Mama untuk ODHA
”Tempat ini saya beri nama Rumah AIRA, akronim dari Anak Itu Rahmat Allah,” ujar wanita yang akrab disapa Mama Lena itu membuka perbincangan santai, Kamis (8/2) sore.
Sudah 20 tahun Mama Lena bekerja di dunia kesehatan dan berkecimpung di kegiatan sosial. Seiring waktu, rutinitas itu menyibak fakta tentang rendahnya pemahaman masyarakat akan HIV/AIDS. Ironisnya, anak-anak rentan terinfeksi HIV karena tertular dari orangtua, pelecehan seksual, ataupun perdagangan orang.
Mama Lena mulai merintis Rumah AIRA pada 2015. Semua biaya untuk sewa rumah, makan dan obat, hingga perawatan rumah sakit ditanggung Mama Lena sendiri. Sang suami telah meninggal sejak sembilan tahun lalu. Dia kini tinggal bersama tiga anak kandung yang masih sekolah.
Nyatanya, merintis rumah singgah untuk anak-anak dengan HIV/AIDS bukan perkara mudah. Mama Lena hanya mengandalkan sisa uang dari kegiatan sosial yang ia gagas, ditambah sebagian gaji sebagai pegawai administratif di salah satu rumah sakit swasta. Kondisi kian kompleks ketika tidak semua orang mendukung niat mulia ini karena termakan stigma dan mitos.
Di masa awal pendirian Rumah AIRA, Mama Lena harus berjibaku mencari rumah sewa. Penolakan dari warga muncul saat mereka tahu Mama Lena akan membangun rumah singgah dan panti asuhan anak-anak dengan HIV/AIDS di lingkungannya.
”Sangat sulit mencari sewa rumah. Di beberapa wilayah, warga sangat menentang meski sudah ada sosialisasi oleh pihak RW dan pemerintah kota,” kata Mama Lena.
Ibu tiga anak ini tak patah arang. Dia yakin Tuhan akan memberikan jalan bagi umat yang terus berusaha dan punya niat baik. Pencarian terus dilakukan sepulang kerja dibantu beberapa rekan pegiat sosial. Rumah AIRA pun kini mendapat tempat di Jalan Kaba Timur Nomor 5, Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang, atau sekitar 5 kilometer dari Simpang Lima, pusat Kota Semarang.
Selama hampir tiga tahun paling tidak ada 13 anak yang dirawat Mama Lena. Mereka datang silih berganti dari sejumlah daerah, seperti Rembang, Purbalingga, Blora, dan Temanggung. Hal itu wajar karena rumah singgah anak-anak dengan HIV/AIDS di Jateng sangat minim. Tak jarang kondisi anak-anak yang datang ke Rumah AIRA sudah parah sehingga nyawanya tidak terselamatkan.
Kesetaraan hak
Mama Lena ingin agar setiap anak mendapat hak yang sama sekalipun mereka menyandang HIV/AIDS. Selama ini, anak-anak dengan HIV/AIDS sering dikucilkan dan dinilai tak memiliki masa depan cerah. Di Rumah AIRA, semangat hidup mereka kembali dibangkitkan. Mereka dibiasakan disiplin minum obat dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Mereka juga didorong melanjutkan sekolah atau mengikuti kursus. Bagi yang tidak ingin belajar, Mama Lena akan memberikan modal usaha sesuai dengan minat mereka. Kebetulan mayoritas anak berasal dari keluarga miskin di desa terpelosok. ”Saya selalu mengarahkan agar cara pandang dan pemikiran mereka lebih maju. Mereka harus bermanfaat bagi banyak orang supaya tidak termarjinalkan,” kata Mama Lena.
Selama tinggal di Rumah AIRA semua anak tidak dipungut biaya. Sejumlah sukarelawan dan donatur secara rutin membantu Mama Lena. Beberapa mahasiswa juga kerap melakukan penelitian dan praktik kerja di Rumah AIRA. Selain merawat anak-anak, para sukarelawan aktif mengedukasi dan melibatkan warga dalam berbagai kegiatan sosial bertema HIV/AIDS.
Salah satu materi penting dalam edukasi adalah cara penularan HIV/AIDS. Menurut Mama Lena, selama ini banyak pemahaman salah yang beredar di masyarakat, misalnya HIV/AIDS menular lewat sen-
tuhan langsung, minum di gelas yang sama, atau tinggal dalam satu rumah. Padahal, penyakit ini hanya menular melalui hubungan seksual dan transfusi darah.
Rendahnya pemahaman masyarakat turut berdampak pada peningkatan kasus HIV/AIDS di Jateng dalam lima tahun terakhir. Pada 2016, jumlah kasus baru HIV mencapai 1.867, lebih tinggi daripada 2015 sebanyak 1.467 kasus. Pemahaman tentang HIV/AIDS juga penting agar masyarakat tidak bertindak diskriminatif terutama kepada anak-anak.
Mengedukasi masyarakat tak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk mematahkan mitos dan stigma yang beredar, Mama Lena menjadikan keluarganya sebagai contoh. Dia dan ketiga anaknya terbukti tidak tertular meski tinggal satu rumah bersama sejumlah anak dengan HIV/AIDS selama hampir tiga tahun. Bahkan, mereka makan, tidur, dan menggunakan toilet yang sama.
”Karakteristik orang Indonesia memang harus ada contoh nyata. Setelah itu, baru mereka terima,” ucap Mama Lena.
Keluarga baru
Rumah AIRA seperti keluarga baru bagi Mama Lena dan ketiga anaknya. Mereka merawat anak-anak dengan HIV/AIDS seperti keluarga sendiri tanpa memandang suku, ras, dan agama. Bahkan, ritual kelahiran ataupun kematian diselenggarakan sesuai dengan agama dan kepercayaan orangtua sang anak. Semua hal yang dilakukan Mama Lena dan keluarga karena rasa sosial dan kepedulian terhadap sesama.
Mama Lena menuturkan, saat ini di Rumah AIRA tinggal dua sukarelawan yang juga menyandang HIV/AIDS. Mereka ialah SR (19), korban perdagangan anak asal Purbalingga, dan Derlina (36), warga asal Sumatera Utara. Kini, SR melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas, sementara Derlina mengikuti kursus salon dan kecantikan.
”Mereka yang membantu ngopeni kalau ada anak yang singgah di Rumah AIRA. Kami sudah seperti keluarga,” kata Mama Lena.
SR dan Derlina masuk dalam jajaran pengurus harian Rumah AIRA. Mayoritas pengurus adalah profesional dari beragam bidang pekerjaan. Mereka bergabung secara sukarela karena menyadari lemahnya perlindungan terhadap anak-anak dengan HIV/AIDS. Selama ini, Rumah AIRA hidup dari uluran tangan sukarelawan dan tak pernah mendapat bantuan pemerintah.
Mama Lena berharap langkah kecil ini dapat menyelamatkan sebanyak mungkin masa depan anak-anak dengan HIV/AIDS. Mereka adalah korban yang patut diselamatkan dan rahmat Allah yang harus dijaga.