Saridi, Berburu Kaum Disabilitas yang Ingin Jadi Petembak
Wajahnya tampak jenaka. Senyum ceria nan bersahaja selalu dilepaskannya saat berpapasan, berjumpa, dan akan bercakap dengan seseorang. Dia pun senang melempar guyonan dan akrab dengan siapa pun.
Itulah kesan dari pria berambut ikal, berkulit sawo matang, dan tubuh tegap setinggi 172 sentimeter tersebut. Saridi adalah anggota Batalyon 22 Grup 2 Kopassus Kartosuro, Solo, Jawa Tengah. Namun dia bukan tentara sembarangan. Yah, Saridi memang adalah pelatih sekaligus pencari bakat atlet menembak paralimpiade Indonesia.
Tercatat sebagai pelatih tim menembak paralimpiade pertama di Indonesia sejak 2015, Saridi pun rangkap jabatan. Tak hanya sebagai pelatih, ia pun harus berperan sebagai pencari bakat. Apalagi sebelum 2015, belum ada sama sekali atlet menembak paralimpiade di Indonesia.
Untuk menjadi pencari bakat guna membentuk timnas, Saridi tak bisa hanya bermodal ”mata elang” dalam melihat potensi kemampuan calon atlet. Ia juga harus meyakinkan orang bersangkutan untuk total menjadi atlet. Padahal, orang disabilitas banyak yang tak percaya diri. Selain itu, olahraga menembak juga masih awam di masyarakat.
Yang saya dekati kan rata-rata orang biasa, bukan atlet. Mereka pun tidak pernah kenal olahraga menembak, lebih-lebih tidak pernah lihat dan pegang senjata
”Yang saya dekati kan rata-rata orang biasa, bukan atlet. Mereka pun tidak pernah kenal olahraga menembak, lebih-lebih tidak pernah lihat dan pegang senjata. Kalau tidak bisa meyakinkan mereka, bisa-bisa saya tidak dapat atlet seperti sekarang,” ujar bapak tiga anak itu ketika diwawancara di sela perhelatan Asian Para Games 2018 di Jakarta, awal Oktober lalu.
Membidik di mana pun
Selain sebagai anggota aktif Kopassus, Saridi sejatinya juga atlet menembak normal. Ia pernah ikut dan menjuarai sejumlah kejuaraaan menembak tingkat nasional. Namun, jalan hidupnya berubah ketika ditunjuk sebagai pelatih menembak paralimpiade Indonesia untuk berlaga di ASEAN Para Games Singapura 2015.
Padahal, saat itu, Saridi tidak pernah kenal dengan olahraga menembak paralimpiade dan Indonesia belum punya atlet sama sekali. ”Tapi, sebagai prajurit TNI, kami tidak pernah menolak tugas, apalagi itu untuk kepentingan negara. Jadi, tugas itu saya terima walau selanjutnya saya bingung juga,” katanya tertawa.
Praktis, setelah dapat tanggung jawab itu Saridi tak langsung melatih. Misi pertamanya justru mencari atlet. Saat itu lah pertualangan Saridi dalam membidik atlet menembak paralimpiade potensial dimulai. Dalam menjalankan tugas itu, ia bahkan bisa mencari atlet di mana saja. Antara lain, di jalan hingga di lapangan tembak.
Kebanyakan pula ia mendapatkan atlet tanpa sengaja. Salah satu kisah heroiknya adalah saat menemukan Tri Yanti. Atlet menembak paralimpiade nomor 10 meter pistol putri SH1 (keterbatasan fisik bagian bawah) Indonesia itu ditemukan Saridi justru di Lapangan Tembak Manahan, Solo, tempat Saridi biasa latihan dan melatih pada akhir 2017. Saat itu, Tri bekerja sebagai pengganti peluru di lapangan tembak tersebut.
Walaupun kerja di lapangan tembak, Tri tidak pernah pegang senjata. Bahkan, ia pun takut dengar suara letusan senjata. Untuk itu, waktu diajak latihan menembak, ia sempat ragu. Tapi, karena Saridi terus meyakinkan, akhirnya perempuan asal Boyolali, Jawa Tengah itu pun berani mencoba dan lama-lama serius ingin menjadi atlet menembak.
Cerita lain, Saridi pernah menemukan atlet ketika tak sengaja lewat di lapangan sepak bola di daerah Purwosari, Blora pertengahan 2017. Saat itu, ada bola yang mengarah ke mobilnya. Ia berhenti dan melihat ada remaja laki-laki berkaki satu berupaya mengambil bola itu.
Saridi pun berpikir itu anak disabilitas yang bisa dibina jadi atlet menembak. Ia turun dan menghampiri remaja bernama Ahmad Ridwan itu, kelak menjadi atlet menembak paralimpiade nasional di nomor pistol dan senapa klasifikasi SH1.
Daripada nganggur, saya mau saja ikut. Setelah lewat sebulan di Solo, saya diajak latihan menembak. Awalnya saya ragu. Tapi, Pak Saridi selalu meyakinkan dan beri motivasi sehingga saya percaya diri jadi atlet
Seusai berjumpa dan ngobrol, Saridi mengantar Ridwan ke rumah orangtua Ridwan yang ternyata tetangga Saridi. Ia pun menemui orangtua Ridwan dan meminta izin membawa Ridwan ke Solo. ”Daripada nganggur, saya mau saja ikut. Setelah lewat sebulan di Solo, saya diajak latihan menembak. Awalnya saya ragu. Tapi, Pak Saridi selalu meyakinkan dan beri motivasi sehingga saya percaya diri jadi atlet,” ujar Ridwan.
Walaupun memahami cara/teknik menembak, Saridi tidak berpengalaman menjadi pelatih, terutama pelatih untuk atlet disabilitas. Tapi, ia tidak pasrah dan melatih sebiasanya. Justru, ia bertekad belajar menjadi pelatih yang baik dan benar untuk atlet-atletnya.
Saridi pun tergolong orang yang gigih belajar. Ia mencari tahu tentang dunia menembak paralimpiade dan teknik untuk melatih olahraga itu. Salah satu sumbernya dari mesin pencari Google. Karena banyak bahan berbahasa Inggris, ia pun tak segan untuk menerjemahkan bahan-bahan itu via Google terjemahan maupun jasa rekan-rekannya yang pandai berbahasa Inggris.
Tak puas dengan bahan itu, Saridi juga berkirim surat elektronik dan meminta bantuan Komite Paralimpiade Asia (APC) agar dicarikan modul melatih menembak paralimpiade. ”Melatih atlet normal dan disabilitas itu sangat berbeda. Kalau melatih atlet normal, arahannya bisa seragam. Kalau melatih disabilitas, arahannya harus satu-satu karena setiap atlet punya keterbatasan berbeda ,” kata Saridi.
Dunia olahraga disabilitas Indonesia memang belum mendapatkan perhatian cukup baik. Bahkan, tempat berlatih atlet-atlet disabilitas cenderung terbatas, termasuk untuk menembak. Tapi, Saridi tidak mau kalah dengan keadaan sehingga tetap gigih melatih sebaik mungkin.
Saridi tidak letih melatih walau anak didiknya hanya berlatih di lapangan tembak manual dan kadang tidak ada amunisi (peluru). ”Saya ingatkan anak-anak itu adalah bagian menguji mental. Kita tidak boleh kalah dengan keterbatasan. Malah akan lebih membanggakan apabila berprestasi dari latihan yang penuh keterbatasan,” tuturnya.
Pada akhirnya, keterbatasan yang ada tidak membohongi hasil. Dari 11 atlet menembak paralimpiade Indonesia di Asian Para Games 2018, hanya Bolo Triyanto yang bisa lolos final nomor 10 meter air rifle prone campuran SH2 (keterbatasan fisik bagian atas). Sedangkan lainnya selalu gugur di kualifikasi.
Namun, Saridi tetap tak berkecil hati dan justru tetap menyemangati atlet-atletnya. ”Sebagian besar atlet kita hanya berlatih 8-9 bulan. Tapi, mereka justru bisa tampi maksimal, di mana skor rata-rata mereka bisa meningkat dibandingkan saat latihan. Andai dapat perhatian lebih baik, dapat tempat latihan lebih baik, serta lebih sering diikutkan ke pertandingan internasional, mereka pasti bisa lebih baik dari sekarang,” tegas Saridi membanggakan atlet-atletnya.
Saridi
Lahir: Blora, Jawa Tengah, 4 Februari 1978
Istri: Siti Rohana (39)
Anak:
- Muhammad Raihan (14)
- Naila Ramandani Rosadi (8)
- Sumirating Nabil Rosadi (3)