Muzeki, Asa untuk Anak TKI
Prihatin dengan kondisi anak-anak dari keluarga buruh migran, Muzeki mendirikan "padepokan" anak TKI. "Padepokan" yang terletak di wilayah selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur itu, menjadi tempat pelipur lara sekaligus penyemangat asa anak TKI.
Nama Muzeki tidak asing di telinga warga Dusun Sukosari, Rejoyoso, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Jika ada tamu yang mencari Muzeki, warga dengan segera menunjukkan "padepokan" sederhana yang berupa bangunan semi permanen dengan atap asbes di tepi jalan desa. Bangunan berukuran 3 meter x 7 meter itu berdiri di halaman rumah orangtua Muzeki, Sayedi. Tujuh tahun terakhir ini, bangunan sederhana itu menjadi semacam "oase" bagi banyak anak TKI yang kurang mendapat perhatian keluarga.
Desa Rejoyoso memang menjadi salah satu kantong TKI di Kabupaten Malang. Menurut Muzeki, lebih dari separuh warga desa itu pernah atau sedang bekerja di luar negeri. Mereka meninggalkan anak-anak, keluarga, dan kerabat demi mengadu nasib selama bertahun-tahun. Tidak heran jika di desa itu, banyak anak-anak yang terpaksa tinggal berjauhan dengan orangtuanya. Kalaupun bertemu, paling lama dua pekan ketika orangtua mereka sedang mudik. Setelah itu, mereka berpisah lagi.
Anak-anak dari keluarga TKI itu, kami arahkan, kami motivasi. Bagaimanapun juga mereka harus punya keinginan
Akibatnya, banyak anak-anak yang hidup dalam sepi. Mereka kurang perhatian dari orangtuanya. Mereka harus menghadapi semua masalah seorang diri, padahal belum tentu mereka tahu cara mengatasinya. Dalam benak Muzeki, seharusnya anak-anak tidak boleh hidup berjarak dengan orangtuanya di luar negeri. Ia prihatin melihat nasib mereka. Ia bisa membayangkan bagaimana masa depan anak-anak itu ketika mengarungi kehidupan tanpa didampingi orangtua.
Berangkat dari rasa prihatin itu, ia bersama beberapa teman, menyediakan diri sebagai teman anak PKI. Muzeki membantu mereka memupuk kepercayaan diri masing-masing. Mereka menyemangati anak TKI untuk mengejar cita-cita setinggi langit. “Mereka kami arahkan, kami motivasi. Bagaimanapun juga mereka harus punya keinginan,” kata Muzeki, Jumat (11/3). Ia bisa memahami apa yang dirasakan anak TKI karena ketiga kakaknya juga merantau ke luar negeri sebagai TKI.
Demi anak TKI, Muzeki membentuk taman belajar pada 2011. Di taman belajar itu, anak TKI bisa belajar setiap sore, setidaknya lima kali dalam sepekan secara gratis. Awalnya, hanya ada delapan anak-anak yang ikut kegiatan belajar bersama. Seiring waktu, jumlah peserta terus bertambah. Muzeki tidak pernah menghitung berapa jumlah total anak yang pernah belajar bersama di taman belajarnya sejak tujuh tahun lalu. Yang jelas saat ini, ada 86 anak mulai tingkat TK sampai SMA yang masih mengikuti program tersebut. Mereka bukan hanya anak-anak dari keluarga TKI, tapi juga non-TKI.
Muzeki dibantu beberapa relawan pendamping. Mereka membimbing anak-anak memahami materi yang diajarkan oleh guru di sekolah dan mengerjakan pekerjaan rumah. Jika ada masalah atau sekadar ingin mengikuti program penguatan karakter, anak-anak desa itu bisa pula berkonsultasi di Konseling Center. Saat ini ada 28 anak TKI yang memanfaatkan kegiatan konseling.
Muzeki tidak berhenti sampai di situ. Untuk mendukung anak-anak yang sedang menggapai cita-cita, ia rela meluangkan waktu mengantarkan mereka mencari tempat kuliah di Kota Malang. Ia bahkan mendampingi anak-anak desa yang baru masuk kuliah, pada enam bulan pertama mereka di kampus. Di masa-sama seperti itu, Muzeki akan terus membangun kepercayaan diri mereka. “Kami juga berupaya mencarikan anak-anak tersebut jaringan untuk mendapatkan beasiswa,” kata lulusan jurusan Bimbingan Karier di salah satu kampus di Malang ini.
Sejak 2013, lebih dari 10 mahasiswa didampingi Muzeki hingga kuliah. Mereka kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu. Setelah kuliah, mahasiswa itu sering pulang dan menyebarluaskan keberhasilannya kepada adik-adik kelasnya di desa. Itulah yang diharapkan Muzeki.
Muzeki rupanya benar-benar ingin warga desanya maju. Itu sebabnya, ia tidak lagi hanya mengurusi anak TKI, tapi juga mengurusi warga lainnya. Untuk itu, ia juga mendirikan taman baca yang disebut Kampung Cerdas Ceria Galeri Kreatif di padepokannya yang sempit. Taman baca itu memiliki koleksi 1.500-an buku dari sejumlah genre, mulai bacaan anak, fiksi, umum, hingga motivasi. Taman baca ini cukup terbuka. Selain anak-anak desa, warga desa dari segala umur boleh ikut membaca. Bahkan, guru dan santri di sekitar Rejoyoso bisa memanfaatkan taman baca.
Muzeki lantas menjadikan "padepokannya" sebagai pusat kegiatan kreatif warga. Di bagian luar taman baca, ia membuat ruang diskusi yang terbuka selama 24 jam yang bisa diakses siapa saja. Ia juga merangkul komunitas-komunitas yang tumbuh di Rejoyoso, mulai komunitas penggemar musik (akustik), pembuat kostum tiruan tokoh film (cosplay), hingga komunitas tukang bangunan. Setiap malam, anggota komunitas ini biasa berkumpul di "padepokan" untuk membicarakan apa saja, termasuk kegiatan desa.
Belakangan, ia "mengekspor" para relawannya ke desa lain. Mereka bertugas mendampingi masyarakat di desa lain yang mendirikan taman bacaan, mengajari cara membuat majalah dinding, dan membuat kerajinan tangan. Sejauh ini, ia telah mencetak 22 orang relawan yang terdiri dari mahasiswa, siswa, dan pegawai.
Awal mula
Mengapa Muzeki begitu aktif dalam gerakan memajukan warga desa? Selain karena ia prihatin melihat nasib anak-anak dari keluarga TKI di desanya, ia juga pernah mengalami susahnya menjadi anak desa.
Alkisah, pada 2009, Muzeki bersama tiga teman sedesanya, yakni Bambang Purwanto, Nurul Masrifah, dan Fitrianti Trengganu ingin kuliah. Tapi, mereka kesulitan mencari informasi tentang bagaimana cara masuk perguruan tinggi. “Kami anak-anak desa ingin maju. Ketika kami mau kuliah, kami kesulitan informasi. Dari kesulitan itu, kami hanya bisa saling pandang dengan kawan. Kami kemudian berikrar suatu saat nanti akan membawa anak-anak kampung ke dalam kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.
Dari ikrar itu, Muzeki dan teman-teman merintis aneka kegiatan yang bisa membawa warga desa pada kemajuan pada 2011. Sayangnya, pada masa awal merintis, tiga rekan Muzeki harus pergi keluar daerah sehingga Muzeki harus menanggung sendiri semua beban, mulai tenaga hingga biaya. Beruntung, niat baik Muzeki didukung banyak orang.
Ketika membangun "padepokan", ia tidak perlu mengeluarkan biaya karena dikerjakan oleh komunitas tukang yang sudah ia rangkul. Ketika memerlukan buku, pemuda yang punya hobi membaca ini, mendapatkannya bantuan dari anak-anak desa. Mereka menjual buku bekas secara kiloan. Hasil penjualan dipakai untuk membeli buku baru sesuai usulan anak-anak. Sebagian buku juga diperoleh dari teman-teman Muzeki.
Setelah beberapa program terlaksana, kini ada satu keinginan Muzeki yang ingin segera diwujudkan, yakni membuat program kewirausahaan bagi para pemuda desa. Melalui program ini diharapkan anak-anak desa yang akan tumbuh dewasa, nantinya bisa mandiri, termasuk bisa membiayai kuliahnya sendiri.
Muzeki tidak mau berhenti. Begitu banyak inisiatif yang ia jalankan demi masa depan cerah bagi anak-anak sedesanya.
Muzeki
Lahir: Malang, 25 Mei 1991
Pendidikan:
- SDN Rejoyoso 01
- SMP Assalam
- SMK Assalam
- S1 Jurusan Bimbingan Karier salah 1 Universitas di Malang.