Oscar Tabarez, Pelatih Tertua Piala Dunia 2018 yang Menolak Takluk
Tangan kanannya bertopang pada sebuah tongkat, berjalan pelan ke pinggir lapangan, lalu tangan kirinya menunjuk ke depan mengarahkan pemain. Dialah Oscar Washington Tabarez Silva yang di usia melewati 71 tahun, memimpin kesebelasan Uruguay dalam Piala Dunia 2018. El Maestro, panggilannya, adalah sebenar-benarnya guru di dalam dan luar lapangan.
Tim nasional Uruguay meledak di Piala Dunia Rusia. Tiga pertandingan di Grup A dilewati dengan gemilang kemenangan. Sembilan poin yang diraih membuat Uruguay memuncaki klasemen di atas tuan rumah, Arab Saudi, dan Mesir.
Pada Senin (25/6/2018), tim ini bahkan mengempaskan tiga gol tanpa balas ke gawang tuan rumah, Rusia. Sebuah gol masing-masing dari Luis Suarez, Edinson Cavani, dan gol bunuh diri dari bek Rusia membikin Uruguay melenggang dengan poin sempurna. Kedua tim bertanding untuk memperebutkan juara grup setelah keduanya dipastikan lolos ke babak 16 besar.
“Berada di puncak (klasemen) sangat membahagiakan saya,” tutur Tabarez seperti dikutip The Independent seusai menundukkan tuan rumah. “Kami bekerja keras untuk mencapai hasil itu. Dan saya menyukai dedikasi serta konsentrasi yang tim tunjukkan dari awal hingga akhir. Mereka melakukan semua rencana yang kami sepakati bersama.”
“Bagi saya, cawan suci sepak bola adalah keseimbangan. Kami bermain dalam keseimbangan setiap waktu,” tambahnya.
Tiga kemenangan dan tanpa kebobolan adalah prestasi Uruguay di Piala Dunia 2018 ini. Dan, Tabarez adalah guru di balik kemenangan tim La Celeste, si Langit Biru itu.
Setiap anak asuhnya melesakkan bola ke gawang lawan, Tabarez ikut berdiri, melompat, bahkan berusaha berlari merayakan gol. Terkadang, dia lupa harus memakai tongkat untuk berdiri.
Pelatih berusia 71 tahun, tertua di ajang empat tahunan kali ini, seakan melupakan sakitnya saat memimpin Luis Suarez dan kawan-kawannya. Padahal, sejak 2016 lalu dia divonis menderita Guillain-Barre Syndrome. Sebuah gangguan kekebalan tubuh yang menyerang saraf sehingga membuat pederitanya mengalami penurunan kerja tubuh. Penyakit ini biasanya dimulai pada kesemutan, lalu berlanjut pada kelumpuhan. Tabarez sering menyangkal penyakitnya dan menyatakan dia hanya mengalami gangguan saraf akut.
Terlepas dari itu, Tabarez menolak takluk pada penyakitnya. “Saya tetap akan melatih (Timnas Uruguay) hingga hasilnya menyatakan sebaliknya,” kata Tabarez dilansir The Sun. Karena penyakitnya ini, dia memimpin Uruguay di Copa Amerika dari kursi roda dan skuter.
Tiga pertandingan telah dilalui Tabarez dan anak asuhnya di ajang sepak bola terbesar ini. Sepertinya, hasil di lapangan hijau masih berpihak kepadanya.
Cinta pertama
Montevidio adalah sebuah kota semenanjung di selatan Uruguay, sekaligus ibu kota negara tersebut. Kota ini berpenduduk cukup padat, yaitu sekitar 1,3 juta jiwa dari total 3,5 juta jiwa penduduk Uruguay. Kota ini dikenal dengan suasana yang nyaman dan bersih, serta beragam tempat wisata bernuansa sejarah.
Pada 3 Maret 1947, Oscar Tabarez lahir di kota ini. Tiga tahun setelah kelahirannya, Uruguay menjadi juara di ajang Piala Dunia di Brasil. Itu adalah gelar kedua setelah menyabet juara pada 1930 dengan status sebagai tuan rumah. Tabarez menjalani masa kecilnya dengan sejarah gemilang pemain bola Uruguay di masa itu, di antaranya Juan Alberto Schiffiano dan Alcides Ghaggia.
Tabarez kecil mulai bermain sepak bola dan jatuh cinta pada permainan itu. Dari bermain bola di jalanan hingga di lapangan sungguhan. Pada usia 20 tahun, dia bergabung dengan tim pertamanya sebagai pemain di klub Sud America. Tabarez banyak berpindah klub, dan posisi utamanya adalah pemain bertahan. Kariernya sebagai pemain tidak spesial.
Pada usia 32 tahun dia memutuskan pensiun dengan tim terakhir adalah Bella Vista. Di tim ini dia memutuskan untuk mengambil kursus kepelatihan setelah mendengarkan banyak saran dari rekan-rekannya.
“Selama tahun terakhir saya sebagai pesepak bola, banyak teman yang merekomendasikan (pelatih) karena saya memang guru sekolah. Saya menganggapnya komentar biasa. Tapi saya juga perhatikan banyak pemain muda yang meminta pendapat saya dan penjelasan terkait sesuatu. Tapi saya hanya mengambil kursus manajer, sebagai persiapan untuk pendapatan baru,” jelas Tabarez, dalam wawancaranya dengan The Guardian.
Tabarez saat itu telah menikah dan mempunyai tiga orang anak perempuan. Dia seorang pria yang mencintai keluarganya. Dia juga menggemari Che Guevara, revolusioner Kuba. Thania, nama seorang anaknya diambil dari nama pasangan tokoh revolusioner itu.
Di sela-sela profesinya sebagai pemain bola, dia juga mengajar sebagai seorang guru. Aktivisnya sebagai guru kembali dilanjutkan pada awal 2000-an setelah tidak melatih beberapa tahun.
Ketika tawaran untuk melatih di akademi Bella Vista datang, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Dari situ, dia lalu diminta untuk bergabung melatih tim nasional uruguay U-20, dan menjuarai cabang sepak bola dalam gelaran Pan America Games pada 1983.
Kariernya sebagai pelatih cukup moncer jika dibanding ketika Tabarez masih menjadi pemain. Dia dikontrak beberapa klub seperti Danubio, Montevideo Wanderes, dan Penarol. Dia membawa Penarol menjuarai Copa Libertadores pada 1877. Setahun setelahnya dia kembali menangani tim nasional Uruguay, dan membawa negaranya melaju ke putaran 16 besar Piala Dunia 1990. Langkahnya dihentikan Italia sang tuan rumah.
Sehabis dua tahun melatih tim Uruguay, dia mulai dilirik sejumlah klub besar. Boca Junior, Cagliari, dan AC Milan adalah klub yang dilatihnya medio 90-an. Pada awal 2000 dia kembali melatih Boca Junior.
Banyak berpindah klub, tidak membuat Tabarez lupa akan cinta pertamanya; tim nasional Uruguay. Dia kembali ke timnas pada 2006 dan dipercaya merancang tim masa depan. Tabarez percaya bahwa sebuah tim yang kuat tidak lahir dengan instan, tetapi dipersiapkan dengan matang.
Dia mencari pemain-pemain muda, menggemblengnya, menanamkan rasa cinta tanah air, dan mengirimkannya ke liga-liga lokal. Dia juga mendorong pemain muda untuk berlaga di liga top dunia dan memotivasi untuk memenangkannya. Layaknya seorang guru, sekaligus seorang ayah, dia mengajarkan disiplin, kerja keras, dan keuletan kepada seorang pemain. Dipadu kelihaiannya menerapkan taktik, Tabarez membuat Uruguay sebagai tim dengan kecepatan dan serangan mematikan.
Pada Piala Dunia 2010, Uruguay lolos ke semifinal, pertama kali sejak 1970 di bawah asuhan Tabarez. Diego Forlan, Diego Lugano, Edinson Cavani, dan Lusi Suarez, adalah beberapa pemainnya ketika itu. Saat pulang ke dari Afrika Selatan, Tabarez dan skuat disambut bak pahlawan. Pada 2014, ia membawa timnya ke babak 16 besar.
“Tabarez membawa perubahan yang Uruguay butuhkan,” ucap ketua asosiasi sepak bola Uruguay (UFA) Wilmar Valdez. “Ketika Suarez dan Cavani mulai bermain, mereka tidak seperti sekarang. Dia (Tabarez) yang membuatnya seperti ini.”
Tabarez menanamkan sikap dan ideologi yang kuat kepada tim nasional Uruguay. Garra Charrua, selalu menjadi senjata rahasia Tabarez dan skuatnya. Garra berarti cakar, sementara Charrua adalah nama suku Indian yang mendiami wilayah uruguay pada abad ke-19.
Semangat pantang menyerah yang meledak-ledak melekat dalam benak asuhannya. Lewat tangan Tabarez, semangat itu diseimbangkan menjadi energi untuk menang dengan cara yang positif. Semangat itu juga ditunjukkannya ketika saraf kaki dan tangannya bermasalah pada 2016. Namun, dia tetap ingin melatih dan merasa semakin baik ketika berada di lapangan.
Piala Dunia 2018 adalah ajang Piala Dunia keempat yang diikuti Tabarez sebagai pelatih Uruguay. Langkah Tabarez dan skuatnya masih cukup panjang sebelum membawa pulang trofi seberat 6,1 kilogram yang dibuat dari emas 18 karat itu. Namun, skuatnya, juga dunia percaya, bersama Tabarez semuanya mungkin. (FoxSport/Independent/Reuters)
Oscar Washington Tabarez Silva
Lahir: Montevideo, Uruguay, 3 Maret 1947
Prestasi:
- Juara Copa Amerika 2011
- Semi final Piala Dunia 2010
- South American Coach of The Year, 2010, 2011
- IFFHS World’s Best National Coach 2011