Takashima Yuta, Orang Jepang Sahabat Mantan Penderita Kusta
Ketika sebagian orang menjauhi mantan penderita kusta, Takashima Yuta (29) justru mendekat dan bergaul erat dengan mereka. Ia tinggalkan kehidupan nyaman di Jepang untuk menghapus stigma terhadap mantan penderita kusta di Indonesia.
Sudah sembilan tahun Yuta bergaul dengan komunitas mantan penderita kusta yang hidup terasing dari masyarakat. Bagi Yuta, mantan penderita kusta atau lepra sama dengan dirinya, orang sehat. Agustus 2018 lalu, ia datang ke Lingkungan Pondok Sosial Para Penderita Cacat (Liposos) Donorojo, Jepara, Jawa Tengah.
Ia cukup populer dengan penghuni pondok. Para mantan penderita kusta yang biasanya minder dan takut bersentuhan dengan “orang sehat” itu, menyambut Yuta dengan pelukan erat. Yuta yang pendiam dan bicara seperlunya, tiba-tiba banyak bicara dan tertawa dengan mereka.
Hubungan Yuta dan mantan penderita kusta memang begitu erat. Maklum, dia berjasa memperjuangkan perbaikan hidup mantan penderita kusta yang umumnya miskin dan terisolasi dari masyarakat sekitarnya.
Yuta tidak datang sendirian. Ia membawa 16 mahasiswa (delapan dari Jepang, delapan dari Indonesia) untuk tinggal bersama mantan penderita kusta di Donorojo, Jepara. Mereka adalah sukarelawan Leprosy Care Community (LCC) Indonesia, komunitas yang dibentuk Yuta.
Bersama Yuta, mereka membantu proyek pembangunan saluran air sepanjang 40 meter selama 10 hari. Mereka bekerja dari pukul 08.00 hingga 17.00 sebagai "buruh" bangunan.
Yuta membimbing para mahasiswa sukarelawan yang belum berpengalaman bekerja bersama mantan penderita kusta. Di bawah sengatan terik matahari, ia mengangkat semen dan pasir, mengaduk adonan, dan melakukan pekerjaan lainnya.
Pemuda asal Kagawa, Jepang memang sangat aktif mengajak masyarakat bergaul dengan mantan penderita kusta. Harapannya, masyarakat tidak lagi mengucilkan kelompok masyarakat yang termajinalisasi itu.
Maklum, hingga saat ini, sebagian besar orang masih sulit menerima mantan penderita kusta yang umumnya menderita cacat tetap di tubuh. Ada sebagian masyarakat yang percaya kusta adalah penyakit kutukan. Sebagian lagi takut berlebihan tertular jika berdekatan dengan penderita kusta. Padahal daya tular penyakit kusta sangat rendah dan perlu waktu lama. Bahkan jika sudah diobati tidak menular.
Penolakan demi penolakan membuat mereka memilih mengasingkan diri ke desa yang menjadi koloni mantan penderita kusta. Mereka hidup dari ladang pemberian pemerintah yang kurang subur. Akibatnya sebagian besar dari mereka miskin karena hanya bekerja menjadi pengemis atau pekerjaan kasar lainnya.
Tinggalkan Jepang
Yuta mulai bersentuhan dengan penderita kusta saat ia menemani pengurus Friends International Workcamp Committee (FIWC) Jepang yang ikut konferensi tentang kusta di Jakarta. Panitia mengajak peserta konferensi berkunjung ke Rumah Sakit Sitanala Kota Tangerang, Banten yang merawat para penderita kusta.
Dari kunjungan itu, Yuta tahu penderita kusta tidak hanya menderita karena penyakitnya, tapi juga karena stigma. Penderitaan mereka menyentuh hati Yuta. Tahun 2009, ia memutuskan kembali ke Sinatala dengan bekal tabungan sebesar Rp 50 juta. Ia tinggalkan dulu kuliahnya di Osaka University dan menetap di kampung mantan penderita kusta di sekitar Rumah Sakit Sitanala.
Di sana, ia berupaya membesarkan hati mantan penderita kusta. Selanjutnya, ia mulai melibatkan orang lain. Ia datang ke Fakultas Ilmu Budaya UI dan berbicara dengan para mahasiswa untuk mengajak mereka menjadi sukarelawan. "Waktu itu saya belum kenal satu pun mahasiswa UI."
Beberapa mahasiswa mau bergabung sebagai sukarelawan. Pada tahun itu juga, Yuta dan beberapa mahasiswa mendirikan Leprosy Care Community (LCC) Indonesia. Tahun 2010, untuk pertama kali LCC mengadakan workcamp di Desa Nganget, Tuban, Jawa Timur. Di sana, komunitas itu tinggal di desa mantan penderita kusta.
Program tersebut berlanjut dan melibatkan mahasiswa dari universitas Surabaya, Malang, Semarang, dan Yogyakarta. Selain itu, ia juga mengajak mahasiswa Jepang. Setidaknya tiap tahun ada 8-12 mahasiswa Jepang datang ke Indonesia untuk menjadi sukarelawan LCC.
Selain berkunjung ke rumah warga, Yuta dan para sukarelawan juga membuat sesuatu yang warga butuhkan, seperti perbaikan jalan dan membuat saluran air. Biaya pembangunan berasal dari Sasakawa Memorial Health Foundation Jepang yang rutin memberi dana. Untuk menghemat biaya pembangunan, Yuta bersama warga dan sukarelawan menjadikan diri mereka sebagai pekerja.
Agar kegiatan itu diketahui lebih banyak orang, Yuta dan sukarelawan LCC kerap mengadakan diskusi lewat media sosial. Mereka juga mengadakan pameran untuk mengampanyekan penghentikan diskriminasi terhadap penderita kusta dan mantan penderita kusta.
Pelajaran berharga
Yuta sejak SMA punya niat untuk membuat sesuatu yang besar dalam hidupnya dan bermanfaat bagi orang lain. Niat itu diinspirasi oleh buku pemimpin partai sosialis Kuba Che Guevara. Niat itu ia wujudkan dengan terjun ke kegiatan sosial.
Pada 2008, ia berangkat ke China untuk menjadi sukarelawan FIWC. Ia bertemu Long Mei Hoa yang cacat karena kusta. Hoa, perempuan tua bersama mantan penderita kusta lainnya tinggal di bukit terasing di Desa Heku, Provinsi Hunan.
“Saya shock melihat keadaan orang yang pernah menderita kusta. Saya sempat hanya diam selama beberapa hari, tapi rasa shock bisa saya hilangkan,” kenangnya.
Saya baru sadar kalau Ibu Hoa mengajarkan saya untuk menerima orang tanpa syarat. Beliau tidak pernah bertanya dan melihat saya siapa, tapi ia mau menerima saya apa adanya
Setelah itu, ia memutuskan untuk menemani dan melayani Hoa selama 10 bulan. Dari situ matanya mulai terbuka. "Saya baru sadar kalau Ibu Hoa mengajarkan saya untuk menerima orang tanpa syarat. Beliau tidak pernah bertanya dan melihat saya siapa, tapi ia mau menerima saya apa adanya,” tutur Yuta.
Saat meninggalkan Desa Heku untuk kembali ke Jepang, Yuta berjanji akan meneruskan apa yang Hoa ajarkan. “Itu yang membuat saya datang ke Sitanala, Nganget, Mojokerto, Blora, dan Donorojo,” katanya.
Pilihan hidup Yuta itu tak urung mengundang tanya ayah-ibunya, Takashima Takenori dan Takashima Ikuko. Tahun 2010, kedua orangtua Yuta datang ke Nganget untuk melihat kegiatan anaknya itu. “Setelah melihat Nganget, mereka tidak bertanya apapun. Mereka membiarkan saya melakukan ini sebab mereka tahu, dilarang pun saya akan tetap melakukannya,” kata Yuta sambil tersenyum.
Bagi Yuta, mantan penderita kusta adalah keluarga. Itulah sebabnya ia kerap menggunakan hari libur dari pekerjaan di sebuah pabrik di Cikarang, Jawa Barat untuk mengunjungi “keluarganya” di lokasi yang jauh dari jangkauan angkutan umum.
Saat orang tengah menikmati libur Lebaran pun, Yuta memilih mendatangi mantan penderita kusta. “Saya kurang suka nongkrong di kafe atau jalan-jalan. Lebih baik ke Nganget atau Donorojo,” katanya.
Ia bertekad akan terus melayani orang-orang yang terdiskriminasi karena kusta. Desember mendatang, ia berencana menikahi gadis Jepang yang juga aktivis sosial seperti dirinya. “Istri saya akan ikut ke Indonesia. Kami akan melakukan pekerjaan ini bersama-sama” tekad Yuta.
Takashima Yuta
Lahir: Kagawa, Jepang, 29 Desember 1988
Pendidikan:
- Osaka University of Foreign Studies Jurusan Bahasa Indonesia (2007-2012)
Pekerjaan:
- Bekerja di perusahaan Jepang di Cikarang, Jawa Barat (mulai 2012)