. Selain mengambil sertifikasi profesi pekerja tali di dalam negeri, Revi juga mengikuti pelatihan dan sertifikasi tingkat internasional. Saat ini, dia telah memegang lisensi instruktur untuk keduanya. Tingkat tertinggi untuk bidang pekerjaannya.
Tidak ingin mengecap ilmu sendiri, dia beberapa kali ikut dalam misi kemanusiaan. Saat pesawat Sukhoi jatuh di Gunung Salak, Revi dan rekan-rekannya ikut dalam tim pencarian. Salah satu spesialisasinya adalah Vertical Rescue yang lebih senang disebutnya Rope Rescue.
Selain itu, dia juga mengajak orang-orang untuk ikut dengannya. Orang-orang yang nol besar pengetahuan tentang bekerja dengan tali di ketinggian, diajaknya untuk ikut bergabung. “Ketemunya dari kenalan. Ada teman atau keluarga yang mau kerja, ya saya ajak. Dilatih dari awal sampai punya sertifikat. Yang penting jujur dan mau kerja,” ceritanya.
Total telah ada 20-an orang yang pernah dibina. Orang-orang ini berasal dari banyak daerah di Jawa, Sumatera atau Kalimantan. Tri Harianto (21) salah satunya. Pemuda Kulonprogo ini telah dua tahun bergabung bersama Indorope, perusahaan pekerja tali yang dibentuk Revi.
Tri menceritakan, selepas SMK dia ingin mencari kerja di Jakarta. Seorang saudaranya lalu mengajaknya ke Jakarta dan bertemu Revi. Dia tidak punya bayangan sebelumnya bisa menjadi seorang pekerja dengan tali di ketinggian.
“Dulu paling tinggi manjatnya lima meter. Itu pun sudah was-was,” cerita Tri. “Sampai di sini dikasih pelatihan, ikut kelas, dan dapat sertifikat. Pertama kali manjat gereja di Karawaci itu takut banget, ha ha.”
Namun, jaminan keamanan dan pengecekan peralatan yang digunakan membuatnya bisa lebih tenang. Setelah beberapa kali, dia mulai terbiasa dan tidak takut lagi. “Terakhir kerja di kawasan Blok M, pas kerja ngebersihin kaca, di belakang kita kuburan. Jadi selalu istigfar,” tambahnya.
Revi menambahkan, dia juga menambahkan beberapa kelas tambahan kepada rekan kerjanya ini. Dari kelas Bahasa Inggris, sampai Public Speaking. Tujuannya untuk meningkatkan profesionalitas dan kemampuan pribadi masing-masing. Lewat seutas tali “jagoan kampung” ini menggantung harapan dan mimpi bersama tinggi-tinggi.
Rivalinno Handoko
Bandar Lampung 13 Februari 1972
- Ketua Asosiasi Rope Access Indonesia (2015-2019)
- Penggagas Indonesia Rope Challenge (2018)
- Instruktur ARAI dan IRATA
- Pendiri Indorope (2008-sekarang)