Sahabat Warga Pesisir
Ratna resah melihat lahan-lahan tambak banyak yang tak produktif di pesisir Sulsel. Pemiliknya tidak mengurus lagi dan memilih pergi merantau. ”Sudah hutan mangrovenya hilang untuk tambak, malah tambaknya tidak produktif,” kenang Ratna, sapaan Ratnawaty, yang menjadi aktivis pelestarian mangrove sejak 2002.
Ia pun bertekad melakukan sesuatu. Pada 2014, ia mulai mengajak warga di kawasan pertambakan di beberapa kecamatan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) untuk memulihkan mangrove. ”Di Pangkep tidak banyak lagi hutan mangrove yang bisa dikembalikan. Kami memilih mengajak petambak untuk memulihkan lahannya dan mengelola tambak organik agar lingkungan tidak semakin rusak,” ungkap Ratna.
Namun, ajakan Ratna tidak langsung ditanggapi. Warga dan para petambak melihatnya sebagai perempuan kota yang tidak mempunyai pengalaman dan tidak tahu apa-apa. Jadi, buat apa mendengarkannya.
Ratna tidak putus asa. Ia mengambil jalan memutar terlebih dahulu dengan menyasar kaum perempuan, antara lain di Desa Pitu Sunggu, Kecamatan Ma’rang, Pangkep. Dosen pertanian itu mengajak kaum ibu memanfaatkan halaman rumah untuk menanam sayur dan buah organik. Pupuk dan pestisida dibuat sendiri dari bahan alami. Tak makan waktu lama, aneka sayur-mayur seperti tomat, cabai, dan aneka buah tumbuh subur.
”Mereka kaget karena selama ini lahan pekarangan hampir tak pernah dimanfaatkan untuk bercocok tanam karena dinilai sebagai tanah tandus. Tetapi, dengan metode sederhana yang kami ajarkan, yakni menyuburkan tanah menggunakan pupuk organik, alhamdulillah berhasil,” ujar Ratna.
Keberhasilan ini membuat Ratna lebih mudah mendekati kaum laki-laki atau petambak untuk mengajak mereka memulihkan lahan tambak. Pemulihan dilakukan dengan mengosongkan lahan tambak beberapa waktu untuk diberi pupuk organik. Awalnya tidak banyak yang bersedia. Selain karena potensi kehilangan penghasilan, banyak petambak memilih menunggu hingga ada yang berhasil.
Usaha pemulihan di sejumlah lahan tambak itu berhasil. Produksi tambak organik yang meningkat signifikan membuat petambak lain mulai ikut. Tambak-tambak udang dan bandeng pun kembali produktif.
Berhasil dengan tambak, Ratna mengajak warga memanfaatkan lahan telantar untuk bercocok tanam padi dengan pengairan tadah hujan. Saat hujan, tambak ditanami padi. Saat hampir panen, tambak diisi ikan.
Ada pula tambak yang bagian tengahnya ditanami padi dan bagian sisinya untuk ikan. Dengan begitu, tambak yang sama menghasilkan beras dan ikan. Keberhasilan ini kemudian menular ke banyak desa dan kecamatan lain di Pangkep.
Prihatin mangrove
Keprihatinan Ratna sesungguhnya bukan hanya pada tambak-tambak yang sudah tak produktif dan telantar. Ratna juga begitu risau pada hutan mangrove yang kian menyusut. Dalam setiap pendampingan, Ratna selalu memetakan kawasan yang bisa ditanami kembali. Ia juga memetakan kawasan yang dinilai lebih butuh pemulihan tambak atau dijadikan lahan pertanian.
Ini pula yang membuatnya tidak pernah lelah berkeliling ke banyak wilayah pesisir. Menyeberang lautan ke pulau-pulau atau hujan dan panas terik di tengah tambak tak pernah menyurutkan semangatnya.
Bahkan, aktivitas itu tetap dilakukannya saat hamil anak pertama dan kedua. Pada 2015, Kompas pernah ikut bersama Ratna dan rekan-rekannya ke Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar. Perjalanan ditempuh menggunakan kapal kayu di tengah cuaca yang tak bersahabat dan berombak tinggi.
Di pulau itu, bersama Yayasan Hutan Biru yang ikut didirikan Ratna, mereka membantu warga menanam bakau. Hilangnya hutan mangrove di Tanakeke membuat banyak spesies ikan ikut hilang. Warga pun kehilangan mata pencarian karena harus melaut jauh untuk mencari ikan. Selain itu, tambak-tambak juga menjadi kian tidak produktif.
”Selalu ada penolakan pada setiap awal kegiatan. Sebagian tidak percaya, sebagian telanjur putus asa. Apalagi, sebelum kami datang, banyak yang sudah masuk dengan program penanaman mangrove. Tetapi, hasilnya tak signifikan, bahkan banyak yang gagal,” kata Ratna.
Butuh waktu untuk mengajak semua warga dan tokoh masyarakat duduk bersama. Selama beberapa tahun, Ratna dan rekan-rekannya memetakan petak-petak tambak, memilih areal yang bisa ditanami mangrove, hingga memilih areal tambak dan lahan pertanian yang bisa dipulihkan.
Keberhasilan, walau perlahan, membuat Ratna lebih mudah mendapat kepercayaan warga dan membuat lebih banyak warga yang ikut terlibat. Tanakeke pun kini menjadi salah satu kawasan penelitian dan wisata karena lahan mangrove yang berangsur pulih.
Bangku kuliah
Perkenalan Ratna dengan mangrove sudah dimulai sejak kuliah di Universitas Sam Ratulangi, Manado. Saat itu, tahun 2002-2004, dia terjun dalam kegiatan penguatan nelayan di Desa Tiwoho, Sulut. Selanjutnya, selama 2005-2007, dia menjadi fasilitator Mangrove Action Project (MAP) di Sumatera dan Jawa.
Saat melanjutkan kuliah S-2 di Universitas Gadjah Mada, pada 2007-2010, Ratna aktif dalam berbagai kegiatan terkait lingkungan, salah satunya di CV Sahabat Bambu Yogyakarta yang bergerak dalam penyediaan jasa pendidikan, pengelolaan, konstruksi, dan pelestarian bambu.
Tamat S-2, Ratna kembali ke MAP dan menjadi project director sepanjang 2012-2015. Di organisasi ini, ia banyak menimba ilmu dan pengalaman. Dia pun berkeliling ke banyak wilayah di Indonesia untuk mendampingi warga pesisir dalam pemulihan mangrove dan pemberdayaan ekonomi.
Pada pertengahan 2015, Ratna dan rekan-rekannya mendirikan Yayasan Hutan Biru dan melanjutkan kerja untuk pesisir dan pemberdayaan ekonomi. Dalam proyek pemulihan mangrove, Ratna dan rekan-rekannya selalu mengajak warga bertani organik serta memanfaatkan lahan-lahan telantar agar menjadi produktif.
Di wilayah pesisir yang mangrovenya masih terawat, Ratna mengajak warga memanfaatkan mangrove untuk mendapat nilai tambah. ”Misalnya, kami ajari membuat keripik dari daun mangrove, teh herbal, selai, dan tepung,” ucap Ratna.
Hal itu bertujuan agar warga tidak menebang mangrove. ”Di banyak pesisir kami dapati warga menebang mangrove untuk mendirikan rumah, membuat tambak, atau untuk kayu bakar,” katanya.
Ratna kini menjadi dosen pendidikan teknologi pertanian di Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Meski begitu, di sela-sela waktu mengajar, dia tetap aktif turun ke pesisir dan desa-desa tempat warga membutuhkan pendampingan. Ia bahkan menjadi sahabat bagi warga pesisir.