Ridwan Hutagalung Merawat Masa Lalu untuk Masa Depan
Bagi Ridwan Hutagalung, sejarah tidak sekadar penyambung cerita. Baginya, cerita masa lalu adalah pintu menata masa depan. Di Bandung, ia sudah menjalaninya dengan cinta.
Malam baru saja datang saat Ridwan bersama rekan-rekannya dari Komunitas Aleut sedang merapihkan tumpukan buku dari dalam kardus. Aleut adalah komunitas pecinta sejarah yang Ridwan dirikan bersama rekan-rekannya 12 tahun lalu. Buku berbagai bidang ilmu dan bahasa satu persatu disusun rapi. Tak ketinggalan, ragam piringan hitam ditata di rak kayu dalam rumah berukuran 160 meter persegi di Jalan Pasirjaya, Buah Batu, Bandung.
Meskipun dari keluarga menengah ke bawah dan tidak berpendidikan tinggi, mereka suka membelikan buku
"Kami baru pindah sekretariat. Bangunan yang lama sudah terlalu sempit dan berisik. Kami butuh ruang tenang dan nyaman,” ujarnya, Jumat (29/6/2018).
Beberapa buku itu sebagian besar merupakan koleksi pribadi Ridwan. Kebiasaan membaca, tutur Ridwan, ditanamkan kedua orangtuanya dan tumbuh subur hingga kini.
“Meskipun dari keluarga menengah ke bawah dan tidak berpendidikan tinggi, mereka suka membelikan buku. Mungkin, mereka sadar kegemaran membaca buku meningkatkan kualitas hidup. Ternyata itu benar,” kenangnya.
Buku membuka wawasan Ridwan dan mudah membuat penasaran pada beragam hal. Dia tak pilih-pilih tema, semua ia lahap meski ia lebih gandrung pada buku bertema sejarah. "Saya jatuh cinta pada buku-buku Haryoto Kunto. Tidak sekadar membaca, saya datangi tempat yang ditulisnya. Di sana, informasi yang saya dapat jadi lebih kaya."
Ternyata, ada yang lebih penting dari kisah sejarah, yaitu bagaimana kepedulian itu muncul karena bisa mengenal lebih dekat
Rasa cintanya pada sejarah Bandung tak berjalan sendiri. Beberapa rekannya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran juga punya hobi serupa. Pada 2006, mereka sepakat membentuk Komunitas Aleut.
Aleut dalam bahasa Sunda artinya jalan-jalan. Salah satu kegiatan utamanya, tapak tilas tempat-tempat bersejarah di berbagai sudut kota di Bandung. Namun, kegiatan itu membuat Ridwan dan teman-temannya justru gelisah. Mereka tidak ingin Aleut sekadar jadi penikmat sejarah.
“Ternyata, ada yang lebih penting dari kisah sejarah, yaitu bagaimana kepedulian itu muncul karena bisa mengenal lebih dekat. Setelah itu, cakupan topik kegiatan kami perluas. Namun, tetap untuk memelihara cinta pada Bandung,” paparnya.
Tidak Pelit
Konteks perjalanannya pun diperluas. Tak hanya melihat, komunitas ini pun rajin mencari dan memberi pesan terkait keberadaan momen atau lokasi bersejarah. Selain jalan santai, digelar juga kelas literasi. Kelas ini diadakan sejak Juni 2015, biasanya berlangsung setiap Sabtu. Hingga saat ini, sudah menginjak pekan ke-144. “Berkegiatan tidak hanya untuk mengejar hasil, namun menikmati proses,” tuturnya.
Saat ini, total anggota yang terdaftar di Aleut mencapai 3.000-an orang, sekitar 120 orang tergolong aktif. Salah seorang di antaranya adalah Yance (27). Ia bergabung dengan Aleut tahun 2010 dan memperoleh banyak pelajaran mulai keterampilan menulis, manajemen kegiatan, hingga menanamkan pola pikir terbuka pada perubahan.
Anggota lainnya, Tegar (28), mengatakan, Ridwan tak pernah bosan mengajak anggota Aleut membaca. Tidak hanya membuka satu per satu halamannya, ia getol mengajak mencari pesan dari sana. "Bukunya banyak dan dia mempersilahkan kami membaca koleksinya. Tidak ada alasan bagi anggota Aleut untuk tidak membaca karena tidak bisa membeli buku,” tuturnya.
Ridwan tak asal meminta. Kualitas literasinya sudah dibuktikan bukan hanya rajin membaca buku tapi memberi referensi baru. Pada 2014, ia menjadi bagian dari tim Perancangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Toraja. Dia juga dipercaya Kementerian Pariwisata RI menyurvei Daya Tarik Wisata Nasional di kawasan Toba-Samosir, Tanjung Puting, dan Wakatobi sebagai bahan untuk buku panduan wisata.
Ia menjadi narasumber di berbagai instansi. Terakhir, tahun 2018, Ridwan menjadi Narasumber Sejarah Perkebunan di Priangan, dan bagian dari Tim Rebranding PT Perkebunan Nusantara VIII. Ia mengangkat kembali kisah orang-orang besar di balik sejarah perkebunan nasional.
Literasi untuk Negeri
Dia juga rajin menulis buku. Ada lima buku bertema sejarah populer yang ditelurkannya, yakni Braga Jantung Parijs van Java (2008), Where to Go in Bandung (2009), Lebih Dekat dengan Bosscha (2013), Rasia Bandoeng" (2016), dan Pernik Konferensi Asia-Afrika (2015).
Ridwan juga mencoba menularkan kebiasaan membaca dan membangun literasi masyarakat. Dia meminta setiap anggota menulis pengalaman dari berbagai kegiatan. Media sosial juga menjadi wadah untuk menulis. Hingga saat ini, ada ratusan artikel di situs internet Komunitas Aleut yang ditulis anggota.
“Kebanyakan di sini memang penulis amatir tapi ada beberapa anggota yang menjadi penulis profesional di beberapa media daring. Kalau tidak mencobanya, kita tidak akan tahu kemampuan kita. Jika tidak ada tulisan, bagaimana orang-orang bisa tahu ada tempat yang menarik,” tuturnya.
Topik sejarah masih menjadi konsentrasi kami, menjadi pembuka, karena masyarakat umum suka dengan sejarah. Mereka suka dengan cerita
Tidak hanya untuk komunitas, beberapa kegiatan literasi dilakukan terbuka sehingga masyarakat bisa bebas mengikuti. Topik yang ditawarkan bervariasi untuk menghilangkan kejenuhan.
"Namun, topik sejarah masih menjadi konsentrasi kami, menjadi pembuka, karena masyarakat umum suka dengan sejarah. Mereka suka dengan cerita,” tuturnya.
Kini, dengan segala perkembangannya, jalan-jalan tetap jadi roh utama. Sebelum menentukan lokasi, komunitas ini mengadakan pertemuan setiap kamis malam.
Dalam pertemuan tersebut berbagai ide dimunculkan oleh para anggota. Topik yang ditentukan biasanya wacana yang sedang ramai dibicarakan publik atau daya tarik tertentu dan dikaitkan dengan sejarah.
Minggu (15/7/2018), Komunitas Aleut kembali melintasi lorong waktu dengan ceria. Kali ini melalui Museum Geologi Bandung. Rekaman perkembangan Bumi dari zaman prasejarah hingga temuan arkeolog bumi Nusantara, diamati dan ditulis seksama.
Bagi Hani Septi Rahmi (27), anggota komunitas Aleut, sejarah adalah pembelajaran, mengenal, dan membangun pengetahuan. Seperti yang diajarkan Ridwan, tuturnya, kepedulian itu akan datang jika kita mengenal. Usai kunjungan museum Geologi, Hani menjadi lebih tahu bagaimana seharusnya manusia memanfaatkan sumber daya alam.
Anggota lainnya, Amalia Rizqita (22), mengatakan, sejarah menunjukkan peradaban. Jadi, dengan melihat sejarah, dia berharap bisa menggambarkan perjalanan manusia dalam memahami seni sebagai ekspresi diri.
Di antara keceriaan anggotanya, Ridwan berharap, literasi bisa bermanfaat untuk masyarakat. Ia yakin dengan literasi, kepedulian akan tumbuh. Bandung pun akan tumbuh menjadi kota dengan masyarakat yang damai.
Ridwan Hosea Julifar Hutagalung
Lahir: Pematang Siantar, 5 Juli 1967
Pendidikan:
- S1 Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katholik Parahyangan ( lulus 1995)