Basri B Sila Menjaga Musik Tradisi Bugis-Makassar
Hulusi bertiup megah. Napas Basri Baharuddin Sila (65) berembus panjang, lalu menjadi harmoni dari alat tiup dari China tersebut. Meski meniup alat musik ”impor”, cengkok nadanya terdengar akrab: khas Bugis-Makassar. ”Memang saya pakai cara meniup pui-pui. Artinya, bunyi itu selalu kembali ke asalnya,” ujar seniman musik dan seni tradisi selama puluhan tahun ini.
Ruang tengah rumah Daeng Bas, nama panggilannya, terasa lowong dengan bunyi-bunyian yang dia embuskan. Ruangan yang sesak seperti panggung baru baginya. Maklum, puluhan kantong keresek hitam berisi baju penari mengisi ruang tersebut. ”Ini persiapan penari yang akan mentas I La Galigo di Bali nanti. Saya ikut bantu-bantu jadi asisten komposer,” ucap Bas di rumahnya yang sederhana, di Makassar, Sulawesi Selatan, tengah Mei lalu.
Oktober nanti, di bawah asuhan sutradara Robert Wilson, sutradara yang sama yang membawa I La Galigo tur lima benua, Daeng Bas kembali dipercaya tampil kembali bersama sejumlah penari dalam sebuah acara negara tingkat dunia. Selain sebagai asisten, dia juga ikut ambil bagian memainkan alat musik.
Daeng Bas duduk di kursi dengan satu kaki menyilang di atas kaki lainnya. Satu kakinya yang menjejak lantai bergerak seirama nada. Jari tangannya menari seperti gelombang pada alat musik tiup pemberian seorang sahabatnya asal Taiwan itu. Sambil bercerita pengalamannya, pria yang telah berkecimpung lebih kurang 50 tahun di dunia musik dan seni tradisi itu mencontohkan beberapa eksplorasinya terhadap musik tradisi.
”Hulusi ini sebenarnya kalau dimainkan pendek-pendek (suaranya). Tapi saya pakai teknik tiup pui-pui yang napas panjang. Jadinya ya begitu,” kata Bas.
Musik tradisi itu jembatan persahabatan. Saya bisa ke mana-mana, ketemu banyak orang, dan bisa sampai di titik ini.
Pui-pui adalah alat musik tiup dari Bugis yang memiliki nada khas saat dimainkan. Selain pandai memainkan hulusi dan pui-pui, ia juga pandai memainkan beragam alat kecapi, gendang, dan beragam alat musik lain.
”Musik tradisi itu jembatan persahabatan,” jawabnya mantap tentang arti musik tradisi bagi dirinya. ”Saya bisa ke mana-mana, ketemu banyak orang, dan bisa sampai di titik ini karena musik tradisi itu sendiri. Padahal, dulu saya dimaki banyak orang karena dibilang merusak tradisi, he-he.”
Musik baru
Bas muda memang kenyang dimaki dan dianggap merusak musik dan seni tradisi. Eksplorasinya terhadap bunyi-bunyian alat musik tradisi dianggap menyalahi tradisi. Komposisinya disebut melanggar norma musik. Bas dianggap tidak menghormati tradisi ketika memainkan gendang dengan tidak dipangku, melainkan didirikan dan ditabuh dengan rotan.
Komposisi bunyi-bunyian yang dihasilkan Bas juga tidak lagi sesuai ketukan normal. Dia banyak membuat ritme yang berdentum cepat. ”Menurut saya saat itu, kenapa kita tidak boleh membuat komposisi baru? Padahal orangtua kita dulu mampu,” begitu pikirnya.
Ia memilih cuek dengan cemoohan dan makian. Ia tetap berusaha menemukan komposisi baru yang lebih ritmis. ”Padahal, saya main mengiringi pakkarena, saya tidak lari dari tradisi tari itu. Atau iringi tari pagellu. Kalau saya bermusik kecapi, saya tidak lari (mengubah). Tapi kalau saya berkarya, masa saya tidak boleh? Orangtua kita dulu bisa, masa kita mengekor terus?” ungkap ayah tiga anak ini.
Bas berpikir, jika dirinya tidak memulai melakukan pembaruan dalam musik pengiring tari dan eksplorasi instrumen, akan berulang-ulanglah komposisi iringan. Setiap tarian, anging mammiri atau tari lain akan begitu-begitu saja.
Selain mendedah bebunyian, dia juga menambah banyak bunyi-bunyian dari beragam alat musik modern atau alat musik dari luar negeri. Dia memadukan bunyi sehingga sering disebut musik kontemporer. Bas menyebutnya musik kontemporer yang bernapas musik tradisi.
Musik yang menyentuh perasaan, jiwa mudanya bisa tersentuh.
Pertengahan 1980-an, Bas bersama sejumlah rekan yang berpikiran sama, seperti almarhum Asdar Muis, Yudhistira Sukatanya, dan Fahmi Syarif, sering kali mengadakan pertunjukan mandiri untuk mengetes ”ilmu” di Gedung Kesenian Makassar. Dari beberapa kali percobaan, ia mengambil ritme yang cepat dalam komposisinya. Sebab, anak muda yang menonton cenderung lebih suka ketika ritme yang dimainkan bertempo cepat. Menurut Bas, ketika orang muda menyukainya, berarti komposisi musik tradisi yang dimainkannya bisa bernapas panjang.
”Musik yang menyentuh perasaan, jiwa mudanya bisa tersentuh,” kata Bas sambil menjentikkan jarinya.
Semangat muda itu diambilnya dari tabuhan gendang pembuka tari pakkarena. Tabuhan tersebut disebut pakkanjara. Sebuah tabuhan yang meledak-ledak, cepat, dan, menampilkan semangat. ”Pakkanjara di tarian pakkarena itu memang musik yang agak lain. Musiknya sangat cepat, tapi tariannya sendiri lembut sekali. Gerak di bawah ritme musik. Satu ke kiri satu ke kanan.”
Semangat tetabuhan itu lalu dikembangkannya hingga menjadi gubahan baru yang menyentak banyak dimensi.
Karya Bas beraneka rupa. Dari tari dan musik iringan berjudul Doleng-doleng, Loods, Barzanji, menjadi penata musik untuk acara Pasar Malam Indonesia di Den Haag, Belanda, sebagai komposer di teater, juga pengarah musik dalam film Atambua 39 Derajat Celcius.
Penjaga dan pengembang
Bas Kecil tidak pernah mengira bisa sampai ke mana-mana berkat kegigihannya bermain musik tradisi. Perkenalan langsungnya dengan gendrang dan alat musik lain dimulai sejak dia berumur 8 tahun. Di kampungnya di Jongayya, Kabupaten Gowa, acara-acara seperti perkawinan atau sunatan selalu mengundang pemusik tradisi untuk tampil. Dari situ, rasa penasarannya terhadap bunyi-bunyian menggelegak.
Baru pada usia mendekati umur 20 tahun, dia memantapkan langkah untuk benar-benar mempelajari semua hal terkait musik yang dianggapnya sakral tersebut. Dia bergabung di sebuah komunitas bernama Batara Gowa. Di sini, dia bertemu dengan Bapak Rapo, seorang andre guru gendrang, atau maestro gendang asal Sulawesi Selatan.
”Saya pokoknya mau mempelajari tetabuhan dan ritme yang ada di gendang Makassar. Terdengarnya sangat menarik dan unik,” ujar Basri.
Pekerjaan saya seniman, berkesenian. Tidak pernah saya mikir sampai bisa di sini. Saking cintanya, saya tidak pernah menanyakan saya mau ke mana. Tidak pernah mikir jadi ini, jadi apa. Kita menjalani dan menghidupinya saja.
Dia lalu belajar macam pukulan dan tetabuhan dalam tradisi Bugis-Makassar. Bertahun-tahun dia berproses, hingga akhirnya memutuskan untuk berguru ke Pedepokan Seni Bagong Kusudiharjo di Yogyakarta selama dua tahun. Selepas itu, dia kembali ke Makassar, ikut membesarkan Batara Gowa, sebuah rumah kesenian yang saat itu dipimpin istrinya, almarhumah Andi Ummu Unru. Dia mengikuti banyak pentas di dalam dan di luar negeri.
Selama puluhan tahun berkesenian, Basri melihat dirinya sebagai penjaga, pengembang, dan seseorang yang memperkenalkan musik tradisi. Dia memperkenalkan musik tradisi hingga jauh ke lima benua. Dia juga tidak henti mengeksplorasi bebunyian, mencari kemungkinan komposisi baru.
Sementara menjadi penjaga, dia terus mengajarkan kekayaan musik tradisi kepada generasi muda. Lewat Yayasan Kesenian Batara Gowa yang dipimpinnya, dia membuka keran pengetahuan kepada siapa saja.
”Pekerjaan saya seniman, berkesenian. Tidak pernah saya mikir sampai bisa di sini. Saking cintanya, saya tidak pernah menanyakan saya mau ke mana. Tidak pernah mikir jadi ini, jadi apa. Kita menjalani dan menghidupinya saja,” ucapnya.
Itulah Daeng Bas, seorang maestro musik tradisi.
Basri Baharuddin Sila
Lahir: Makassar, 14 Mei 1953
Istri: Andi Ummu Tunru (Alm)
Anak: Andi Nurul Irna, Andi Muhammad Redo, Andi Muhammad Akbar
Karya: Badik, Doleng-doleng, Dumba I, Corak, Sibali-bali
Penghargaan:
- 2010, Piagam Penghargaan World Expo 2010, Shanghai China
- 2012, Piagam Penghargaan Karawitan Muda Indonesia Award dari UNESCO serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
- 2012, Piagam Penghargaan Tokoh Seni dan Budaya dari Pemerintah Kota Makassar
- 2016, Penghargaan Festival Nasional Teater 2016
- 2017, Anugerah Kebudayaan 2017 Kategori Pelopor, Pencipta, dan Pembaharu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan