Robert Ramone, Cinta Sumba Tanpa Syarat
Puluhan tahun Robert Ramone, CSsR tanpa kenal lelah bekerja mengusahakan pewarisan sisi-sisi baik Sumba, Nusa Tenggara Timur, tanah kelahirannya, tak terkikis perubahan zaman. Dia sempat merasa kesepian karena tidak banyak orang memahami ide dan kerjanya. Kini, upaya panjangnya telah berbuah.
Semakin banyak orang menoleh ke Sumba di Nusa Tenggara Timur. Mereka sukarela berpartisipasi membangun Sumba agar hidup rakyatnya lebih makmur. Salah satunya mewujud dalam Rumah Tenun dan Museum Atma Hondu di kompleks Rumah Budaya Sumba di Kalembu Nga’ Bangga, Weetebula, Sumba Barat Daya. Museum yang diresmikan 29 Agustus 2018 itu digunakan memamerkan kain adat yang sebagian telah langka, selain untuk ruang pamer kain tenun baru para perempuan penenun di Sumba Barat Daya.
Rumah tenun dan museum berarsitektur vernakuler Sumba itu sumbangan donatur yang digalang dalam pergelaran busana perancang Biyan Wanaatmadja. Bangunan lain, seperti kantor, ruang pertemuan terbuka, kapel, hingga tempat tinggal Robert, juga sumbangan donatur.
Pastor dari Ordo Redemptoris itu secara sistematis mengenalkan Sumba sejak 2004. Melalui kemampuan fotografi yang sudah dia asah sejak 1992, Robert merekam alam dan kehidupan masyarakat Sumba. Foto-foto tersebut dia jadikan kartu pos. ”Waktu itu, baru itu yang saya bisa lakukan,” ujarnya akhir Agustus lalu di Rumah Budaya Sumba.
Foto-foto yang dapat berbicara lebih banyak dari seribu kata itu kemudian muncul dalam serangkaian pameran foto, antara lain, di Jakarta. Karya foto-fotonya dibukukan menjadi Sumba yang Terlupakan, dan menggunakan tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Belanda. Hasil terbesar dari foto-foto yang dia hasilkan dan pamerkan adalah munculnya perhatian dari luar Sumba—dari mancanegara dan dalam negeri—pada kehidupan pulau itu.
Kerja tak lelah Robert meningkatkan kehidupan masyarakat Sumba bukan tanpa alasan. Indeks Pembangunan Manusia yang mengukur tingkat kesejahteraan, di Sumba Barat dan Timur pada tahun 2017 hanya 62,3 dan 64,19, di bawah rata-rata nasional 70,81.
Tak lagi sepi
Robert mengupayakan berdirinya rumah adat di seluruh Sumba sebab di sana terjadi pewarisan nilai-nilai hidup antargenerasi ketika semua orang—tua-muda, laki-laki dan perempuan, tetua adat dan warga—mendiskusikan banyak hal.
”Anak-anak belajar tentang kehidupan sambil bermain di dekat ibunya yang menenun atau ketika orang tua berkumpul di rumah adat,” kata Robert yang sejak 2010 penuh bekerja mengurus pengembangan budaya setelah tak lagi berada dalam struktur kepengurusan gereja..
Robert tidak banyak berharap dari pemerintah daerahnya. Dana dari pemerintah pusat untuk pembuatan Rumah Budaya Sumba berkurang banyak. Janji membantu perbaikan rumah budaya oleh pemda tidak pernah terwujud.
Tidak heran jika bertahun-tahun dia sempat merasa sepi dan kesepian.
”Sekarang tidak lagi. Banyak teman berjalan bersama saya,” ujarnya.
Kerja sama dengan arsitek Yori Antar, pendiri Yayasan Rumah Asuh, membuat kerja Robert lebih mudah, termasuk dalam meyakinkan donatur tentang pentingnya pewarisan nilai-nilai budaya antargenerasi.
Kompleks Rumah Budaya Sumba di lahan 50 hektar milik Ordo Redemptoris menjadi bukti mulai berbuahnya cita-cita Robert. Tahun 2011 berdiri dua rumah Sumba di sana dengan bantuan Yayasan Tirto Utomo. Rumah beratap rumbia itu berfungsi sebagai museum budaya Sumba dan tempat berkumpul. Dua rumah dan museum tenun dirancang Yori Antar. Di kompleks itu juga berdiri kamar-kamar yang disewakan kepada wisatawan, sebagai cara membiayai kegiatan rumah budaya dan membantu masyarakat yang membutuhkan.
Kompleks tersebut kini menjadi tujuan kunjungan wisatawan dan mereka yang mencari tahu budaya Sumba. Ordo-ordo lain di luar Redemptoris juga belajar dari Robert sebagai model pelayanan umat dapat berdampingan dengan pariwisata.
Tidak sedikit yang mempertanyakan, sebagai pemuka agama seharusnya dia lebih fokus melayani umat. ”Mudah sekali menjawab pertanyaan tersebut. Saya melayani umat melalui pewarisan budaya,” katanya.
Sejauh ini Robert sudah menginisiasi berdirinya lebih dari 150 rumah adat, antara lain, dengan memanfaatkan program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membangun kembali rumah budaya di seluruh Indonesia mulai 2013. Hasil kerja itu memperlihatkan banyak kemajuan dibandingkan dengan ketika diwawancara Kompas pada 2011.
Robert banyak bekerja sama dengan Yori. Program Rumah Asuh yang melibatkan warga dalam membangun komunitas cocok dengan cita-cita Robert. Masyarakat, demikian Yori, hanya minta bantuan untuk empat tiang utama. Selebihnya mereka bangun sendiri, sesuai tradisi gotong royong hingga kini. Dengan cara ini, bantuan dana yang diberikan hanya Rp 50 juta untuk satu rumah.
Robert mengajarkan warga mencatat detail tiap pengeluaran, lengkap bersama kuitansi pembelian barang. Cara kerja ini pula yang membuat banyak filantropis dan lembaga donor tidak ragu membantu Robert.
Jangan tercerabut
Cinta Robert kepada Sumba tanpa syarat. Dia memahami Sumba pertama-tama melalui ibunya yang dia kenal dalam waktu singkat saja. Dia hampir tidak mengenal ayahnya yang pematung, yang meninggal sejak Robert masih amat belia. Sang ibu sendirian membesarkan empat anak sampai kemudian juga meninggal saat usia Robert 10 tahun.
Robert mengenal budaya Sumba melalui nilai-nilai yang dituangkan sang ibu yang seorang penenun. Ibunya membangkitkan pengetahuan mendalam tentang adat istiadat Sumba. Kecintaannya kepada Sumba dibangkitkan ibunya yang buta huruf dan penganut Marapu. Marapu, tulis Robert dalam Sumba yang Terlupakan, adalah kepercayaan bersifat animistis, roh, dan unsur dinamis. Marapu berasal dari kata Mar yang berarti ’pencipta semesta dan sumber kehidupan’, dan Apu yang berarti ’kakek’.
Sebanyak 60 persen penduduk Sumba menganut Marapu, 40 persen sisanya beragama Protestan dan Katolik, serta sedikit penganut Islam, Hindu, dan Buddha. Robert sendiri penganut Marapu sampai usianya 17 tahun saat dia dibaptis sebagai penganut Katolik.
Upayanya memajukan Sumba tidak akan pernah surut, bahkan oleh masalah kesehatan yang kerap membuat orang-orang yang dekat dengannya khawatir. Masih banyak hal harus dilakukan dalam pewarisan pengetahuan dan budaya Sumba agar masyarakat tidak tercerabut dari akarnya ketika modernisasi terus menyeruak di sana. Harus ada keseimbangan antara menjadi modern dan nilai-nilai kearifan lokal.
”Sumba adalah pulau yang indah, tetapi kehidupan masyarakatnya belum seindah alamnya,” katanya.
Robert Ramone, CSsR
Lahir: Gallu Wawi, Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, 29 Agustus 1962
Pendidikan: Filsafat dan Teologi Wedabhakti, Yogyakarta, 1985-1992
Kegiatan:
- Direktur Lembaga Studi dan Pelestarian Budaya Sumba dan Rumah Budaya Sumba (2010-sekarang)
- Fotografi, khususnya foto tentang budaya dan panorama alam Sumba, 1992-kini
Karya:
- Penghargaan Pelestari Cagar Budaya dan Permuseuman dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2014); penghargaan sebagai Promotor Pariwisata Sumba dari Wakil Presiden RI (2011); NTT Academia Award kategori Humaniora dan Pelestari Budaya (2011)
- Buku fotografi ”Sumba yang Terlupakan”