Sri Warso dan Kidung Rampogan untuk Negeri
Sekitar 50 tahun pelukis Sri Warso Wahono berkarya. Dalam 20 terakhir berkutat di tema "rampogan". Menandai 70 tahun usianya, ia akan menggelar pameran bertajuk Kidung Rampogan. Kidung karyanya bermuatan doa bagi keseimbangan kehidupan di negerinya.
”Jikaalau Engkau berkenan
Jangan turunkan perang
Tetapi berilah kami
Damai dan kasih sayang...”
Tulisan tersebut tertera di bagian bawah lukisan Sri Warso Wahono berjudul Rampogan Mintaraga. Karya itu diangkat dari cerita Mahabarata ketika Mintaraga atau Arjuna akan bertempur dengan Karno, kakaknya. Rampogan Mintaraga hanyalah salah satu dari puluhan karya Warso dalam "fase" rampogan. Karya-karya serupa muncul sejak 1998 ketika terjadi huru-hara di negeri ini.
Lewat seni rupa, Warso membuat semacam catatan, permenungan, tentang berbagai peristiwa dan fenomena di sekitarnya. Itu bisa tentang korupsi, watak serakah, watak mulia, perilaku tokoh-tokoh, dan berbagai drama kehidupan dalam kehidupan masyarakat. Istilah rampogan ia pinjam dari salah satu adegan dalam pergelaran wayang kulit ketika pasukan bersenjata lengkap siap siaga dan waspada.
Warso sebagai seniman memaknai rampogan sebagai peristiwa, atau fenomena munculnya ketidakseimbangan. Karena itu, ia memandang perlu adanya penyeimbang. Ketidakseimbangan, kata Warso, harus dikikis untuk menciptakan harmoni.
"Rampogan mempunyai makna filosofi, historis, dan secara fenomenologis mewakili zaman," kata Warso yang ditemui di rumahnya di bilangan Kemanggisan, Jakarta Barat.
Di sana terkumpul puluhan karya yang akan dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, pada 9-19 Agustus mendatang. Tersebutlah antara lain Rampogan Nagari, Rampogan Ibu Pertiwi, Rampogan Betara Kala, Rampogan Harga Diri, Rampogan Tahta dan Mahkota, Rampogan Pundi-Pundi, Rampogan Wewateg Karma, Lampor Rampogan Adat dan Tradisi, dan puluhan karya lain.
Gajah berwatak adigang, adigung, adiguna (membanggakan kekuatan, kebesaran, kepandaian). Dia akan menginjak siapa saja.
Rampogan Batara Kala diambil dari cerita pewayangan tentang tokoh raksasa yang akan menelan putra-putra Pandawa. Kemudian ada mitos tentang Batara Kala yang menelan bulan dan matahari. "Batara Kala itu makhluk yang tidak pernah kenyang. Karena kalau menelan sesuatu akan balik kembali, seperti orang-orang yang serakah," kata Warso.
Dalam Rampogan Wewateg Karma yang menggunakan akrilik dengan kanvas ukuran 200 X 150 tampak sosok gajah, harimau, ular, dan buaya. Dikatakan Warso, manusia tidak keluar dari lingkaran nasib mereka. Wewateg atau karakter mereka tercermin dari sosok-sosok yang tampak dalam lukisan tersebut. Di antara sosok-sosok tampak tubuh-tubuh bergelimpangan. Mereka adalah korban dari watak-watak manusia.
"Gajah berwatak adigang, adigung, adiguna ( membanggakan kekuatan, kebesaran, kepandaian). Dia akan menginjak siapa saja," kata Warso menjelaskan makna gajah dalam lukisannya.
Harimau, dikatakan Warso, adalah watak culas yang suka menerkam dari belakang. Ular adalah watak pandai berkelit, sedang buaya adalah para pemakan bangkai. Manusia menurut Warso akan menemukan karma sesuai karakter dan perilaku mereka.
"Happy-Happy"
Sebelum fase rampogan, Warso berkutat pada tema lukisan yang ia sebut yang cenderung "happy-happy". Ia misalnya bermain di tema yang ia namai ikan dan batu, serta perempuan dalam kamar. Menurut Warso jenis lukisan tersebut payu banget alias sangat laku. Ia mengaku membuat sekitar seratus lukisan, dan hanya tersisa dua karya. "Saya tetap mempertahankan estetika. Saya tetap berprinsip bahwa melukis ya harus bagus," kata Warso.
Kalau saya mengejar lima, saya akan serakah. Uang satu lesung juga tidak akan cukup, dan saya akan merasa kekurangan terus
Ia kemudian beralih ke tema rampogan setelah ada peristiwa yang menggugah nurani kesenimannya. Ia memilih untuk hidup secukupnya dengan karya-karya sesuai pilihan hatinya, dan pilihan itu didukung keluarga. Ia beribarat, dalam melukis ia bisa mendapatkan lima. Akan tetapi, jika dengan mendapat dua saja ia sudah bisa hidup, maka ia tidak akan mengejar untuk mendapat lima.
"Kalau saya mengejar lima, saya akan serakah. Uang satu lesung juga tidak akan cukup, dan saya akan merasa kekurangan terus," kata pria lulusan jurusan Seni Rupa, Fakultas Keguruan Sastra Seni, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Surakarta, 1975.
Perjalanan keseniman Warso dimulai di Solo pada awal 1960an. Sebagai lulusan IKIP, Warso pernah mengajar di sejumlah sekolah sebagai guru kesenian, termasuk mengajar seni suara dan menggambar. Di masa remaja Warso juga pernah aktif sebagai penari, termasuk ikut menari di pentas Ramayana, di candi Prambanan.
Sebagai pelukis, ia mengawali dengan gaya naturalisme. Ia mendapat dorongan dari seniman dari Himpunan Budaya Surakarta seperti Sukatmo, Sumitro, dan Suyanto. Warso mulai menekuni gaya abstrak setelah kuliah dan bertemu dengan doktor seni rupa HB Sutopo. Lulus dari IKIP 1975, Warso ke Jakarta untuk bekerja sebagai anggota tim penyiapan pembukaan Museum Seni rupa dan Keramik yang diresmikan oleh Presiden Soeharto, 1976.
Setelah 30 tahun menggeluti seni rupa, Warso mulai merambah ke ranah sosial politik. Peristiwa politik 1998, dan rentetan peristiwa selanjutnya mengusik pikiran yang kemudian melahirkan karya-karya rampogan. Kini sudah 20 tahun rampogan mewarnai karya Warso dan menurutnya akan terus digarapnya. Dia melihat kekacauan dan harus diatasi agar harmoni terbentuk kembali.
"Karena peristiwa demi peristiwa terus menerus muncul. Itu menggugah saya untuk terus berkiprah, terus melukis."
Minimal sebagai seniman saya sudah memberi kesaksian akan hal-hal yang mengkhawatirkan
Warso menyadari bahwa karyanya tidak akan mengatasi permasalahan, dan tidak akan mengubah keadaan, Namun di dalam lukisan-lukisan rampogan-nya memuat harapan dan doa akan perubahan menuju kehidupan yang harmonis di negerinya. Itu mengapa ia memilih kata kidung sebagai judul pameran. Kidung atau nyanyian dari masa ke masa.
"Minimal sebagai seniman saya sudah memberi kesaksian akan hal-hal yang mengkhawatirkan," katanya.
Dalam katalog pamerannya Warso menulis. "Apa jadinya seni, jika saya tidak menyampaikan kejujuran yang ada dan dikehendaki seni itu sendiri.."
Sri Warso Wahono
Lahir: Solo, Jawa Tengah, 17 Juni 1948
Pendidikan: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri, Surakarta, lulus 1975
Perjalanan karier:
- Anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), 1985-1996
- Sekretaris I dan Ketua Komite Seni Rupa DKJ
- Kepala Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, 2001-204
Pameran antara lain:
- Pameran Tunggal di Sasono Mulyo, Solo, 1972
- Pameran Tunggal di Museum Sejarah Jakarta, 1977
- Pameran di Washington DC, Amerika Serikat bersama seniman Indonesia dalam rangka KIAS, 1992
- Pameran Tunggal Rampogan di Taman Ismail Marzuki, 1999
- Pameran Tunggal Rampogan di Balai Budaya, Jakarta 2015