Yusuf Nugraha, Mengobati Tanpa Menyusahkan Hati
Pelayanan kesehatan tidak sekadar transaksi pengobatan, tetapi pengabdian untuk menyehatkan masyarakat. Seperti Yusuf Nugraha (37), dokter yang mengabdi tanpa melihat siapa yang diobati. Bahkan, dengan sepuluh botol bekas, ia siap melayani dengan sepenuh hati.
Meskipun langit memerah senja, Klinik Harapan Sehat, Desa Sukasari, Cilaku, Cianjur, Senin (16/7/2018), masih dipenuhi pasien. Sebagian orang mengantre giliran pemeriksaan, lainnya menunggu obat. Lebih separuh pasien yang menunggu berpenampilan sederhana, bersandal jepit lusuh, tanpa perhiasan. Beberapa pasien telah menginjak usia paruh baya. Mereka menunggu dengan sabar.
Di salah satu sudut meja pemeriksaan, terpampang informasi pembayaran berobat. Berbeda dengan klinik pada umumnya, Klinik Harapan Sehat memberikan pilihan pembayaran, mulai dari ratusan ribu rupiah, hingga tanpa pembayaran. Semua itu dapat dipilih oleh pasien. Bahkan, ada cara-cara unik untuk membayar pengobatan di klinik ini, yaitu membaca satu Juz Alquran dan dengan sepuluh botol plastik.
Memang, menggunakan sepuluh botol plastik untuk mendapatkan pelayanan kesehatan adalah hal yang tidak wajar. Bahkan jika dirupiahkan, sepuluh botol plastik tidak bisa menutupi biaya pemeriksaan dan obat di rumah sakit umum sekalipun.
Yusuf Nugraha, Direktur Klinik Harapan Sehat sekaligus dokter praktek, sengaja memberikan pilihan pembayaran sehingga meringankan beban masyarakat tidak mampu untuk berobat. Pilihan-pilihan ini berasal dari Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dari klinik sebagai perusahaan layanan kesehatan.
Sore itu, Yusuf tampak memberikan penjelasan program penukaran botol plastik untuk berobat kepada beberapa pasien yang antre untuk berobat. Memakai jas putih rapi, ia menjelaskan dengan Bahasa Sunda yang santun dan halus karena sebagian pasien telah lanjut usia.
Yusuf berbaur bersama pasien di ruang tunggu. Sesekali canda terucap dengan akrab dan tawa terdengar di ruang itu. Tepat di hadapan Yusuf, perempuan lanjut usia duduk dengan tenang dengan senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Saya tidak ingin bapak ibu takut berobat karena tidak ada biaya. Kalau tidak enak badan, ke sini saja. Untuk pembayaran tidak usah dipikirkan,” ujarnya sambil memijat pelan bahu perempuan itu, seakan memijat ibu sendiri.
Yusuf berujar, komunikasi dan membuat nyaman pasien menimbulkan kepercayaan sehingga mereka mengikuti anjuran pengobatan. Energi positif dari kepercayaan yang ada juga memudahkan dokter untuk mengetahui penyakit pasien karena mereka lebih terbuka ketika berkonsultasi.
Bagi Yusuf, kepercayaan dari pasien tidak hanya didapatkan dari komunikasi, tetapi juga rasa tenang dan tidak khawatir karena biaya pengobatan. Ia berujar, terkadang masyarakat tidak mampu cenderung menjauhi pelayanan kesehatan karena tidak sanggup membayar. Apalagi, jika penyembuhan untuk penyakit yang dideritanya membutuhkan biaya besar.
“Mereka memilih memendam sakit karena tidak memiliki biaya berobat, takut ke dokter. Padahal, gunanya seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, menyehatkan masyarakat. Kami disumpah untuk melayani masyarakat,” tuturnya.
Takut sakit
Motivasi Yusuf untuk menolong warga tidak mampu yang sakit tidak muncul dengan sendirinya, namun sudah tertanam sejak ia kecil. Yusuf kecil tidak seberuntung anak-anak lain. Saat berumur lima tahun, anak bungsu dari lima bersaudara itu, melihat keluarganya berpisah.
Dengan nada yang sedikit bergetar, Yusuf bercerita getirnya hidup masa lalu. Ia hidup bersama ibu dan keempat saudaranya dengan sederhana. Hanya sebagai guru sekolah dasar, ibunya harus menanggung kehidupan mereka. Mulai saat itu, Yusuf si anak bungsu takut sakit dan berobat ke dokter.
Mereka memilih memendam sakit karena tidak memiliki biaya berobat, takut ke dokter. Padahal, gunanya seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, menyehatkan masyarakat.
“Saya pernah merasakan ketakutan saat jatuh sakit karena tahu biaya pengobatan tidak murah. Untuk kebutuhan sehari-hari saja kami harus saling berbagi, cukup ataupun tidak. Saya tidak ingin orang lain merasakan hal yang sama,” ujarnya.
Biaya berobat yang mahal membuat Yusuf bertekad untuk menjadi dokter yang mau membantu sesama. Dengan izin dan bantuan keluarganya, Yusuf melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani.
Selama pendidikan dan berkomunikasi dengan berbagai dokter, Yusuf melihat banyak orang menganggap ilmu dan profesi dokter sebagai jasa yang dibayar tinggi. Ia menyayangkan hal itu, karena menjadi dokter adalah mengabdi untuk kesehatan masyarakat.
“Padahal kesehatan itu milik semua orang, sehat adalah hak manusia. Sayang sekali jika ada yang hanya melihat profesi dokter hanya sebatas transaksi, bukan mengabdi. Bagi saya, menjadi dokter adalah cara untuk memanusiakan masyarakat dengan akses kesehatan terjangkau,” ujarnya.
Cara unik
Dengan alasan mengabdi untuk daerah asalnya, Cianjur, Yusuf sengaja tidak membebankan biaya pengobatan kepada masyarakat tidak mampu. Sejak Klinik Harapan Sehat didirikan tahun 2008, ia memberikan beberapa pilihan biaya yang berlaku hingga sekarang. Dengan cara ini, ia berharap masyarakat sekitar mau mengakses layanan kesehatan.
Pada awalnya, metode pembayaran klinik berjalan seperti biasa. Suatu saat, Yusuf menerima pasien dengan pakaian sederhana. Ia bercerita, setelah pemeriksaan, lelaki paruh baya ini dengan ragu mengeluarkan uang Rp 10.000 dari pakaian lusuhnya. Yusuf mencoba menolak karena Klinik menyediakan pengobatan gratis.
“Tapi bapak tersebut menolak dikasihani. Saya sudah lupa kapan waktunya, tapi saya tidak pernah lupa raut wajah tegas bapak itu. Ia mengatakan, uang itu telah dikumpulkan demi mendapatkan pengobatan di sini. Saya terenyuh, tidak tega. Jadi saya terima uang tersebut,” ujarnya.
Padahal kesehatan itu milik semua orang, sehat adalah hak manusia. Sayang sekali jika ada yang hanya melihat profesi dokter hanya sebatas transaksi, bukan mengabdi.
Yusuf lalu menceritakan kejadian itu kepada istrinya, Dewi Kartikasari (32). Dewi yang juga pemerhati lingkungan menyarankan ide pengobatan dengan menukarkan sepuluh botol plastik untuk mendapatkan satu kupon pengobatan gratis.
“Tidak semua orang menerima pemberian secara langsung. Terkadang, memberi itu butuh seni, menolong orang tanpa menyinggung perasaannya. Kami menggunakan metode penukaran botol, agar mereka tidak ragu untuk berobat di sini. Begitu pun dengan metode mengaji satu Juz Al Quran, karena di sini mayoritas muslim,” tuturnya.
Program pengobatan seperti ini tidak selalu berjalan mulus. Sistem subsidi silang yang dibentuk akan memengaruhi penghasilan saat pasien umum lebih sedikit dibanding biasanya. Yusuf mengaku pernah menanggung kerugian ratusan juta rupiah untuk menutupi biaya operasional.
Namun, Yusuf tetap bertahan dengan prinsipnya. Hasilnya, saat ini ia tetap bisa membiayai 46 tenaga operasional, termasuk empat dokter dan satu dokter gigi. Setiap bulannya, Klinik Harapan Sehat melayani kurang lebih 200-300 pasien dengan 40 persen pasien umum, 30 persen BPJS Kesehatan, dan 30 persen program sosial.
Yusuf Nugraha
Lahir: Cianjur, 29 Maret 1981
Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani (Lulus 2006)
Pekerjaan:
Direktur Klinik Harapan Sehat, Cilaku, Cianjur, (2008-sekarang)