Sekolah untuk Anak Mentawai
Tahun 2002, Tarida Hernawati (43) mengawali petualangannya ke pedalaman Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Awalnya, sebagai antropolog, ia datang untuk meneliti budaya setempat. Belakangan, ia terdorong untuk mendirikan Sekolah Uma untuk anak-anak di pedalaman Mentawai.
Uma adalah nama untuk rumah tradisional Mentawai. Nama Uma merupakan perbaikan dari penamaan sekolah pada saat berdiri, yakni sekolah hutan. ”Kalau menggunakan sekolah hutan, akan membuat anak-anak tereksklusi dan bisa berdampak terhadap psikologi mereka. Kami mencari istilah lain yang lebih pas, tetapi tidak menghilangkan identitas mereka sebagai orang Mentawai,” kata Tarida, Rabu (17/1).
- English Version: A School for the Children of Mentawai Islands
Sekolah Uma berbeda dengan sekolah formal baik dalam hal jam belajar, seragam, alat peraga, metode pembelajaran, maupun sumber belajar. Semua disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat. Lingkungan, adat istiadat, dan budaya keseharian menjadi sumber pembelajaran utama. Orangtua dan tetua adat dilibatkan sebagai narasumber dalam proses belajar-mengajar.
Pada awalnya, sebagai antropolog dan peneliti budaya, target utama Tarida memang mengumpulkan dokumen dan kajian untuk mendukung draf muatan lokal budaya Mentawai. Dia diharuskan tinggal dan hidup bersama masyarakat di Dusun Salappa, Desa Muntei, sekitar empat jam perjalanan melewati sungai dari Muara Siberut, pusat Kecamatan Siberut Selatan. Jaraknya sekitar 150 kilometer dari daratan Sumbar.
Tahun 2003, Tarida bertemu dengan seorang warga Dusun Bekkeiluk yang datang ke Salappa untuk menjual nilam dan rotan. Pertemuan itu mengawali keterlibatan Tarida dalam menyediakan pendidikan untuk anak-anak di pedalaman Mentawai.
”Warga itu sering mampir ke pustaka kampung di Salappa. Pustaka kampung adalah salah satu program pendidikan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), tempat saya bekerja. Dari warga itu, saya tahu bahwa ada permukiman warga di dalam hutan. Ia bahkan mengundang saya ke sana,” katanya.
Sebagai peneliti, Tarida yang sejak 2015 menjadi Kepala Divisi Kajian YCMM tertarik dan menyanggupi datang ke permukiman warga di dalam hutan. ”Butuh perjalanan lebih dari tiga jam melewati rawa dan lumpur dengan kedalaman hingga sepangkal paha untuk sampai di sana,” ujar Tarida.
Tarida bersama YCMM memang tidak langsung mendirikan sekolah hutan di Dusun Bekkeiluk. Mereka harus berkali-kali datang dan menginap di sana. ”Di awal, kami mencoba melihat apakah benar anak-anak ini butuh pendidikan. Atau jangan-jangan itu menurut kami saja karena kasihan atau prihatin,” kata Tarida.
Setahun penjajakan, pada awal 2004 mereka mulai membawa bahan bacaan ke sana untuk mengajarkan baca, tulis, dan hitung. ”Kami juga membawa alat tulis. Selama ini, mereka hanya menulis di tanah. Itu pun butuh waktu karena banyak yang tidak mengerti pensil itu apa. Bahkan, penghapus dimakan karena dianggap permen,” kenang Tarida.
Setelah menggunakan sistem mengajar dari rumah ke rumah, Tarida mulai memikirkan sistem pengajaran laiknya sekolah formal. Tujuannya agar anak-anak lebih fokus belajar dan dapat berinteraksi satu sama lain.
”Awalnya mau bikin rumah untuk sekolah, tetapi tidak jadi. Akhirnya, bersama masyarakat, kami mendirikan sekolah pertama dalam bentuk pondok berlantai papan, tidak berdinding, dan hanya beratap,” kata Tarida.
Kabar tentang keberadaan Sekolah Uma di Bekkeiluk menyebar dengan cepat, terutama ke perkampungan-perkampungan di sekitar Bekkeiluk. ”Ternyata banyak yang tertarik dan sadar bahwa meski tinggal di dalam hutan, mereka tetap bisa sekolah. Akhirnya, bukan hanya anak-anak dari Bekkeiluk, anak-anak kampung lain itu juga ikut belajar,” kata Tarida.
Berita tentang sekolah hutan itu sampai ke Yayasan Prayoga Padang, Yayasan Keuskupan Padang yang bergerak di bidang pendidikan. Yayasan kemudian datang dan melayani warga. Tetapi, karena lokasi desa jauh di pedalaman, muncul ide agar memindahkan desa ke pinggir sungai supaya akses lebih mudah. Pada 2004, perkampungan-perkampungan di dalam hutan itu pun pindah ke pinggir sungai dan bergabung menjadi Dusun Bekkeiluk.
Bertambah
Setelah Bekkeiluk, pada 2008 sekolah hutan berikutnya berdiri di Sangong, empat jam perjalanan sungai dari Salappa. ”Respons masyarakat di sana sangat luar biasa karena selama ini mereka sangat kesulitan mengakses pendidikan formal yang jauh dari kampungnya. Meninggalkan kampung juga berat karena mereka masih sangat bergantung pada sumber daya ekonomi di sekitar hutan di kampung mereka,” tutur Tarida.
Tidak seperti di Bekkeiluk, Sekolah Uma di Sangong menghadapi kendala. Tarida mengaku kewalahan karena tidak bisa rutin ke sana. Apalagi, dia masih harus melanjutkan penelitian. Akibatnya, ada anak-anak yang tidak bersekolah lagi karena ikut orangtuanya ke hutan.
”Awalnya kesulitan mencari guru. Sampai akhirnya ada yang bersedia tinggal di sana. Orang itu biasa mengantar saya bolak-balik dengan perahu pompong ke Sangong. Sering juga menemani berjalan kaki melewati hutan rawa dan lumpur sekitar satu jam ketika kondisi sungai sedang sangat dangkal. Eh, sekarang menjadi suami saya ha-ha-ha,” kata Tarida tertawa.
Setelah Sangong yang saat ini bernama Magosi, ada tiga sekolah lain yang didirikan, yakni di Tinambu, Desa Saliguma, Siberut Tengah, pada 2009; di Gorottai, Desa Malancan, Siberut Utara, pada 2015; dan di Siata Nusa-Attabai, Madobak, Siberut Selatan, pada 2016.
Gorottai adalah kampung lama. Sebagian warganya dipaksa pindah dan hanya menyisakan 13 keluarga. Akibatnya, sekolah di sana hingga saat ini hanya memiliki lima siswa. Sementara Attabai, secara geografis, wilayah ini sangat sulit ditempuh. ”Paling tidak, saya dan teman-teman butuh dua hari perjalanan ke sana. Kami mulai membuka Sekolah Uma dengan total siswa 16 orang,” kata Tarida.
Tarida mengatakan, dirinya dan YCMM akan terus mendorong pendidikan di Mentawai. Pendekatannya tetap dengan model Sekolah Uma. Sekolah Uma diharapkan bisa menjadi model pendidikan di kampung atau di tempat-tempat terpencil yang sulit diakses.
”Saya bermimpi, orang Mentawai di daerah-daerah terpencil ini tetap dekat dan bisa bersekolah, tanpa harus dijauhkan dari lingkungan alam dan budayanya. Tidak masalah jika sekolahnya di tengah hutan, tetapi tidak kalah kualitasnya dengan sekolah-sekolah di luar sana secara karakter, secara pengetahuan lokal,” kata Tarida.
Menurut Tarida, hutan dan sumber daya alam di sekitar mereka merupakan sumber inspirasi budaya dan juga sumber pemenuhan kebutuhan ekonomi Mentawai. Mempertahankan hutan pada dasarnya mempertahankan kehidupan dan identitas sebagai orang Mentawai. Pendidikan akademik seperti di sekolah formal bukan tujuan utama, melainkan sebagai alat penguat identitas dan jati diri orang Mentawai.
Bisa saja ada sekolah negeri di balik gunung, tetapi dengan kualitas guru yang terakreditasi, yang punya sertifikasi, serta dengan gaya pembelajaran yang masih menyesuaikan dengan lingkungan dan alam serta budaya setempat.
Beberapa Sekolah Uma sudah diakui pemerintah dan menjadi bagian (filial) dari sekolah negeri. Sekolah Uma di Bekkeiluk sekarang menjadi bagian dari SD Santa Maria milik Yayasan Prayoga, Sekolah Uma Magosi—yang di awal pendiriannya bernama Sekolah Hutan Sangong—resmi menjadi SD Negeri 12 Muntei Filial Magosi. Begitu juga Sekolah Uma Tinambu yang telah menjalin kerja sama dengan SDN 16 Saliguma dan Sekolah Uma Siata Nusa-Attabai dengan SDN 21 Madobak. Lulusannya sudah ada yang melanjutkan sekolah ke pusat kecamatan atau ke Padang.
Tarida yang dikenal sebagian besar warga pedalaman Siberut itu mengaku belum berbuat apa-apa. ”Kalau melihat 15 tahun, belum banyak perubahan di Bekkeiluk dan Salappa,” kata Tarida.
Dirinya ingin terus menggali dan mencari model pendekatan yang paling tepat untuk membangun Mentawai.