Meimura: NKRI Harga Mati, Ludruk Harga Diri
Ludruk pernah menjadi senjata perjuangan untuk kemerdekaan. Bukti ditulis pada nisan makam Gondo Durasim, tanda keperwiraanmu pedjoang & pelopor seni rakjat - begupon omahe doro melok nippon tambah soro. Cak Durasim yang wafat pada 7 Agustus 1944 melegenda karena keberaniannya untuk menderita tetapi terus melawan penjajahan Jepang dengan ludruk.
“Bagi Arek Suroboyo, ludruk ibarat hidup dalam aliran darah dan nafas. Ludruk tidak boleh terpuruk, ambruk, apalagi remuk,” ujar Meimura (55) saat ditemui di Taman Budaya Jawa Timur.
Budayawan ini gelisah karena ludruk seakan kian dilupakan. Kelompok ludruk bertumbangan. Pegiat menyingkir karena sepi apresiasi. Ludruk dianggap sebatas sandiwara tradisional yang ketinggalan zaman.
Meimura menolak pemikiran sempit bahwa ludruk sebatas seni pentas kuno yang kaku. Ludruk dibuatnya luwes dan lincah tanpa mengkhianati pakem. Ludruk bisa mengundang decak kagum dengan tata cahaya, tata suara, tata animasi, dan tata film. Srikandi-Srikandi Nusantara, Surabaya di Udara, Pahlawan Tak Dikenal, dan Cak Durasim Sang Pahlawan menjadi bukti ‘kepiawaian’ Meimura menyelaraskan perkembangan zaman dalam ludruk. “Agar ludruk selalu mendapat tempat di hati rakyat Jawa Timur khususnya Arek Suroboyo,” katanya.
Meimura memang amat membanggakan ludruk. Baginya, ludruk contoh seni tradisi yang sempurna. Ketat bahkan kaku dalam pakem, tetapi luwes dalam pengembangan kreativitas. Saat dipentaskan, ludruk seakan mengikuti garis lurus berurutan. Dimulai dari remo kemudian bedhayan yang semacam paduan suara lalu gending jula-juli yang terus mengikuti dan luluh sampai akhir cerita komedi-tragedi dengan iringin alunan gamelan dari awal sampai akhir.
Mimpi saya mementaskan ludruk dengan remo seperti balet, mendengar bedhayan seperti koor ada suara satu sampai empat, cerita seperti melihat Teater Broadway
Urutan tak bisa dibalik sehingga jelas kaku tetapi luwes dan komplet. Ludruk mengandung seni gerak atau tari (remo), seni suara (bedhayan), seni suara dan lawak (jula-juli), seni teater (cerita), seni musik (gamelan), dan seni audio visual (tata suara, cahaya, animasi, film).
“Mimpi saya mementaskan ludruk dengan remo seperti balet, mendengar bedhayan seperti koor ada suara satu sampai empat, cerita seperti melihat Teater Broadway yang kian segar dengan jula-juli, gamelan ibarat orkestra, dan audio visual yang spektakuler,” ujar Meimura.
Ludruk, lanjut Meimura, jangan lagi dinilai sebagai seni tradisi usang. Keterbukaan terhadap berbagai intervensi kreativitas semoga membuat ludruk kembali bisa diterima dan menjadi bagian hidup rakyat.
Garis nasib
Kecintaan terhadap ludruk seakan sudah digariskan dalam hidup Meimura. Ayah tiga anak ini lahir dan tumbuh di lingkungan seni budaya yang kuat di Kampung Petemon. Ia mengingat Mbah Seco yang piawai mengajari wayang kulit, wayang orang, dan ludruk serta Pak Busro yang mendorong munculnya sejumlah kelompok musik. Selain itu, kuartet Samin, Sawi, Timin, dan Temo yang piawai mengocok perut dengan lawakan segar.
Meimura kian jatuh cinta setelah mengetahui bahwa seni tradisi merupakan alat perjuangan. Pahlawan Nasional Dr Soetomo diyakini cukup akrab dengan kegiatan seni budaya di awal abad ke-20 untuk mendorong pergerakan. Di masa perang kemerdekaan, ludruk tobong atau dalam gedung menjadi sarana para pejuang untuk mendapatkan senjata ilegal.
“Menurut cerita para pejuang yang aktif lewat ludruk, senjata bisa didapat lewat pampasan atau selundupan. Senjata lalu disebarkan salah satunya lewat pentas ludruk,” katanya dengan bangga.
Meimura kian mantap terlibat dalam seni budaya. Pada 1976, Meimura bergabung dengan teater pelajar Putra Wijaya asuhan Wayan Wisnuadi. Di tahun itu pula, Meimura menunjukkan bakat luar biasa dengan memenangi penghargaan aktor terbaik drama pelajar.
Pergaulannya meluas setelah turut bergabung dengan Teater Lekture Surabaya pada 1978 dan mendirikan grup lawak Boneka pada 1980. Setahun kemudian, ia terlibat di Padepan Seni Citra Loka dan Teater Pelajar Widyabakti.
Tak ingin melupakan kampungnya, Meimura mendirikan Ludruk Monthero pada 1982. Dua tahun kemudian, ia mendirikan Ludruk Anak-anak Monthero. Monthero adalah akronim dari peteMON erTHE loRO atau Kampung Petemon RT 2. Dengan keberadaan konsonan H membuat nama kelompok ludruk itu dianggap tidak mencatut Montero yang notabene nama kota di Bolivia atau nama belakang kalangan seniman dan olahragawan Hispanik.
Kiprahnya kian dikenal setelah bergabung dengan Teater Ragil Surabaya pada 1985. Sampai dua dasawarsa kemudian, Meimura aktif dalam pementasan Umang Umang dan Dalam Bayangan Tuhan (Arifin C Noer), Syekh Siti Jenar (Vredi Kastam Marta), Viaduk Sebuah Saksi (Sam Abede Pareno), Orang Gila di Atas Atap (Kan Kikuchi), dan Laut Luar Laut Dalam (Tubagus Hidayatullah).
Ia juga menghasilkan naskah karya sendiri antara lain Bandit-bandit, Kidung Cak Durasim, Bianglala, Kuman, Tanda Seru, Periuk Sang Perkasa, Anak yang Hilang, dan Bapak dalam Akuarium.
Kegiatan seni budaya membuat Meimura kerap bepergian ke luar kota. Saat berada Jakarta menjelang 1987, Meimura bertemu dengan Sunaryo, seniman nyentrik bergaya banci. Pertemuan terjadi di Blok M saat mereka ‘menemani’ anak-anak Surabaya yang menjadi penguasa lahan parkir tetapi berseteru dengan kelompok lain.
“Dahulu ada istilah Gali atau Gabungan Anak Liar. Mereka yang hidupnya keras di perantauan itu saya dekati agar mau pulang dan siapa tahu bisa diajak berkesenian,” ujar pengurus inti Dewan Kesenian Jawa Timur itu.
Pada 10 November 1987, Sunaryo mendirikan Ludruk Waria Jaya. Nama itu berubah menjadi Ludruk Ikabra dua tahun kemudian. Pada 1992, nama kelompok itu berubah menjadi Irama Budaya. Ludruk tobong ini sempat menetap di Jalan Pulo Wonokromo.
Namun, seiring perkembangan zaman, sejak 2010, Irama Budaya pindah dan menetap di Taman Hiburan Rakyat. Dua tahun kemudian, nasib ludruk ini kian tak jelas setelah kematian Sunaryo.
Kalangan seniman termasuk Meimura yang dekat dengan Sunaryo tak rela jika Irama Budaya yang pernah begitu berjaya di Surabaya kemudian ambruk atau hilang. Mereka ingin ludruk tetap lestari sekaligus ciamik dalam terobosan manajemen dan ide cerita serta ada penerusnya. Cara yang ditempuh harus ada penampilan rutin dan mengupayakan inovasi.
Sejak 2013, ludruk Irama Budaya tampil setiap Sabtu malam. Pola itu dipertahankan sampai kini bahkan didukung sumbangan dana dari komunitas dan pemerintah. Di pementasan khusus peringatan dicoba terobosan misalnya bermain dengan audio visual.
Ludruk terasa lebih segar. Guyonan jorok dan kasar tak boleh lagi dipakai sebab bertentangan dengan ruh seni ini. “Semboyan kami itu NKRI harga mati, ludruk harga diri,” katanya dengan nada mantap.
Meimura
Lahir : Surabaya, 16 Mei 1963
Istri : Ruqaiyah Adam
Lahir : Surabaya, 26 Desember 1968
Anak : Mega Nurnitura (21), Fikri M Ramdani (19), M Adam Izza (12)
Pendidikan
- SD Kedung Anyar I
- SMP Putra Wijaya II
- SMA Mahasiswa
- Politeknik Perkapalan
Riwayat Kesenian
- Teater Pelajar Putra Wijaya
- Teater Lekture Surabaya
- Grup Lawak Boneka
- Padepokan Seni Citra Loka
- Teater Pelajar Widyabakti
- Teater Anak Citra
- Ludruk Monthero
- Ludruk Anak Monthero
- Teater Ragil Surabaya
- Teater Kelinci
- Bengkel Muda Surabaya
- Ludruk Gemas Pusura
- Festival Seni Surabaya
- Surabaya Membara
- Dewan Kesenian Jawa Timur
Penghargaan
- Aktor Terbaik Drama Pelajar 1976
- Sutradara Terbaik Lomba Drama 1990
- Anugerah Gubernur Jawa Timur 2017
- Anugerah PWI Jawa Timur 2018