Susi Sukaesih Nyalakan Asa Anak Putus Sekolah
Pendidikan yang baik dapat memutus rantai kemiskinan. Prinsip itu diyakini Susi Sukaesih (32) ketika mendirikan lembaga pendidikan untuk anak-anak yang putus sekolah. Lewat sekolah itu, ia mendorong anak-anak putus sekolah merengkuh kembali masa depan mereka.
Susi berupaya menyelamatkan anak-anak yang putus sekolah dengan mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Ginus Itaco pada 2012 di Kota Bekasi, Jawa Barat. Awalnya, sekolah ini berbentuk sekolah menengah kejuruan dengan nama SMK Itaco yang menginduk kepada SMK lain.
Nama Itaco sendiri merupakan kepanjangan dari Imperial Technology Automotive and Accounting College. Sesuai dengan nama sekolah itu, Susi bermimpi dapat mengelola sekolah dengan tiga jurusan utama, yakni teknologi terapan, otomotif, dan akuntansi.
Saya sudah mencarikan orang tua asuh, tetapi orangtuanya menolak dengan alasan kalau anaknya bekerja maka bisa membantu ekonomi keluarga
Lalu apa yang mendasari Susi membuat sekolah bagi anak-anak putus sekolah? Semua itu bermula ketika anak didiknya di SMK Iptek Jakarta, putus sekolah. Susi tersentak menyaksikan fakta pahit tersebut. “Saya sudah mencarikan orang tua asuh, tetapi orangtuanya menolak dengan alasan kalau anaknya bekerja maka bisa membantu ekonomi keluarga,” kata Susi, saat ditemui di Kota Bekasi, Minggu (13/5/2018).
Selain anak didiknya itu, Susi menyadari ternyata masih banyak anak yang terpaksa putus sekolah karena persoalan ekonomi yang membelit keluarga mereka. Sejak saat itu, Susi gelisah karena ingin berbuat sesuatu. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai pengajar di SMK Iptek. Setelah itu, ia mencoba merintis sekolah untuk menampung anak-anak dari keluarga miskin. Sekolah itu diberi nama SMK Itaco.
Berburu siswa miskin
Untuk merintis sekolah tersebut, Susi meminjam uang dari beberapa kolega agar dapat membeli perlengkapan sekolah seperti meja kursi dan tiga unit komputer. Susi lalu berkeliling ke kampung-kampung dan permukiman kumuh untuk mencari anak-anak putus sekolah.
Karena merintis sekolah setara SMK, anak-anak yang dikumpulkan Susi adalah mereka yang putus sekolah pada tingkat SMA atau sederajat. Susi menyeleksi mereka dengan melihat latar belakang ekonomi keluarga dan keinginan kuat anak tersebut untuk kembali melanjutkan pendidikan.
Siswa (yang saya kumpulkan) ini benar-benar dari kalangan marginal. Orangtua mereka itu ada yang bekerja sebagai buruh bangunan, asisten rumah tangga, pedagang kecil, tukang ojek, ada juga siswa yang yatim piatu
“Siswa (yang saya kumpulkan) ini benar-benar dari kalangan marginal. Orangtua mereka itu ada yang bekerja sebagai buruh bangunan, asisten rumah tangga, pedagang kecil, tukang ojek, ada juga siswa yang yatim piatu,” ujar Susi.
Setelah terkumpul 25 anak putus sekolah yang ada di Kota Bekasi, Susi kemudian bergerilya mencari orang tua asuh yang mau membiayai anak-anak itu kembali bersekolah. Susi mengajukan proposal disertai profil masing-masing anak yang memang berasal dari keluarga miskin.
“Awalnya, kami mencari orang tua asuh yang berasal dari kalangan teman dekat sendiri. Mereka mau memberikan sebagian penghasilan untuk membantu siswa kembali sekolah,” kata Susi mengisahkan perjuangannya.
Susi memutuskan untuk mengganti nama SMK Itaco menjadi PKBM Ginus Itaco yang berbasis sekolah nonformal pada 2016. Anak putus sekolah yang diterima pun lebih beragam mulai dari siswa setara SMP hingga SMA yang nantinya diarahkan untuk mengikuti ujian kejar paket B dan kejar paket C.
Siswa wirausaha
Meskipun punya pengalaman sebagai pengajar, Susi menemui sejumlah persoalan saat mendidik anak-anak putus sekolah tersebut. Salah satunya, saat kegiatan belajar mengajar sudah mulai berlangsung, sebagian dari mereka ternyata tidak datang ke sekolah.
“Banyak siswa yang tidak datang ke sekolah karena tidak punya ongkos. Biaya sekolah mereka kan memang sudah gratis tetapi orang tua asuh kan tidak memberikan biaya transportasi mereka ke sekolah,” kata Susi.
Susi pun kembali harus memutar otak agar anak-anak tersebut kembali bersemangat untuk ke sekolah. Dia kemudian menggagas komunitas siswa wirausaha pada 2013. Program itu berupaya membekali keterampilan kepada para siswa agar mampu menghasilkan produk yang bisa dijual. Sebagian hasil penjualan produk akan diberikan kepada siswa agar mereka memiliki ongkos dan uang saku ke sekolah.
Bentuk usaha yang dimulai Susi dan para siswa awalnya adalah percetakan dan sablon. Karena tidak berjalan mulus, jenis usaha terus berganti mulai berjualan rujak es krim, keripik kentang, hingga akhirnya merambah ke usaha konveksi pada pertengahan 2015.
Usaha konveksi ini dilakoni setelah para siswa mendapat pelatihan di bidang konveksi dari Indonesia Business Link, sebuah organisasi nirlaba, termasuk pelatihan menjahit. SMK ini kemudian mendapat sejumlah bantuan peralatan mesin jahit dari berbagai lembaga dan donatur. “Saat ini kami punya 10 mesin jahit high speed dan 5 unit mesin jahit portable,” ucap Susi.
Menurut Susi, jenis usaha konveksi memiliki kelebihan dibandingkan usaha makanan karena produk yang dihasilkan tidak kedaluarsa dan memiliki turunan produk yang beragam. Setelah mengikuti berbagai pelatihan dan mengumpulkan peralatan produksi, siswa mulai menghasilkan produk sendiri pada 2017.
Selama tahun 2017, para siswa mampu menghasilkan dan menjual sekitar 1.500 buah produk yang kebanyakan tas dan cendera mata. Omzet mereka rata-rata per bulan mencapai Rp 13 juta. Pelanggan mereka kebanyakan adalah lembaga kementerian atau perusahaan. Satu tas dijual dengan kisaran harga Rp 100.000 hingga Rp 285.000 tergantung bahan dan model. Produk mereka dapat dilihat di akun instagram @siswawirausaha dan facebook siswawirausaha1 dan situs siswawirausaha.com. Produk yang dihasilkan saat ini berupa tas, hijab, hingga busana perempuan.
Lewat pembelian produk tersebut, konsumen turut membantu biaya pendidikan anak-anak putus sekolah di PKBM Ginus Itaco. Kendati demikian, Susi memastikan produk yang dijual oleh anak-anak didiknya tetap mengedepankan kualitas.
Tidak semua anak dilibatkan dalam komunitas siswa wirausaha yang digagas Susi. Sebab, beberapa anak putus sekolah juga sembari bekerja di tempat lain. Jumlah siswa yang terdaftar mengikuti kegiatan wirausaha sebanyak 15 anak. Setiap anak yang terlibat dalam membuat produk pesanan konsumen memperoleh uang saku sebesar Rp 15.000 per item yang diproduksi.
Dari usaha yang dirintis bersama anak-anak PKBM Ginus Itaco tersebut, Susi dinobatkan sebagai pemenang Best Women Microentrepreneur Citi Microentrepreneurship Awards 2017-2018. Sebelumnya, PKBM Ginus Itaco juga menyabet Juara 2 Lomba Wirausaha dari Guruku Education Festival.
Untuk proses regenerasi di komunitas siswa wirausaha, anak-anak PKBM Ginus Itaco silih berganti mendapatkan materi desain grafis dan pelatihan menjahit. Pada Minggu (13/5) siang, Susi mengajar delapan anak di sebuah ruangan kelas di PKBM Ginus Itaco, di kawasan Margahayu, Kota Bekasi.
Dia menyampaikan materi mengenai pentingnya desain dalam membuat sebuah produk. “Kali ini kita akan belajar desain hijab. Mau gak teman-teman kalau desainnya dipakai artis dan jadi terkenal..? tanya Susi kepada anak didiknya.
“Mauuuu...” jawab seluruh siswa yg ada di ruang kelas. Mereka begitu semangat untuk memulai materi tersebut. Dari 40 anak yang bergabung di PKBM Ginus Itaco saat ini, hanya delapan anak yang bisa hadir di kelas pada hari itu.
Kali ini, Susi tidak sendiri dalam mengajar. Dia dibantu Reza Pratama (20), mantan anak didiknya yang kini sudah bekerja sebagai videografer di sebuah gerai otomotif. Reza diminta Susi secara khusus untuk mengajari anak-anak Ginus Itaco materi desain grafis.
Sebagai alumni, Reza merasakan manfaat yang cukup besar dengan bergabung di PKBM Ginus Itaco. “Selain belajar gratis juga bisa mendapatkan uang tambahan. Apalagi, saya memang suka gambar jadi senang saat mendapat materi desain,” ujar Reza yang sempat putus sekolah setelah lulus SMP karena keluarganya tidak memiliki biaya.
Salah satu siswa PKBM Ginus Itaco, Sidqi (18), mengaku senang dapat bergabung di Ginus Itaco dan siswa wirausaha. Selain dapat melanjutkan pendidikan secara gratis, dia bisa memperoleh uang saku hingga Rp 400 ribu per bulan. “Uangnya biasa saya kasih ke orangtua. Setelah lulus dari sini, saya mau kuliah dan wirausaha sendiri,” kata Sidqi yang anak petani tersebut.
Anak-anak yang bergabung di PKBM Ginus Itaco lambat laun merasakan manfaatnya. Persis seperti harapan Susi. Melalui sekolah nonformal dan wadah siswa wirausaha yang dirintisnya, Susi tidak sekadar membantu anak-anak melanjutkan pendidikan tetapi juga menyalakan asa mereka untuk hidup mandiri.
Susi Sukaesih
Lahir : Kuningan, Jawa Barat, 22 Juli 1985
Suami : Hendri Destiwanto (31)
Anak : Abinaya Al Ghazi (2,5 tahun)
Pendidikan:
- SDN 1 Galaherang Kuningan
- SMPN 4 Cirebon
- SMAN 1 Cirebon
- Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (2003 - 2007)
Kegiatan: Inisiator PKBM Ginus Itaco
Penghargaan :
Pemenang Best Women Microentrepreneur Citi Microentrepreneurship Awards 2017-2018