Sutrisno Ikhtiar ”Pedepokan” Pengukir Jepara

Sutrisno
Memiliki bakat mengukir sejak kecil, Sutrisno (49) ingin ilmu yang dimilikinya bermanfaat. Ruang belajar tak hanya dibuka bagi remaja lokal Jepara, tetapi juga dari sejumlah daerah di Nusantara. Lebih dari sekadar produk ekonomi, ukir merupakan bagian kultur luhur yang mesti diwariskan ke generasi pelanjut.
Sejumlah karya ukir relief terpajang rapi di salah satu sudut Jepara Carver, gudang produksi mebel milik Sutrisno, di Desa Senenan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, akhir Agustus lalu. Di antaranya ukiran relief pemandangan alam, seperti air terjun, dan ”Perjamuan Terakhir”, yang terinspirasi lukisan mahakarya Leonardo da Vinci.
Beberapa ukiran relief yang dipajang merupakan hasil karyanya saat masih muda. Sempat ditawar sejumlah calon pembeli dari luar negeri, Sutrisno menolaknya. ”Saya masih ingin menyimpan karya lama saya. Buat kenang-kenangan,” ujarnya.
Penolakannya akan penawaran dari para calon pembeli merupakan bentuk nyata bahwa permintaan akan karya ukir amat tinggi. Namun, apa daya. Dengan hanya memiliki lima pekerja, dia tak sanggup memenuhi permintaan. Dia mengakui, sulit mencari pengukir yang berbakat sekaligus gigih.
Gambarannya, menurut Sutrisno, 10-20 tahun lalu, dari semua anak muda di desanya, sekitar 60 persen menekuni seni ukir relief. Namun, kini hanya sekitar 5 persen. Salah satu faktor penyebabnya adalah perkembangan teknologi yang membuat kaum belia lebih senang bermain gawai. ”Saya juga ingin pemuda sekarang setidaknya menyadari kebudayaan ini (mengukir) ada sejak lama,” kata Sutrisno.

Sutrisno
Otodidak
Keahlian Sutrisno didapat secara otodidak. Pengaruh lingkungan sebagai sentra relief ikut memengaruhi. Kemampuan otodidak dibarengi dengan pendidikan formal, yakni SMIK khusus seni ukir dan kuliah di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Jurusan Seni Kriya.
Selepas lulus, dia coba mencari pengalaman di bidang desain keramik di salah satu perusahaan desain. ”Hanya bertahan tiga bulan karena saya enggak tahan kerja di dalam ruangan. Saya lalu bekerja untuk pengusaha suiseki (batu hias) di Tangerang mendesain kayu tatakan batu,” ujar Sutrisno.
Bersama pengusaha suiseki itu, pada 2002, hidupnya makmur. Gaji cukup, bonus pun dapat. Namun, setelah 1,5 tahun, ia memutuskan membuka usaha sendiri di kampung halamannya di Senenan.
Hanya bertahan tiga bulan karena saya enggak tahan kerja di dalam ruangan. Saya lalu bekerja untuk pengusaha suiseki (batu hias) di Tangerang mendesain kayu tatakan batu.
Pada 2003, dia diminta bantuan oleh perusahaan furnitur di Jepara yang akan bangkrut. Setelah turut membangun kembali perusahaan, Sutrisno kemudian kembali ke rumah. Salah satu alasannya, pada 2005, bisnis furnitur sedang jatuh-jatuhnya. Dia memilih berusaha sendiri di kampung halaman.
Di tahun itu pula dia mengajukan Desa Senenan menjadi sentra ukir dunia ke Pemerintah Kabupaten Jepara. ”Kenapa? Karena sebelumnya, relief dikerjakan di sini (Senenan), tetapi yang kaya orang (pusat) kota. Kami tak ingin itu terus terjadi,” kata Sutrisno.
Akhirnya, di tahun yang sama, Senenan diresmikan oleh Bupati Jepara ketika itu, Hendro Martojo, sebagai sentra ukir relief. Selepas itu, para perajin di Senenan tak hanya menjadi pemasok ke sejumlah ruang pamer, tetapi menjadi tujuan langsung para pencinta ukiran yang datang ke Jepara.
Sutrisno, yang awalnya membuka usahanya di rumah sendiri, memberi kesempatan kepada siapa pun yang ingin belajar mengukir. Tak cuma bagi anak-anak muda di Desa Senenan, tetapi dari luar Jepara, bahkan luar Jawa. Mereka dipersilakan belajar gratis.
Beberapa waktu lalu, misalnya, seorang pemuda asal Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, Patrick Audrey (18), sedang belajar mengukir di gudang milik Sutrisno. Patrick hanya satu dari ratusan pemuda yang sejak 2006 pernah datang ke Senenan untuk belajar kepada Sutrisno.
”Datang dari mana pun saya terima. Dari Papua pun sudah pernah datang. Semua bahan untuk mengukir saya kasih. Kalau ada yang rajin dan ikut membantu, biasanya saya kasih uang jajan juga,” katanya.
Datang dari mana pun saya terima. Dari Papua pun sudah pernah datang. Semua bahan untuk mengukir saya kasih. Kalau ada yang rajin dan ikut membantu, biasanya saya kasih uang jajan juga.
Para siswa magang utusan daerah umumnya belajar untuk membuka usaha sendiri di daerahnya masing-masing. Terkadang, mereka juga membawa tenaga kerja dari Senenan. Hingga kini, sudah lebih dari 100 orang yang belajar kepadanya. Untuk siswa magang, ada sekitar 10 orang setiap tahun.
Sutrisno berharap, dengan upayanya berbagi ilmu, seni ukir relief dapat bertahan meski zaman sudah berubah, termasuk dalam hal teknologi. Paling tidak, dia berharap Jepara, khususnya Desa Senenan, nantinya akan terus berkembang dan tetap dikenal sebagai sentra ukiran relief dunia.
Sutrisno menuturkan, untuk mengukir furnitur, kini terbantu mesin computer numerical control (CNC). ”Namun, tidak ada mesin yang bisa menggantikan pekerjaan mengukir relief. Itulah mengapa, saya kerap kali menolak permintaan karena keterbatasan tenaga kerja,” katanya.
Sebelumnya, Sutrisno memiliki 10 pekerja, tetapi kini tinggal 5 orang. Para pemuda cenderung memilih pekerjaan yang dianggap lebih bergengsi, seperti industri garmen. Sutrisno khawatir, apabila minat pada seni ukir relief semakin turun, bukan tidak mungkin, 20 tahun lagi, jumlah perajin di Senenan bisa dihitung dengan jari.
Adapun relief yang dijual Sutrisno harganya beragam, mulai dari 350 dollar AS hingga 5.000 dollar AS, tergantung dari ukuran.
Semakin turunnya minat pengukir disadari betul oleh Sutrisno. Yang bisa dilakukannya kini hanya terus membuka pintu gudang yang sudah seperti pedepokan pengukir selebar-lebarnya bagi siapa pun. Dia meyakini, seseorang yang memiliki kemauan, kerja keras, dan keuletan akan menjadi pengukir yang mampu menangkap peluang sekaligus menjaga kearifan lokal tersebut terus terjaga.
Sutrisno
Lahir: Jepara, 29 September 1969
Perusahaan: Jepara Carver
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Senenan, Jepara, (1977-1983)
- SMP Negeri 3 Jepara (1983-1986)
- SMIK Negeri Jepara (1986-1990,
4 tahun)
- Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Jurusan Seni Kriya (1991-1996)
Pengalaman:
- Konsultan Program FVC CIFOR di Jepara (2008-2013)
- Merintis usaha furnitur dan kerajinan Jepara Carver (2009-sekarang)
- Berbagai seminar dan pelatihan
Organisasi, antara lain:
- Ketua Sentra Relief Jepara (2005-
sekarang)
- Ketua Kopinkra ”Seni Ukir Relief” (2005-sekarang)
- Pengurus Asosiasi Perajin Kayu Jepara (2008-sekarang)
- Pembina Asosiasi Pengukir Jepara (2013-sekarang)
- Pengurus Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Jepara
Raya, Departemen Advokasi dan
Sertifikasi (2016-sekarang)