Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan naskah tua dan asli, termasuk manuskrip. Namun, peneliti naskah tua di Indonesia jumlahnya sangat sedikit. Akibatnya, kekayaan naskah Nusantara banyak yang tidak terbaca. Titik Pudjiastuti adalah satu dari sedikit peneliti naskah tua di Indonesia.
Titik Pudjiastuti (62) kini menjadi guru besar Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Dia adalah seorang ahli filologi (ilmu tentang isi naskah) sekaligus kodikologi (ilmu tentang fisik naskah). Ambisinya saat ini adalah menyelamatkan naskah Nusantara melalui proyek digitalisasi naskah kuno.
Semula, Titik kuliah di Fakultas Ekonomi UI, bukan di Fakultas Sastra yang kini bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Namun, setelah satu semester dia pindah ke jurusan Sastra Jawa di universitas yang sama.
"Pada masa itu, mudah bagi mahasiswa untuk berpindah jurusan dan fakultas. Tidak seperti sekarang. Sebetulnya yang berambisi ingin saya kuliah di sastra Jawa adalah ibu saya, Ngastiah. Ibu geregetan tiap kali membaca dan tahu ada orang asing menekuni kebudayaan Indonesia. Jadi, dia ingin saya seperti mereka," ujar Titik di kantornya di FIB UI, Senin (2/4/2018).
Semasa kuliah di FE, Titik menjadi mahasiswa pendiam. Akan tetapi, begitu pindah ke FS dia berubah menjadi sangat aktif dalam berbagai kegiatan. "Seperti langsung bertemu habitatnya, ha ha," ujar Titik mengenang.
Perkenalan intens dia dengan naskah bermula ketika dia menyusun skripsi tentang Serat Yusuf. Saat itu, dia belum tahu ada ilmu khusus menekuni naskah, yakni filologi. Setelah lulus, dia menjadi dosen di almamaternya.
Kala mendapat tugas menyelesaikan S-2 di Leiden, Belanda, baru dia paham akan ilmu filologi. "Mempelajari filologi, berarti mempelajari juga kodikologi. Misalnya, naskah tersebut dibuat dari apa, adakah watermark guna membantu mengetahui kapan naskah itu dibuat. Ilmu ini dapat memperkirakan kapan naskah yang tidak memiliki tahun itu dibuat," urai Titik.
Makin mempelajari semua naskah, Titik pun makin jatuh cinta dengan kedua ilmu tersebut. Apalagi Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan naskah asli. Naskah-naskah itu tersebar di seluruh wilayah Nusantara.
Pengobatan kambing
Tentu saja naskah itu melulu tentang kitab ajaran atau cerita, tetapi juga berbagai ilmu dan pengetahuan lainnya. Naskah tersebut tertulis dalam berbagai huruf dan bahasa. Misalnya, huruf jawa, huruf arab, huruf pegon kemudian bahasa Jawa, bahasa Melayu, bahasa Arab, bahasa Belanda, dan bahasa daerah lainnya. Naskah itu ditulis di atas kertas, lembaran lontar, lontar dengan lidi (embat-embatan) atau daluang yakni lembaran tipis dari kulit kayu pohon deluang (Broussonetia papyrifera).
"Ada naskah tentang mengobati kambing yang menderita kembung. Bukan itu saja, ada pula naskah tentang mengobati ayam yang mengeluarkan kotoran putih seperti kapur," tutur Titik yang mendapat doktor bidang sastra Jawa dari UI.
Oleh karena itu, dia yakin sejak dulu bangsa Indonesia adalah bangsa yang pintar dan mampu menuliskan berbagai ilmu pengetahuan dengan benar. Sama sekali bukan bangsa yang bodoh. "Buktinya sampai sekarang banyak orang asing yang mengincar naskah-naskah Nusantara. Mereka bukan hanya ingin mempelajari tetapi juga memiliki naskah tersebut," ujar Titik tegas.
Untuk naskah, proyek Titik saat ini mengalihkan ke bentuk digital agar tahan lama. Apalagi saat ini banyak naskah yang melapuk dan rusak. Paling parah adalah naskah yang dijual pemiliknya ke orang asing.
Titik tidak bisa melarang orang yang ingin menjual naskah warisan keluarga. "Saya tidak mampu jika harus membeli satu naskah seharga Rp 40 juta atau Rp 50 juta. Untuk memotret lembaran naskah saja saya tetap membayar Rp 2 juta ke pemiliknya. Tidak gratis," kata Titik.
Fokus Titik saat ini naskah di wilayah Indonesia Timur. Dia telah meneliti ke Papua Barat seperti Sorong dan Fak Fak. Kemudian Bima, Nusa Tenggara Barat. Juga Ternate dan Tidore di Maluku Utara, Jailolo di Maluku, Buton di Sulawesi Tenggara serta wilayah Kalimantan. Penyusun disertasi Sajarah Banten ini sengaja mendahulukan daerah Indonesia Timur karena di wilayah Indonesia Barat telah banyak penelita lain, misalnya, di Sumatera Barat dan Bali, serta di Pulau Jawa.
Naskah dianggap barang keramat. Pernah di salah satu keluarga kerajaan di Indonesia Timur, semua takut membuka kotak tersebut. Saya mendapat izin dari Raja untuk membuka dan memotret naskah tersebut. Semua ulama setempat sibuk mengucapkan doa dan tubuh mereka gemetar ketakutan
Pengalaman Titik, masih sangat banyak naskah yang ada di tangan keluarga sebagai harta warisan. Namun, banyak para pemilik naskah tidak mengerti isi naskah tersebut. Malah, ada pula yang sama sekali tidak pernah melihat wujud asli naskah tersebut karena hanya menyimpan di dalam kotaknya dan takut membukanya.
"Naskah dianggap barang keramat. Pernah di salah satu keluarga kerajaan di Indonesia Timur, semua takut membuka kotak tersebut. Saya mendapat izin dari Raja untuk membuka dan memotret naskah tersebut. Semua ulama setempat sibuk mengucapkan doa dan tubuh mereka gemetar ketakutan. Sementara saya asyik membuka lembar demi lembar dan memotretnya satu demi satu," ujar Titik.
Masih banyak pula keluarga pemilik naskah yang enggan memperlihatkan naskah milik mereka ke orang lain. Mereka menyimpan di loteng atau kolong tempat tidur. "Dua lokasi itu buruk buat naskah. Kondisinya pasti lembap dan panas sehingga bakal merusak naskah. Sayang jika tidak sampai terbaca isinya," kata Titik risau.
Dalam mencari naskah, Titik seolah berkejaran dengan para penjual yang ingin mengalihkan kepemilikan benda tersebut ke tangan orang asing atau negara lain. Titik tak kuasa jika para penjual itu menawarkan harga sangat mahal kepada pemiliknya.
"Beberapa negara tetangga tidak memiliki akar kuat seperti bangsa Indonesia. Untuk itu mereka rela mengeluarkan uang ratusan juta demi mengumpulkan naskah. Sebagai bangsa serumpun di Asia Tenggara, kita cenderung memiliki akar dan latar yang sama. Namun, kondisi geografis dan politis yang berbeda menyebabkan naskah Nusantara harus berada di Indonesia," kata Titik tegas.
Dia mencontohkan, banyak warga negara asing terutama dari negara tetangga yang memiliki leluhur yang sama. "Wajar jika sekalipun sudah pindah negara, masih merasa pantas dan berhak menerima warisan berupa naskah. Akan tetapi, patut diingat mereka bukan lagi warga Indonesia. belum tentu kelak mereka mengizinkan naskah itu kita lihat lagi," ujarnya.
Naskah-naskah yang telah disimpan dalam bentuk digital tersebut kemudian juga disimpan di Perpustakaan UI. "Saya juga melaporkan naskah yang rusak ke Perpustakaan Nasional. Mereka kemudian memperbaiki," tutur Titik.
Selain untuk penelitian, Titik ingin memindahkan masa lalu yang ditulis di atas naskah ke masa depan. Artinya, semua bisa membacanya dan mempelajari isinya.
"Saya ingin melestarikan naskah-naskah luar biasa tersebut. Isinya sungguh mencerminkan betapa luhur dan pandai para leluhur bangsa ini," ujar Titik.
Titik Pudjiastuti
Lahir: Jakarta, 23 Januari 1956
Pendidikan:
- S1 Sastra Jawa FS UI
- S2 sandwich program di Universiteit Leiden dan FS UI, S-3 FIB UI.
Penghargaan: Pemenang DIIB (Direktorat Inovasi dan Inkubator Bisnis) UI Award 2016