Yeb Saño Berjalan Kaki 1.500 Km untuk Perubahan Iklim
Naderev ‘Yeb’ Madla Saño (43) yang bertugas sebagai Ketua Tim Negosiasi Filipina harus berbicara dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB, di Warsawa, Polandia, tahun 2013. Padahal, saat itu dia masih dalam suasana duka karena kampung halaman sang ayah, Tacloban, Filipina, diterjang Topan Haiyan, badai terkuat sepanjang sejarah Filipina.
“Selama 15 menit saya menangis. Haiyan menerjang kampung halaman ayah saya. Banyak teman saya meninggal dunia,” tutur Yeb di kantor Redaksi Harian Kompas, setelah terpilih sebagai Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, Februari 2016. Selama dua minggu konferensi iklim di Warsawa, dia berbicara mewakili mereka yang tak lagi bisa bersuara karena hidupnya dirampas topan ganas.
Haiyan menelan korban meninggal lebih dari 6.000 orang, 1.800 orang hilang, dan lebih dari sejuta orang kehilangan pekerjaan. “Momentum itu mendorong saya melakukan kampanye iklim melalui organisasi terbesar ini,” katanya.
Yeb aktif berjuang untuk lingkungan sejak mahasiswa. Dia bergabung dengan World Wildlife Fund (WWF) selama 14 tahun sejak 1997, termasuk sebagai Direktur Nasional Earth Hour (aktivitas mematikan lampu selama sejam secara nasional). Dia kemudian mengemban tugas sebagai Komisioner Perubahan Iklim Filipina. Dia dikenal luas sebagai Ketua Tim Negosiasi Filipina pada Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC (Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim).
Sejak awal Februari lalu, Yeb senantiasa di atas kapal Greenpeace Rainbow Warrior yang melakukan pelayaran kampanye mulai dari Filipina, melayari rute Indonesia, Thailand selatan, Singapura, Malaysia, dan berakhir di Phuket, Thailand. Isu kampanye beragam sesuai wilayah antara lain polusi (Jakarta, Indonesia), keadilan iklim (Filipina), hutan dan terumbu karang (Papua, Indonesia), terumbu karang (Bali, Indonesia), hutan dan hak atas lahan (Malaysia), sebelum mengakhiri kampanye di Phuket (Thailand). Dia pun turun menyelam di Raja Ampat membentangkan spanduk berisi desakan melindungi dan menyelamatkan terumbu karang dan laut dari polusi.
Pada 2014 Yeb pun turut dalam kampanye kapal Greenpeace, Esperanza ke kutub utara, Arktik.
Menjelang konferensi iklim di Paris, Desember 2015, selama 60 hari, Yeb sebagai Duta Spiritual OurVoices bersama adiknya G.A Sanõ-yang selamat dari Topan Haiyan-memimpin People’s Pilgrimage. Ribuan orang berjalan kaki dari Roma ke Paris, sampai menempuh jarak sekitar 1.500 kilometer selama bulan September-Desember 2015.
Konferensi di Paris mencatat sejarah ketika semua negara anggota Kerangka Kerja PBB pada Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) menyetujui dokumen Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Dokumen itu memuat tekad dunia global menahan kenaikan suhu Bumi di bawah dua derajat Celsius dan dengan upaya keras naik maksimal 1,5 derajat Celsius pada 2050, merujuk pada suhu rata-rata global sebelum era industri. Negara peratifikasi diminta berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui pengajuan National Determined Contribution (NDC).
Di atas kapal layar Greenpeace, Rainbow Warrior, Sabtu (18/3/2018), Yeb mengatakan, sebelum terjun di berbagai organisasi masyarakat sipil, dia bekerja di pemerintahan untuk isu-isu perubahan iklim.
Yeb tumbuh di keluarga yang amat revolusionaris. Orangtuanya menentang pemerintahan Ferdinand Marcos, dan ayah ibunya kemudian dipenjara. Sejak usia belasan tahun Yeb telah membaca buku-buku tentang tentang aktivisme. Dia menemukan buku-buku itu, yang disembunyikan ayahnya. Salah satunya, buku Rules for Radicals oleh Saul Alinsky dari Amerika).
Ibunya amat khawatir atas pilihan Yeb. Namun Yeb selalu ingat kata-kata sang ayah, “Kalau ada orang di seberang pagar dipukuli dan kita duduk diam di atas pagar, kita lebih buruk daripada mereka yang memukuli.” Semua saudara kandung Yeb berkecimpung dalam kegiatan yang dekat dengan isu kemanusiaan dan lingkungan.
Batu bara dan hutan Indonesia
Sebagai Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara sejak Januari 2016, Yeb prihatin akan implementasi Kesepakatan Paris yang telah berjalan satu setengah tahun ini. Menurut dia, satu-satunya cara cepat mengatasi perubahan iklim adalah dengan melakukan transformasi infrastruktur energi. Kampanye kapal layar Rainbow Warrior di Asia Tenggara sampai Juni 2018 menyoroti beberapa hal, seperti GRK, kelapa sawit, batubara dan sampah plastik.
“Meski demikian, jika kita membiarkan hutan Indonesia habis, maka tak ada yang bisa kita lakukan untuk menghentikan perubahan iklim. Hutan Indonesia memainkan peran penting untuk mengatur iklim global dan menyerap semua emisi karbondioksida (GRK) yang di atmosfer serta menahan GRK yang belum terlepas ke atmosfer,” katanya.
Dia mengakui, isu itu harus ditangani secara hati-hati agar tidak berdampak buruk. Produk kelapa sawit terkandung dalam lipstik, permen karet, minyak goreng, shampoo, dan sabun.
“Banyak barang mengandung produk kelapa sawit dan itu berkontribusi besar pada ekonomi Indonesia. Saya percaya produksi kelapa sawit bisa dijalankan dengan prinsip berkelanjutan. Kami bekerja dengan komunitas yang melakukan secara berkelanjutan menjaga hutan agar bisa dinikmati generasi mendatang,” tambahnya.
Dari studi terakhir, hanya sekitar 50 perusahaan bertanggung jawab pada lebih separoh penyebab pemanasan global. “Sangat tidak adil kalau semua perusahaan itu terus bertambah kaya dengan mengorbankan banyak orang,” kata Yeb. Padahal mereka, kata Yeb, sudah tahu tentang perubahan iklim sejak 1950-an dan 1960-an, “Namun mereka terus memproduksi minyak dan gas dan sekarang kelapa sawit,” katanya.
Isu penting lain, Greenpeace memberi perhatian khusus pada isu laut sehat. Separuh populasi Asia Tenggara tergantung pada laut sebagai sumber makanan dan sumber penghidupan. Isu mutakhir adalah sampah plastik. China sumber utama sampah plastik ke lautan, disusul Indonesia, Filipina, lalu Thailand. Selain pemerintah di Asia Tenggara harus bertanggung jawab, perusahaan yang memproduksi sampah plastik pun menurut dia, harus bertanggung jawab.
Sekarang, lanjutnya, "Justru dibuat produk-produk yang tidak kita butuhkan seperti kopi "three in one" yang amat tidak sehat dan menambah polusi laut karena plastik sekali pakai benar-benar berakhir di air." "Kami bekerja sama dengan beberapa pemerintah di Asia Tenggara yang menanggapi isu ini dan mengelola secara ramah lingkungan dan bisa mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah," tambah Yeb.
Selain itu, Yeb amat prihatin dengan beberapa negara Asia Tenggara karena masih membangun pembangkit listrik bertenaga batubara. Di Indonesia, dari rencana pembangunan pembangkit 35 Giga Watt, sekitar 47 persen menggunakan batubara.
“Pengajuan NDC negara-negara Asia Tenggara, pada awalnya cukup kuat dan realistis. Masalahnya, amat mudah untuk berjanji, tapi realitas di lapangan, di sektor energi masih amat lemah. Banyak negara masih bersandar pada batubara, yang jelas bertentangan dengan semangat NDC,” ungkapnya.
Proyeksi penggunaan batubara sebagai sumber energi untuk listrik, masih meningkat dalam 20-30 tahun mendatang. “Itu ironis dan amat bodoh. Harga batubara akan terus naik, sementara energi terbarukan akan jauh lebih murah. Maka, sulit dipahami, mengapa pemerintah Asia Tenggara tetap menggunakan batu bara.
Isu sentral kehidupan
Yeb mengingatkan, perubahan iklim adalah isu sentral kehidupan, karena tak ada bidang kehidupan yang bakal luput dari dampaknya, seperti diuraikan dalam buku Naomi Klein, “Climate Change, This Changes Everything”.
“Banyak isu global, kemiskinan, kelaparan dan lain-lain diabaikan banyak pemerintahan. Tapi pemerintah harus memberi perhatian pada perubahan iklim. Kalau tidak, dampak akan semakin parah dan semua hasil kerja keras kita bakal tidak ada artinya sama sekali. Saya berjuang keras untuk perubahan iklim,” tegas Yeb.
Sebagai aktivis, dia amat mengharapkan, komunitas sipil dilibatkan dalam implementasi NDC seperti saat proses negosiasi di level global yang melibatkan secara intens masyarakat sipil. Faktanya, dalam implementasi, “Seakan tidak ada kaitannya dengan perbincangan di tingkat global di UNFCCC, pelibatan masyarakat sipil masih kurang,” ujarnya.
Yeb adalah satu dari sedikit aktivis yang amat vokal tentang ketidakadilan iklim. Di Filipina, dia mendorong petisi terhadap 47 perusahaan batu bara dan minyak yang ditemukan tidak akuntabel terkait hak asasi manusia karena dampak perubahan iklim. Bagi Yeb amat jelas, isu perubahan iklim adalah isu ketidakadilan. Dan bagi Yeb, 1.500 Km adalah sepadan untuk itu.
Naderev ‘Yeb’ Madla Saño
Lahir: Manila (Filipina)
Pendidikan : sarjana filsafat, computer, Fellow pada Oxford Climate Policy Centre dari Oxford University.
Isteri : Eunice Agsaoay
Anak : -Yanni (14)
-Amira (10)
Pekerjaan:
-Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara (2016-sekarang)
-Direktur Program Perubahan Iklim WWF Filipina (bersama WWF selama 14 tahun)
-Direktur Nasional untuk kampanye Earth Hour di Filipina pada 2008-2010
-Ketua Negosiator Iklim Delegasi Filipina pada Konferensi Perubahan Iklim COP-19 tahun 2013, bekerja sebagai pegawai negeri untuk urusan lingkungan dan perubahan iklim, termasuk pemberdayaan komunitas dan pemerintah daerah
-2014, berlayar dengan kapal Greenpeace "Esperanza" untuk menarik perhatian dunia pada isu perubahan iklim.
-Duta global dari Seize Your Power Campaign
-Duta Save the Arctic Movement
-Wali dari Turtle Conservation Society of the Philippines
Wali Eksekutif Inclusive Mobility Network of the Philippines.
Anggota Philippine Movement for Climate Justice
Anggota the Global Catholic Climate Movement.
Lain-lain/Hobi :
-menyelam, bermain sepak bola, memotret, melukis, advokasi/pemberdayaan komunitas. (**)