Riwayat Kehebatan “Si Pecundang”
Gareth Southgate telah menjadi “SouthGreat” dengan G kapital. Orang hebat yang jago meski dulunya pecundang. Pelatih dengan pakaian kebesaran berupa waistcoat ini merayakan kegagalan dengan cara terhormat; mempersiapkan segalanya dengan matang, dan membayarnya dengan torehan mentereng.
Inggris di Piala Dunia 2018 ini serupa sekumpulan singa yang berjalan dengan kepala tegak. Bukan lagi tim "kelas kambing" yang rutin diledek. Mereka selangkah lagi mencapai final, setelah terakhir kali mencicipi posisi yang sama 28 tahun lalu. “It’s coming home,” seru suporter Inggris.
Tim ini melaju dengan terbilang mulus, termasuk dalam laga terakhir melawan Swedia yang berakhir dengan skor 2-0. Drama sekaligus kedewasaan seluruh penggawa tim ini diuji pada laga sebelumnya, saat melawan Kolombia. Mereka bermain sama kuatnya hingga pertandingan harus diselesaikan lewat adu penalti. Sebuah momok bagi kesebelasan Inggris.
Ketika kiper Inggris, Jordan Pickford, menahan tendangan algojo kelima Kolombia, kegembiraan berhamburan ke lapangan. Drama adu penalti yang menguras emosi itu selesai sudah. Mereka lolos ke babak delapan besar Piala Dunia 2018. Inggris menang dengan skor 4-3 dalam adu penalti itu.
Saya telah belajar begitu banyak hal dari kesalahan saya di hari itu, dan bertahun-tahun setelahnya. Ketika ada kesalahan dalam hidup, itu tidak membuat kita berhenti. Kita harus lebih berani. Memperbaiki diri tidak akan membuat kita menyesal
Gareth Southgate adalah pria yang paling berbahagia di dunia saat itu. Kutukan itu telah hilang. Pria yang rutin tampil klimis itu juga menjawab kegagalan besar yang pernah dibuatnya dengan sangat terhormat. Dia membawa negaranya melewati fase menakutkan yang puluhan tahun menghantuinya.
Namun, dia tidak meluapkan kegembiraannya dengan berlebihan. Selepas melompat kegirangan dan memeluk satu-satu anak asuhnya, dia berjalan mendekati pemain Kolombia. Southgate memeluk Mateus Uribe dan Carlos Bacca yang menangis sesenggukan. Keduanya penendang Kolombia yang tendangannya gagal.
Dia membisikkan kalimat penyemangat. “Saya telah belajar begitu banyak hal dari kesalahan saya di hari itu, dan bertahun-tahun setelahnya,” begitu ucapnya. "Ketika ada kesalahan dalam hidup, itu tidak membuat kita berhenti. Kita harus lebih berani. Memperbaiki diri tidak akan membuat kita menyesal."
Pelatih yang menangani Inggris sejak 2016 ini tidak asal bicara. Dia tahu betul bagaimana rasanya menjadi eksekutor yang gagal dalam adu penalti. Dia adalah salah satu pelaku yang membuat publik meledek Inggris sebagai tim yang selalu gagal dalam adu penalti.
Pemuda yang gagal
Pada 22 tahun lalu, dalam semifinal Piala Eropa, Southgate adalah penendang keenam Inggris saat melawan Jerman. Lima penendang sebelumnya dari kedua tim berhasil menyarangkan gol. Dia dengan gagah berani mengambil posisi itu.
Pemain bertahan ini maju dan meletakkan bola di titik putih. Tepat setelah wasit meniupkan peluit, dia berlari, lalu mengarahkan bola ke arah kanan bawah. Tendangannya yang tidak begitu keras mengarah ke posisi kiper, Andreas Kopke. Gagal! Inggris lalu tersingkir setelah penendang keenam Jerman berhasil menyarangkan bola. Southgate tertunduk. Suporter Inggris mengutuk.
Mengenang peristiwa itu, The Business, band dari London Selatan membuat sebuah lagu berjudul “Southgate (Euro 96)”. Bagian reffrain lagu yang berisi caci maki itu berbunyi, “Southgate’s going home, he’s going. Southgate going home, he’s going. Southgate going home, oh no he’s missed the bus.” (Southgate pulang ke rumah, dia pulang. Southgate pulang ke rumah, oh tidak, dia ketinggalan bus).
Saya adalah orang yang telah mengakhiri impian negaraku. Saya tahu ini akan menjadi masalah besar selama hidup saya. Itu akan terus melekat, menjadi ingatan buruk orang tentangku. Dan aku harus menerimanya
Waralaba terkenal Pizza Hut ikut meledeknya dengan membuat iklan memakai fotonya yang memakan pizza dengan kantong kertas yang menutupi sepotong kepalanya.
Southgate adalah pecundang. Saat itu dia berumur 25 tahun. Seorang pemuda yang baru tujuh bulan membela negara membuat coreng yang tidak pernah hilang. “Saya adalah orang yang telah mengakhiri impian negaraku,” ceritanya dilansir Mirror. “Saya tahu ini akan menjadi masalah besar selama hidup saya. Itu akan terus melekat, menjadi ingatan buruk orang denganku. Dan aku harus menerimanya. ”
Kegagalan itu tidak hanya menghantui Southgate bertahun-tahun. Akan tetapi, juga membuat Inggris dikutuk sebagai tim yang buruk dalam adu penalti baik di Piala Dunia maupun Piala Eropa. Tercatat, tim Tiga Singa ini telah lima kali gagal dalam drama adu pinalti.
“Yang saya inginkan (saat itu) adalah taruh bolanya, selesaikan, dan selesaikan!” Kenang Southgate dalam biografinya seperti ditulis The Guardian. Padahal, terburu-buru berarti stres dan membuat arah bola gampang ditebak.
Meski begitu, Southgate tidak ingin tinggal dalam duka. Dia memutuskan bangkit, menjadi pembelajar yang baik, dan memperhitungkan semuanya dengan matang. Termasuk mempersiapkan Inggris menghadapi adu penalti. Dia melatih timnya dengan keras, mendatangkan psikolog, juga menggunakan teknologi terkini untuk membaca kemampuan adu penalti lain.
Dalam adu penalti melawan Kolombia, semua pemain Inggris tidak lagi tergesa. Mereka setidaknya menunggu satu detik setelah peluit untuk menendang dibunyikan, sebelum melakukan tendangan. Padahal, di masa lalu, Inggris adalah tim dengan reaksi tercepat setelah wasit meniupkan peluitnya, yaitu 0,28 detik!
Evolusi keseimbangan
Inggris mengalami perubahan radikal menuju Piala Dunia 2018, dan pria yang dulunya begitu pemalu ini adalah aktor utamanya. Mantan pemain Aston Villa ini memasukkan banyak pemain-pemain muda, dan hanya membawa segelintir pemain senior yang pernah malang-melintang di laga internasional. Jika dirata-ratakan, pemain Inggris berusia 26 tahun. Dari jumlah 23 pemain, sebanyak 19 pemain belum pernah ikut dalam gelaran akbar Piala Dunia.
Banyak yang menilai tindakan yang diambil Southgate seperti menggantang asap, tidak ada faedahnya. Apalagi, kedudukannya sebagai pelatih dianggap terlalu besar baginya. Southgate hanya berpengalaman melatih Middlesbrough selama tiga tahun hingga 2009. Salah satu penolongnya hanya karena dia melatih timnas U-21.
Sensasi Southgate tidak berhenti sampai di situ. Dia juga mengubah taktik permainan Inggris yang selama ini kental dengan strategi empat bek. Bersama asistennya, Steve Holland, dia nekat menggunakan strategi aneh: 3-3-2-2. Taktik itu diambil setelah mengutak-atik banyak strategi sebelumnya.
Southgate memiliki visi keseimbangan dan penguasaan bola. Tim yang dulu terkenal dengan kick and run ini lesap dalam era Southgate. Menguasai bola, melakukan banyak umpan, dan melakukan serangan matang adalah misi sang pelatih. Lapangan tengah harus kuat.
Strategi itu terbukti lancar. Dari babak penyisihan, Inggris hanya kalah satu kali saat melawan Belgia. Itupun banyak yang menduga Inggris sengaja mengalah agar mendapat lawan yang lebih muda di babak selanjutnya.
Sari pati kepemimpinan Southgate ada pada kerja sama dan kepercayaan tim. Sebuah gelang tidak akan membuat bunyi gemerincing dan dia tahu benar hal itu. Dia membangun kolektifitas, kerja sama, kebersamaan dalam setiap timnya. Dia mendengar semua pendapat, dan bersikap rendah hati. Dia mengevaluasi setiap hal dan meperbaikinya. Dia mengajarkan para pemain untuk saling berbincang, mengutarakan banyak hal, saling percaya, dan menjalin ikatan keluarga.
Suara gemerincing kejayaan perlahan mulai terdengar. Membuat piala rebutan seluruh negara yang pernah sekali menjadi milik Inggris pada 1966 itu semakin dekat kembali ke rumahnya. It\'s coming home??? (INDEPENDENT/TELEGRAPH)
Gareth Southgate
Lahir: Watford, Inggris, 3 September 1970
Profesi: Pelatih Tim Nasional Inggris
Pencapaian sebagai pelatih Timnas Inggris: 13 kemenangan dari 23 pertandingan (sampai 10 Juli 2018)