Priyanto Chang Berbagi Inspirasi Kebaikan
Menggugah empati dan mendorong untuk berbuat baik pasti jauh lebih menyenangkan ketimbang menebar kata-kata bersayap di media sosial. Tak puas hanya mengajar bahasa Mandarin di sekolah, Priyanto Chang (52) terdorong menebar inspirasi kebaikan dengan berbagai kisah penggugah empati kemanusiaan lewat video yang diunggah ke media sosial.
Kisah-kisah film pendek berdurasi kurang dari lima menit menjadi viral di media sosial. Buah keisengan saja, kata Priyanto, mengenai terjemahan film-film pendek asli China yang disebarkan melalui media sosial, seperti Facebook dan Youtube. Di balik keisengannya, dia semata-mata melakukan itu karena jengkel dengan maraknya berita hoaks, baik berbentuk kata-kata maupun gambar-gambar yang seolah asli ternyata palsu.
”Saya jengkel terhadap begitu banyaknya hoaks di negeri ini. Apalagi, dengan bebasnya berkomentar yang memicu sikap pro dan kontra dari penikmat media sosial. Kalau saya ikut menebar sikap pro ataupun kontra, apa bedanya saya dengan mereka?” kata Priyanto di Jakarta, beberapa pekan lalu.
Apalagi, lanjut Priyanto, jika melawan dengan kata-kata sarkas dan nyinyir, apa bedanya dengan penebar hoaks. Tentulah, tak ada bedanya dengan kembali pada sikap menebar kebencian dan memperuncing perbedaan yang ada di masyarakat. Yakinlah, media sosial sesungguhnya bisa digunakan untuk menebarkan kebaikan.
Alhasil, bermodal kemahiran berbahasa Mandarin, guru bahasa Mandarin di SMA Notre Dame, Jakarta Barat, sejak tahun 2000, ini tak kenal lelah mencari kisah-kisah inspiratif dari negeri China. Priyanto menerjemahkan dengan penuh perasaan sehingga menemukan kata-kata tepat yang keluar dari perasaan.
Begitu banyak garapan terjemahannya membuat Priyanto kebanjiran pengakuan dari mereka yang sudah menonton filmnya. Ada yang menjadikan inspirasi film itu sebagai titik balik mengubah sikap dan pandangan hidup. Ada juga yang menjadikan motivasi untuk berbuat kebaikan kepada sesama.
”Rasanya, ya, senang saja. Semakin banyak yang berubah cara pandang kepada sesama, semakin baik negeri ini,” ucap Priyanto.
Budaya China
Selama 12 tahun menggeluti kebudayaan China, Priyanto akhirnya menemukan sebuah film Mandarin tentang kisah seorang anak, Xuefeng, yang meminta ayahnya diselamatkan. Ini cerita yang paling menyentuh baginya dari program acara China Dream. Kisah yang mengangkat orang-orang yang mempunyai cita-cita luhur ternyata akan di-support para donatur di negeri itu.
Di balik kisah-kisah tersebut, Priyanto melihat kisah inspiratif kebaikan itu juga perlu disebarkan. Tak terbayangkan, misalnya kisah berjudul Semir Sepatu. Seorang anak usia 15 tahun dari desa miskin memajang tulisan kecil di pinggir jalan. Ia ingin membeli kotak semir sepatu untuk memulai usaha menjadi tukang semir sepatu.
Ketika dibaca oleh pengusaha yang kebetulan melintas, terjadilah kesepakatan sederhana. Kebutuhannya hanyalah 100 yuan atau sekitar Rp 200.000. Anak itu mengaku hanya memiliki 30 yuan. Sebelum memberikan 70 yuan, pengusaha itu menyebut uang pemberiannya bukanlah cuma-cuma, tetapi harus dikembalikan. Bunganya hanya 1 yuan. Dan, anak itu pun menganggap inilah jalan investasi sederhana.
Ujung kisah tersebut, perjalanan 15 tahun menjadikan anak itu mandiri dan menjadi pengusaha sukses. Saat posisi pengusaha itu terbelit utang, saat itulah mereka kembali berjumpa. Anak itu datang dan membalas dengan memberikan 7 juta yuan. Dan, hanya 1 yuan yang diminta sebagai bunganya. Mereka pun tersenyum.
Priyanto menyematkan inspirasi dari kisah itu, ”Sukses bukanlah berapa banyak uang yang didapat, tetapi berapa banyak orang telah dibantu? Berapa banyak orang berkembang karena kau? Berapa banyak orang tergerak hatinya oleh (perbuatan)-mu terdahulu?”
Tak hanya kisah Semir Sepatu, ada kisah yang sengaja diangkat Priyanto supaya banyak orang menghargai kehidupan. Judul Pembeli Ke-100, misalnya, mendorong siapa pun untuk bisa menolong orang lain. Itu sesungguhnya memberikan setetes kebahagiaan bagi sesama. Ada pula kisah berjudul Tampar yang menyingkapkan agar orang tidak mudah melecehkan orang lain karena kesenangan dan kepuasan hati. Sikap sesaat itu hanya akan menghancurkan hidup pribadi.
”Saya sebisa mungkin menerjemahkan dengan hati, menempatkan seolah-olah memang berada di dalam kisah itu, walaupun terkadang ada juga komplain soal terjemahannya. Terkadang, terpaksa melemparkan terjemahan yang ternyata dianggap kasar oleh orang lain. Tidak apa-apa, itulah indahnya perbedaan, berarti kisah ini juga dilihat banyak orang,” tutur Priyanto sambil tersenyum.
Saya sebisa mungkin menerjemahkan dengan hati, menempatkan seolah-olah memang berada di dalam kisah itu.
Hingga kini, film pendek yang diterjemahkannya sudah cukup banyak. Priyanto menyebut mungkin sudah ratusan, bahkan ribuan. Untuk menerjemahkan satu film, dibutuhkan waktu minimal seminggu sekali. Materi yang didapat kini semakin sulit.
Tak sepeser pun Priyanto memperoleh keuntungan dari keisengannya menerjemahkan film-film itu. Baginya, menerjemahkan adalah latihan rasa sensitivitas diri. Tak mudah lagi berempati di tengah kehidupan modern yang semakin cepat dijejali berbagai kemudahan dan cenderung membawa orang pada sikap individualistis.
”Saya mengukur kemampuan perasaan diri sendiri. Saat menerjemahkan, misalnya, saya harus bisa mendudukkan diri di dalam alur cerita dalam film itu. Bikin diri saya sendiri tersentuh, bahkan jika perlu, sampai menitikkan air mata,” ucap Priyanto.
Dari kisah yang sudah dilemparkan ke media sosial, seperti Facebook, jumlah penonton yang membuka tayangan kisah-kisah inspiratif itu mencapai ribuan. Ada sekitar 3.000 orang yang langsung meminta videonya, bahkan saat berada di sebuah kota, Priyanto pernah diajak untuk ”jumpa fans” dengan mereka.
Sebagai seorang guru, Priyanto tak pernah menyematkan hasil-hasil karya kreatifnya sebagai materi pelajaran. Namun, banyak muridnya justru sudah melihat sendiri kisah-kisah itu. Akibatnya, ada saja muridnya yang langsung menyebut, ”Laoshi (Guru) membuat kegemparan!” Dan, Priyanto pun kembali tertawa lebar mengingat kesan muridnya di sekolah.
Di balik semua kisah yang diangkat Priyanto, kisah intoleransi yang bisa menjadikan cermin kehidupan saat ini sesungguhnya juga ada. Dahulu, Priyanto pernah mau melemparkan kisah-kisah itu, tetapi diurungkan niatnya. Banyak pertimbangan yang harus dilakukan.
Priyanto mengakui, tolok ukurnya bukanlah semata-mata dirinya bisa merasa eksis atas hasil yang bisa dilihat banyak orang, melainkan juga penting melihat kondisi zamannya. Situasi masyarakat bisa semakin terlecut apabila kisah-kisah intoleransi dilemparkan kepada publik. Lebih baik, pilihannya adalah berdiam diri sejenak. Entah sampai kapan....
Priyanto Chang
Lahir: Jakarta, 12 Desember 1965
Istri: Indriani Jananuraga
Anak:
- James Vincent
- Jasen Benedict
Pendidikan:
- SMA Ketapang Jakarta (1984)
- Jinan University, Guangzhou (1992)
Karier:
- China Insurance (1998)
- HRD PT Bekasi Fajar (1996)
- Guru LPK Tarakanita (1999)
- Guru Mandarin SMA Notre Dame, Puri Indah (2000-sekarang)