Memetik Buah Musik Berkarakter
Konser Persembahan untuk Ibu di Amir Pasaribu Concert Hall di kawasan Bintaro, Tangerang, Banten, Minggu (15/10) siang, itu tidak hanya membuat sang pianis terkemuka Indonesia, Iravati M Sudiarso, penuh haru, tetapi demikian juga para muridnya.
Harimada Kusuma, salah seorang murid yang siang itu menjadi pembawa acara, menyebutkan, rentang waktu dalam bimbingan Tante Ira—demikian Iravati akrab disapa murid- muridnya—boleh jadi singkat dalam kehidupan. Namun, itulah momen yang amat mengesankan dan berarti.
Iravati mendidik murid-muridnya dengan kesabaran dan kedisiplinan. Ini menjadi inspirasi bagi murid Sekolah Musik Yayasan Pendidikan Musik (YPM) yang berdiri sejak Oktober 1952.
”Tiada satu not atau jari pun yang luput dari perhatian beliau,” kenang Harimada. Iravati yang memperingati 80 tahun usianya tentu akan digugah kembali kenangannya, antara lain, bagaimana ia membekali Gita Bayuratri dengan karya F Chopin— ”Berceuse Opus 57”—untuk menjadi bekal audisinya saat mau melanjutkan studi ke Konservatorium St Petersburg, Rusia, satu setengah dekade silam.
Atau bagaimana ia menahan Mario Santoso untuk jangan dulu memainkan karya Chopin yang lain—”Barcarolle Opus 60”—karena saat itu Iravati memandang kematangan psikologis Mario belum memadai untuk memainkan karya itu. Kini, seperti diperlihatkan dalam konser Persembahan untuk Ibu, baik Gita maupun Mario sudah apik dan dewasa memainkan karya-karya Chopin di atas.
Musik bagi Iravati dalam narasi di atas tampak lebih berupa amanah pendidikan. Bagi dia, tugasnya adalah untuk menjadi pedagog, melahirkan instrumentalis dan musisi yang cemerlang, tetapi juga berkarakter. Iravati menjadi pianis Asia pertama yang tampil sebagai solis bersama New York Philharmonic Orchestra dalam acara peresmian Lincoln Center for the Performing Arts tahun 1964.
Sisi lain dari Iravati adalah menjadikan musik sebagai ekspresi seni sekaligus juga ekspresi keprihatinan. Inilah yang ia tampilkan saat bersama putrinya, Aisha Sudiarso Pletscher, memainkan karya Johan Sebastian Bach/Mary Howe, ”Sheep May Safely Graze” (”Biarkan Domba Merumput dengan Aman”), pada saat negeri berada di pusaran krisis. Karya itu, bersama dengan karya satir ”Saint-Saens Le Carnaval des Animaux”, menjadi tema utama konser Pertiwi Menangis untuk kepedulian terhadap pengungsi pada April 2000.
Selain doa agar bangsa Indonesia berkecukupan dalam pangan, Iravati yang saat itu tampil duo dengan Aisha juga memohon agar bangsa Indonesia menjadi lebih pintar. Harapan inilah yang oleh ibu-anak pianis ini diungkapkan melalui karya Mozart, yang sering dijadikan sebagai lambang anak cerdas, ”Sonata” untuk dua piano. Iravati dan Aisha saat itu juga mengiringi doa yang disampaikan oleh warga Aceh dengan petikan Les Larmes (Air Mata) dari ”Suite Opus 5 No 1” ciptaan Rachmaninoff.
Kepekaan sosial
Sebagai pianis, Iravati memperlihatkan kepekaan terhadap perkembangan sosial yang terjadi di sekitarnya. Namun, hal itu tidak mengurangi kesungguhannya untuk mendalami karya-karya menantang, seperti halnya karya Rachmaninoff. Ini ia perlihatkan saat tampil bersama Twilite Orchestra di bawah konduktor Addie MS. Di Teater Tanah Airku, TMII, 27 Agustus 1999, Iravati tampil memainkan bagian ”Allegro Scherzando dari Konser Piano No 2” yang dalam pergelaran perdana menampilkan sang komposer sendiri sebagai solisnya.
Ketika Iravati memilih karya Rachmaninoff yang dikenal sebagai salah satu empu dalam seni piano virtuoso, memperlihatkan inklinasinya pada karya-karya besar yang secara musik sangat menantang.
Saat tampil membalas persembahan murid-muridnya, Iravati memilih karya Chopin yang tidak kalah rumit, yakni ”Nocturne dalam D-flat mayor, Opus 27 No 2”. Ingatan para murid yang hadir, seperti Aning Katamsi, Adelaide Simbolon, Binu D Sukaman, Surtikaryani Muktidarmi, dan Levi Gunardi, pastilah melayang ke satu masa Sang Ibu masih dekat mendampingi mereka.
Selepas dari Iravati M Sudiarso (IMS) Class, begitu mereka menyebut akrab bimbingan gurunya, murid- murid tersebut melanjutkan studi musik ke tempat-tempat jauh, dari Manhattan School of Music hingga Royal Holloway University, dari Konservatorium Amsterdam hingga Konservatorium St Petersburg. Lebih dari sekadar mendapatkan ilmu lebih canggih dalam piano performance, mereka tetap memperlihatkan rasa hormat kepada Ibu Guru, pada almamater. Itulah karakter yang juga menjadi ciri khas murid IMS Class.
Satu hal lain yang juga dipuji dari sosok Iravati adalah perhatiannya pada karya anak bangsa. Itu sebabnya, dalam konser Persembahan untuk Ibu, Harimada memasukkan karya Binsar Sitompul (”Doa”, yang dinyanyikan oleh Aning Katamsi), Amir Pasaribu (”Ole-ole Meloyo-loyo” dan”Capung Kecimpung di Cikapundung”), dan mendiang Yazeed Djamin (”Srikandhy”). Oleh dorongannya, lahir pula pianis YPM yang kemudian mengembangkan bakat komposisi, seperti Marisa Sharon Hartanto yang siang itu memainkan karyanya, ”Swasti Wanti Warsa”, bahasa Bali yang juga berarti selamat ulang tahun.
Ketika menginjak memasuki usia 80, Iravati tetaplah mencintai piano, instrumen yang membentuk sosoknya. Ia bisa bersyukur atas usia penuh berkah, murid-murid yang menjadi pianis Indonesia yang terpandang, dan juga untuk berbagai penghargaan yang ia terima sebagai pengakuan atas pencapaian dan dedikasi yang ia berikan.
Kehidupan musik begitu luas dan menyelimuti kehidupan. ”Kami bersyukur diparingi (mendapatkan) kesempatan untuk menikmati dan mengagumi ’the wonders of music’,” ujar Iravati. Pandangan sederhana, tetapi yang membuatnya besar.
Dalam kenangan Harimada, gurunya yang satu ini mirip sahabatnya, mendiang Rudy Laban, bahwa grootheid ligt in de eenvoud van iemand (kebesaran terletak pada kesederhanaan seseorang).