Alit, Sarjana Pertama Suku Terpencil
Namanya Alit. Usianya masih 32 tahun. Namun, di lingkungan tempat tinggalnya, Kampung Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau, Alit sangat dipercaya warga. Ia didaulat menjadi Ketua Kerapatan Adat Suku Anak Rawa, Sekretaris Badan Permusyawaratan Kampung, Ketua Sanggar Seni Anak Rawa, dan Ketua Keluarga Besar Ikatan Keluarga Anak Rawa.
Di Riau, Ketua Kerapatan Adat adalah jabatan tertinggi komunitas adat. Kalau disandingkan dengan lembaga adat di Sumatera Barat, setidaknya setingkat dengan Datuk Pamuncak. Jabatan terhormat itu bukan karena ia keturunan darah biru. Orangtuanya hanya pedagang kecil di desa. Mengapa ia dipercaya warga?
Suku Anak Rawa merupakan salah satu komunitas terpencil dan tertinggal di Riau. Masih ada suku lain sejenis, seperti Sakai, Talang Mamak, dan Akit. Suku Anak Rawa masih memiliki kekerabatan dengan Suku Akit yang dikenal sebagai suku anak laut.
Masih sangat banyak orangtua tidak mau mendukung anaknya sekolah. Anaknya juga demikian.
Komunitas Anak Rawa menempati lokasi pesisir timur, Kabupaten Siak yang berbatasan dengan Selat Rangsang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Kampung itu tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Buton, Siak. Penduduk dewasanya sekitar 800 orang. Kampung itu dahulu sangat tertutup bagi orang luar. Warganya lebih memilih pindah lokasi apabila ada komunitas luar masuk ke daerahnya.
Seperempat abad lalu, semua penduduknya animisme. Sekarang agama terbesar warga adalah Buddha, disusul Kristen dan Islam.
Sampai satu dekade lalu, permukiman Suku Anak Rawa masih terisolasi karena tidak ada akses jalan darat. Untuk masuk ke kampung, harus menggunakan perahu tradisional bermesin yang disebut pompong selama tiga jam, dari ibu kota kecamatan di Sungai Apit. Ke Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau, perjalanan mencapai 10 jam. Mata pencarian utama penduduk adalah nelayan.
Perjuangan untuk sekolah
Keterisolasian dan ketertutupan membawa dampak dalam dunia pendidikan. Hampir semua anak putus sekolah. Alit adalah orang pertama di komunitas itu yang menamatkan SMA pada 2005. Ia juga menjadi sarjana pertama pada 2009. Padahal, pada tahun Alit menjadi sarjana, dunia ini sudah terhubung dengan perangkat internet nirkabel, tanpa batas geografis lagi.
Prestasi itu mungkin tidak berarti atau dianggap biasa saja buat orang luar. Namun, di komunitas itu, pencapaian Alit sungguh luar biasa mengingat keinginan orangtua menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi sangat minim. Tidak mengherankan, setelah sembilan tahun Alit tamat di perguruan tinggi, baru ada tambahan dua sarjana lagi di komunitas itu. Keduanya ternyata merupakan anak didik Alit juga.
”Inilah kondisi yang merisaukan saya. Masih sangat banyak orangtua tidak mau mendukung anaknya sekolah. Anaknya juga demikian. Jangankan pendidikan sarjana, untuk menamatkan SMA saja mereka tidak mau,” kata Alit kepada Kompas di Kampung Penyengat, Selasa (31/7/2018), saat melihat dari dekat program pendidikan Keaksaraan Dasar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan buat warga dewasa di sana.
Namun, Alit kecil merupakan kebalikannya. Di tengah minimnya keinginan anak-anak kampung untuk bersekolah, niatnya melanjutkan pendidikan justru sangat besar. Ketika awal masuk SD, ada 12 rekannya sekelas, tetapi hanya lima orang yang tamat. Dari lima orang itu, hanya Alit yang melanjutkan sekolah ke SMP.
”Orangtua sebenarnya tidak setuju saya melanjutkan sekolah. Namun, saya kukuh. Menjelang ujian kelas VI, saya berjualan kue keliling kampung untuk bisa biayai masuk SMP. Saya berangkat ke Selat Panjang (sekarang ibu kota Kabupaten Kepulauan Meranti) dan mendaftar di SMP. Sejak kelas I SMP, saya sudah kos. Untungnya ayah tetap membantu, memberikan uang Rp 25.000 sebulan,” kata Alit.
Uang kiriman orangtuanya tentu tidak cukup untuk biaya kos, uang makan, dan uang sekolah. Alit terpaksa mencari uang tambahan di waktu luang sekolah dengan membantu orang berjualan air tebu di pinggir jalan. Selama enam tahun ia melakoni hidup seadanya sampai tamat sekolah.
Kegigihannya belajar mendapat hasil sepadan. Alit menjadi lulusan terbaik SMA Negeri III Selat Panjang pada 2005. Ia diberi kesempatan kuliah di Universitas Riau melalui jalur undangan panduan bakat unggul daerah. Sayang, orangtuanya tidak setuju. Alasannya, ia sudah terlalu lama meninggalkan keluarga. Peluang kuliah di perguruan tinggi negeri itu akhirnya gugur.
Poniman, guru SMA Alit, yang mengetahui kabar itu langsung menghubungi ayahnya untuk memberi pengertian. Berkat bujukan Poniman, Alit akhirnya diperkenankan kuliah. Namun, undangan di Universitas Riau sudah terlewat sehingga Alit memilih kuliah di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau Jurusan Bahasa Inggris. Ia menamatkan studi selama tiga tahun delapan bulan.
”Saya ingat Pak Poniman mengantarkan saya ke Pekanbaru saat mau kuliah dengan menggunakan kapal Jelatik. Sampai sekarang saya selalu ingat kebaikan beliau,” kata Alit mengenang jasa gurunya.
Setelah menjadi sarjana tahun 2009, Alit kembali ke kampung halaman. Ia melihat tanah kelahirannya masih terisolasi. Nyaris tidak ada kemajuan sejak ia meninggalkan kampungnya sepuluh tahun.
Melihat kondisi itu, hatinya tergerak. Ia bertekad berbuat sesuatu untuk mengubah kampungnya. Ia memilih tinggal dan berbakti di kampung.
Berbekal ilmunya di kuliah, Alit menjadi guru di kampungnya. Pada 2012, ia diangkat menjadi guru honor di SMPN VI di kampungnya. Ia pun menjadi guru pertama dari komunitasnya. Sayang, sampai sekarang posisi sebagai guru honor itu belum juga berubah. Alit belum menjadi pegawai negeri.
Padahal, posisinya sebagai guru sangat sentral. Alit-lah yang selalu membujuk para orangtua di kampung agar mengizinkan anak-anaknya terus bersekolah. Ia selalu datang dari rumah ke rumah. Di luar kegiatan sekolah, ia menghidupkan kembali adat istiadat kampung yang mulai ditinggalkan. Ia juga membina kesenian asli sukunya kepada anak-anak muda dengan melibatkan para orangtua sebagai guru.
Dengan kiprahnya di segala lini, tak mengherankan apabila Alit menjadi orang terpandang di