Berjuang Menoreh Prestasi
Selasa (10/10) sore, Jendi datang ke Jakabaring Aquatic Stadium di Kompleks Olahraga Jakabaring, Palembang, untuk berlatih renang. Itu adalah kegiatan rutin yang dia geluti hampir setiap hari.
Dua pelatih renang Jendi, Yunardi Djama (54) dan Sadarman (55), mengawasinya dari pinggir kolam. Seusai pemanasan, Jendi bertolak ke kolam renang latihan yang ada di bagian belakang stadium. Dia mengenakan peralatan renangnya, kemudian menaiki balok start, meloncat, dan berenang. Memukau. Jendi menunjukkan aksinya berenang dengan berbagai gaya hanya dengan menggunakan satu kaki yang ia punya.
Kala itu adalah hari kedua Jendi berlatih sekembalinya dari ajang ASEAN Para Games di Malaysia. Prestasi memukau diraihnya di pesta olahraga atlet difabel se-Asia Tenggara tersebut.
Jendi mampu menyabet lima medali emas dari lima nomor renang yang diikutinya, bahkan ia memecahkan rekor di sejumlah nomor. ”Ini adalah raihan medali emas terbanyak selama saya mengikuti ajang ASEAN Para Games, termasuk di sepanjang karier olahraga saya,” ujarnya.
Semua medali itu dia peroleh hanya dengan satu kaki. Jendi harus kehilangan kaki kirinya akibat kecelakaan yang dialaminya pada 2004, tepat setelah dia mengikuti ujian nasional tingkat sekolah dasar.
Kecelakaan tersebut terjadi saat dia berumur 12 tahun. Ia dibonceng temannya menggunakan sepeda motor dan menabrak pohon karet. ”Setelah itu, kaki kiri saya hancur dan harus diamputasi,” katanya.
Jendi pun harus menjalani pengobatan dan terus menyesuaikan diri untuk berjalan dengan satu kaki. Jendi kecil sempat merasa terpuruk meratapi keadaan. Namun, berkat semangat dari kedua orangtuanya, Akmal Yas Budaya dan Misrawati, Jendi tetap menjalani kehidupannya seperti biasa.
Tidak ada perlakuan berbeda dari teman-teman dan gurunya. ”Saya bermain seperti biasa. Itulah yang membuat saya kembali bersemangat,” ujar anak kedua dari empat bersaudara ini.
Menekuni olahraga
Beranjak dewasa, Jendi mulai menekuni olahraga. Dia merasa darah olahraga sang ibu, Misrawati, yang adalah atlet voli, mengalir di tubuhnya. Jendi memulai karier olahraga pada cabang tenis meja tahun 2009.
Di cabang olahraga itu, Jendi meraih sejumlah prestasi mulai dari tingkat kejuaraan pelajar hingga sejumlah kompetisi di desanya pada 2010. ”Namun, entah kenapa saya tidak merasa tertantang di olahraga ini,” kata pengagum atlet lari difabel asal Afrika Selatan, Oscar Pistorius, ini.
Akhirnya, Jendi memilih renang sebagai cabang olahraga baru yang akan digelutinya. Bak gayung bersambut, pada 2010, Jendi bertemu dengan Sadarman dan meminta agar dirinya dapat ikut latihan renang. ”Semua orang berhak untuk ikut cabang olahraga renang,” kata Sadarman.
Berenang bukanlah hal baru bagi Jendi. Sejak umur lima tahun, Jendi sering bermain dan berenang di Sungai Rambang di Kabupaten Muara Enim, tempat kelahirannya. ”Walaupun demikian, untuk menjadi atlet ada teknik-teknik yang harus dimiliki. Itulah yang harus terus dipelajari,” kata Jendi.
Di awal usahanya itu, masalah biaya dan transportasi menjadi kendala utama. Namun, kedua pelatihnya mendorong Jendi untuk terus bertekun. Bahkan, mereka tidak segan untuk mengantar dan menjemput Jendi ke Stadium.
Berkat tekad kuat dan dukungan pelatih, Jendi mampu menyesuaikan diri dengan teknik renang yang diajarkan. Lambat laun, dia pun terbiasa mengarungi kompetisi renang untuk atlet difabel.
Pelatih Jendi, Yunardi Djama, menilai Jendi adalah atlet yang pantang menyerah dan tidak banyak bicara. Suatu kali, Jendi pernah meminta agar program latihannya disamakan dengan atlet Pekan Olahraga Nasional. Atlet harus menempuh latihan setidaknya 6.000 meter. Padahal, standar untuk atlet difabel cukup hanya 3.000 meter.
”Tak disangka, Jendi berhasil menyesuaikan diri dengan atlet PON dari Sumsel,” kata Yunardi.
Jendi juga meminta agar porsi waktu latihannya ditambah hingga pukul 20.00 dari jadwal semula yang hanya sampai pukul 18.00. Alhasil, Jendi mampu memperoleh 2 medali emas, 1 perak, dan 1 perunggu pada Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) 2012 di Riau.
Tak berhenti di situ, dengan pola latihan yang terus meningkat, Jendi kembali menorehkan prestasi di ajang Perparnas di Bandung, ASEAN Paragames di Singapura, Myanmar, dan Malaysia.
Walau banyak prestasi yang sudah ditorehnya, Jendi bertekad untuk tetap tekun berlatih di olahraga renang ini. Teringat akan pesan kedua orangtuanya, yakni ”Bertanggung jawab atas semua tindakan yang sudah dipilih”, itulah yang terus Jendi pedomani hingga saat ini.
Dari hasil kerja kerasnya itu, Jendi mampu mendapatkan semua hal yang diperlukan, mulai dari kendaraan hingga rumah sendiri. Bahkan, karena prestasinya, kini dia bekerja sebagai pegawai honorer di Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Sumatera Selatan.
Namun, hal yang paling mengharukan adalah ketika atlet difabel diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Presiden, 2 Oktober 2017. Undangan itu sebagai bentuk penghargaan Presiden karena Indonesia berhasil memboyong 251 medali dan menjadi juara umum pada perhelatan ASEAN Para Games 2017 di Malaysia, mengungguli tuan rumah yang berada di posisi kedua.
Yang lebih membanggakan, Jendi memiliki kesempatan untuk berfoto berdua dengan Presiden Joko Widodo dan diunggah ke Facebook pribadi Presiden. ”Saya sangat senang sekaligus bangga,” katanya.
Target selanjutnya, Jendi ingin memberikan yang terbaik bagi Indonesia pada Asian Para Games 2018. ”Saya akan berjuang keras, apalagi Indonesia adalah tuan rumah,” kata Jendi.
Ke depan, Jendi memiliki cita-cita bisa memberikan kontribusi bagi bangsa dengan menjadi pelatih renang untuk menularkan kemampuan yang sudah dimilikinya kepada generasi muda nanti.