Daryono Menarikan dan Mengkinikan Tradisi
"Tidak ada alasan seni tradisi mandek. Ada generasi yang melakukan perubahan sehingga nilai-nilai seni tradisi menjadi mengkini." Penari, koreografer Daryono Darmorejono (59) termasuk seniman yang memberi sumbangan pada perubahan tersebut.
Daryono, akrab disapa Daryo, tampil di acara Beksan di Bentara Budaya-Balai Soedjatmoko Solo, pada 21 Juli 2018 lalu. Ia menyuguhkan dua karya Srikandi-Bisma dan Megatruh. Kedua karya itu membuktikan kutipan di atas yang merupakan ucapan tokoh tari Sudiono Humardani. Ucapan tersebut di awal tulisan dicuplik oleh tokoh tari Wahyu Santosa Prabowo dalam diskusi "Pergulatan Daryo di Tengah Era Tari Jawa Klasik, Tradisi & Kontemporer" yang digelar sebelum pentas Beksan.
Menurut Wahyu, kesenian tradisi tidak hanya diterima seperti apa adanya, akan tetapi ada upaya-upaya perubahan. Jika tidak dilakukan perubahan, maka seni tradisi akan mandek dan akan hilang. Daryono, kata Wahyu, menerima seni tradisi tidak saja sebagai warisan akan tetapi juga tantangan. Ia menjawab tantangan tersebut dengan terus berproses.
Dalam berproses itu ada keyakinan bahwa kekuatan dan nilai-nilai dalam tari tradisi itu penting dalam peradaban, bukan berhenti sebagai romantisisme atau nostalgia masa lalu. Tetapi seni tradisi justru digali lebih jauh makna dan nilainya hingga bisa dibawa ke kekinian. Karya-karya Daryono berangkat dari pandangan tersebut.
"Gagahan-Alusan"
Daryono mempunyai akar tradisi yang kokoh. Ia tumbuh dalam keluarga dengan latar belakang tari Jawa klasik. Ayahnya Darmorejono adalah seniman tari di Wonogiri, Jawa Tengah, yang berorientasi pada tari Mangkunegaran. Sedangkan nenek Daryo adalah penari bedaya di Kraton Kasunanan Surakarta.
Semua harus saya pelajari, dan itu semua memberi wawasan pada saya
Pendidikan tari ia dalami secara akademik di sekolah sejak di Jurusan Tari, Konservatori Karawitan Indonesia (kini Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Surakarta ). Kemudian berlanjut di Sekolah Tinggi Seni Indonesia/ STSI, Surakarta. Di sini ia mengenal disiplin tari gaya Yogyakarta, Jawatimuran, Sunda, Bali. "Semua harus saya pelajari, dan itu semua memberi wawasan pada saya," kata Daryono.
Di luar itu ia berguru dan bergaul dengan tokoh tari di Solo seperti Ngaliman, Maridi, Rono Suripto, Sardono W Kusumo, Tasman, dan Wahyu Santosa Prabowo. Ia juga banyak belajar di lingkungan seniman di Pusat Kesenian Jawa Tengah yang pada era 1970-an berada di Sasono Mulyo dalam kompleks Kraton Surakarta, dan "dikomandani" oleh tokoh tari Sudiono "Gendon" Humardani.
Dari pergaulan di lingkungan para tokoh tari tersebut Daryo menguasai benar tari jawa klasik jenis gagahan dan alusan. Pada awalnya, Daryo memang menari gagahan. Akan tetapi, karena ia merasa berpostur kecil, ia terarahkan untuk tari alusan. Dalam hal ini ia berlatih pada empu tari alusan Ngaliman. "Tapi saya tidak membatasi diri harus alusan atau gagahan. Keduanya menjadi alat ekspresi saya."
Dua alat ekspresi itu digunakan Daryo dalam karyanya Srikandi-Bisma yang dibawakan Rambat Yulianingsih dan Destian Setiaji. Lewat tokoh Bisma ia tafsir karakter gagah tapi halus. Tokoh Bisma tampak halus secara bentuk, tapi dari "dalam" nya terasa gagah.
Tradisi itu mempunyai norma tentang tata letak bagian tubuh, dan itu dijadikan desain arsitektur yang kuat
Tari Megatruh ditarikan oleh Daryo sendiri. Karya ini menunjukkan penguasaan tubuh Daryo untuk beragam kebutuhan ekspresi dalam tari Jawa. Lewat kosa gerak yang luas dikuasai, ia berimprovisasi merespons musik sesuai dengan kemampuan saat itu. Ia misalnya menggunakan sikap laku tari yang disebut pucang kanginan atau pohon nyiur tertiup angin. Dalam sikap ini, ia tunjukan posisi ndegeg atau tubuh tegak, dengan cara tulang pinggul ditarik ke belakang dan perut dikempiskan. Adapun posisi dada dan pundak rileks. Jika ada pergerakan ke kanan atau kiri, posisi tidak boleh patah.
"Tradisi itu mempunyai norma tentang tata letak bagian tubuh, dan itu dijadikan desain arsitektur yang kuat. Itulah kekuatan tradisi pucang kanginan," kata Daryo.
Pertunjukan riset
Dari dasar-dasar tari Jawa klasik dan beragam tari dari berbagai dispilin tari tersebut, Daryono menggarap tari. Termasuk terlibat dalam penggarapan Matahati yang diproduseri Atilah Soeryadjaya dan digelar perdana di Singapura. Ia juga menggarap Bedaya Dirada Meta yang disusun berdasar riset bersama Wahyu Santosa Prabowo sejak 2006. Karya ini pentaskan pertama kali pada peringatan 250 tahun Pura Mangkunegaran pada 2007. Pernah dipentaskan di Esplanade, Singapura, pada 2011.
Bedaya Dirada Meta adalah judul tari karya Mangkunegoro I. Karya tersebut sejauh ini belum tak terlacak jejaknya. Setidaknya belum ditemukan catatan tentang deskripsi gerakan, gamelan, atau sinden. Info yang didapat terbatas yaitu karya ini berupa bedaya pria.
Dirada Meta versi Daryono/ Wahyu Santosa Prabowo ini merupakan karya baru yang digarap dengan sumber Babad Tutur, jurnal perang Pangeran Sambernyawa. Didukung juga oleh berbagai catatan tentang gending Mangkunegaran. "Bisa dikatakan sebagai karya baru yang didasarkan atas interpretasi terhadap peristiwa yang ada dalam sejarah. Itu karena tarinya sudah tidak ada," kata Daryono.
Sejarah itu adalah ketika pasukan Mangkunegara I dikepung dua detasemen Belanda. Pasukan Mangkunegaran melawan seperti dirada meta atau gajah mengamuk, dan memenangkan pertempuran.
Jadi kalau ada informasi baru maka karya tersebut sewaktu-waktu bisa berubah. Saat ini saya mentok pada konstruksi (tari) seperti itu
Dengan pendekatan hampir serupa Daryono bekerjasama dengan Wahyu Santosa Prabowo menggarap Bedaya Suka Pratama. Suka Pratama juga merupakan judul tari karya Mangkunegara I yang disusun sebagai penanda atau semacam catatan atas pertempuran di Benteng Verdeburg.
Daryono menyebut Diarada Meta dan Suka Prata sebagai pertunjukan riset, karena karya tersebut disusun berdasarkan riset. "Jadi kalau ada informasi baru maka karya tersebut sewaktu-waktu bisa berubah. Saat ini saya mentok pada konstruksi (tari) seperti itu.."
Daryono seperti mengumpulkan remah-remah budaya yang terserak dan mungkin tak terlacak. Ia susun dengan segala kemampuan dan pengalaman puluhan tahun sebagai penari. Lalu Ia hadirkan sebagai karya hari ini untuk publik hari ini. Dengan begitu tradisi tidak terkubur, dan orang tidak lupa pada akar budayanya.
Daryono Darmorejono
Lahir: Wonogiri, 11 November 1958
Pengalaman:
Penari, koreografer, Dosen Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Abdi Dalem Mangkunegaran sejak 1987
Pendidikan:
- Jurusan Tari, Konservatori Karawitan Indonesia ( sekarang Sekolah Menengah Karawitan Indonesia), Surakarta, 1977
- Sekolah Tinggi Seni Indonesia/ STSI, Surakarta,
Karya tari:
Ruming Mulat (2003), Dirada Meta, Srikandi Bisma, Seta Bisma, Megatruh, Mahakarya Borobudur (2007), Matahati (2010), Umbul Donga Tutup Suro, Bedhayan Matahati, Samparan Matahati (2016), Suka Pratama (2018).