Mengantar Orang Rimba Berdaya
Tak mudah mengubah imaji dunia luar akan identitas Orang Rimba. Selama ini telah melekat stigma Orang Rimba adalah komunitas pedalaman yang terbelakang. Salah satu pemimpin kelompok Orang Rimba, Ngilo (46), dan anaknya, Andi Jeni, bertekad mengubah stigma tersebut.
Ngilo memulainya dari lingkungan terkecil: keluarga. Ketika masih banyak orangtua di komunitasnya tertutup pada pendidikan di luar rimba, Ngilo malah sebaliknya. Kedua anaknya, Andi Jeni (15) dan Nur Janawati (12), ditanamkan tekad agar tekun belajar. ”Jangan sampai kita ditipu orang luar karena tak bisa membaca dan berhitung,” ujarnya, pekan lalu.
Masih lekat dalam ingatannya bagaimana pendidikan sulit masuk di wilayah itu. Ketika datang seorang guru relawan yang menjelajahi habitat kelompok itu di sekitar Jalan Lintas Tengah Sumatera, Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, Ngilo sempat ketakutan karena mereka tak pernah kedatangan tamu.
Kelompok itu turun-temurun menjaga kehidupan menyepi di balik semak belukar dalam hutan. Nyaris tanpa kehadiran dunia luar, mereka menjadikan tradisi terawat berabad-abad lamanya. Namun, tradisi itu tergerus oleh pembukaan hutan besar-besaran di sekitar Bukit Duabelas dalam 30 tahun terakhir.
Dari 3.600 jiwa anggota komunitas Orang Rimba, lebih dari setengahnya kehilangan ruang hidup. Kelompok Ngilo yang menyebar di ekosistem Bukit Duabelas itu menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak oleh pembukaan hutan. Dalam waktu singkat, tempat hidup mereka berubah menjadi sentra pembangunan. Di situ dibangun Jalan Lintas Tengah Sumatera sepanjang 350 kilometer, permukiman transmigran, dan perkebunan swasta.
Perubahan drastis itu sempat mengguncang kehidupan komunitas tersebut karena mereka kehilangan sumber pangan yang biasanya tersedia dalam hutan. Kehilangan sumber daya menempatkan mereka pada situasi paling sulit. Kondisi mereka kontras jika dibandingkan kehidupan para pendatang asal Jawa. Ratusan keluarga peserta transmigrasi mendapatkan bantuan rumah dan lahan garapan dua hektar dari pemerintah. Tanah itu semula merupakan sandaran hidup Orang Rimba.
Mulai belajar
Beberapa kali sang relawan itu berkunjung, Ngilo akhirnya mengerti. Inilah saatnya bagi mereka berubah. Guru itu menawarkan kepada para orangtua, jika berkenan anak-anaknya diajari membaca, menulis, dan berhitung, si guru akan mengajari. Ngilo satu-satunya yang paling mendukung.
Saat itu, si sulung Jeni masih ketakutan menghadapi pendatang. Ia lari bersembunyi jauh ke tengah hutan. Sewaktu Jeni kembali, Ngilo memberitahunya untuk tidak perlu takut lagi. Sejak itu, peradaban baru dimulai di kelompoknya. Di antara semak, Jeni dan sejumlah anak rimba duduk bersama bersekolah kepada guru relawan. Ia sendiri dengan cepat pintar membaca, menulis, dan berhitung.
Saat difasilitasi untuk masuk ke sekolah dasar formal, Jeni menunjukkan prestasi di kelas. Sehari-hari, Jeni mencintai dunia sastra. Waktu senggang ia manfaatkan untuk menulis pusi.
Pada 2015, Jeni menyabet juara untuk lomba mencipta dan membaca puisi tingkat Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin. Puisi ciptaannya mengisahkan keindahan rimba Bukit Duabelas dan ulah manusia yang merusak hutannya. ”Hampir setiap malam, orangtua kami menceritakan indahnya rimbo (hutan) kami dulu. Tapi, sekarang rimbo sudah habis,” tuturnya.
Sepulang sekolah, ia kerap mengajari baca tulis kepada anak-anak kecil di kelompoknya yang belum bersekolah. Ia sangat gembira ketika mendapatkan bantuan perpustakaan dan ribuan buku bacaan dari Toko Buku Gramedia tahun lalu. Setiap hari, perpustakaan menjadi tempat anak-anak berkumpul untuk membaca dan belajar bersama.
Jeni juga mengajak teman-temannya bersekolah. Kini, dari 40-an keluarga, hampir semua anak-anak sudah bisa membaca dan menulis. Sebagian besar kini bahkan mengenyam pendidikan formal di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Menjaga penghidupan
Di antara belasan kelompok yang dipaksa oleh keadaan untuk ”keluar” dari hutan dan berdiam di sepanjang Jalan Lintas Tengah yang memanjang dari Kabupaten Sarolangun, Jambi, hingga Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, hanya sedikit yang berhasil mengenyam kesejahteraan.
Kepada anggota kelompoknya, Ngilo mengingatkan mereka untuk memulai lembaran baru. Tradisi hidup berpindah, berburu, dan meramu semakin sulit mereka jalankan karena ruang hidup menyempit. Ngilo pun mengajak warga mulai memanfaatkan lahan yang tersisa. Lahan itu digarap untuk bercocok tanam, berkebun, dan beternak. Di pekarangan rumah, Orang Rimba juga mulai belajar menanam sayuran. Tanah komunal seluas 1,5 hektar mereka tanam dengan padi serta beragam jenis tanaman kebun dan buah-buahan.
Yang paling sukses adalah usaha ternak kambing dan ayam. Dari 10 ekor kambing bantuan dari sebuah lembaga konservasi, Pundi Sumatera, kelompok itu berhasil mengembangbiakkannya lebih dari 100 ekor. Usaha ternak kambing yang berkembang pesat menjadikan kawasan itu sentra peternakan yang dikenal luas masyarakat setempat.
Beberapa kali kelompok ini diajak studi banding, misalnya mengunjungi Balai Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) dan kelompok tani ternak lain yang lebih sukses. Setiap kali kembali, Ngilo langsung mempraktikkan ilmu baru yang ia dapatkan. Misalnya, jika kambing kembung, berikan daun nangka muda. Kandang kambing harus dibangun agak tinggi, minimal satu meter di atas tanah. ”Tujuannya agar kambing tetap hangat, tak mudah kembung,” ujarnya.
Ngilo selalu mengingatkan warga bahwa budaya memungut dan mengumpulkan hasil hutan mungkin tak dapat lagi mereka pertahankan. Saat ini, Orang Rimba harus tetap mempertahankan hidupnya. Maka, mereka harus mengembangkan perekonomian dari sumber daya yang ada.
Menumbuhkan tradisi baru bernama budidaya awalnya memang sulit. Ngilo menceritakan, masih ada sejumlah Orang Rimba yang setelah memperoleh bantuan kambing bukannya merawat, malah menjualnya. Orang Rimba umumnya ingin mendapatkan hasil instan karena kuatnya pengaruh tradisi berburu dan mengumpulkan hasil hutan. ”Adapun menjalankan budidaya butuh ketelatenan dan kesabaran,” ujarnya.
Masih panjang jalan untuk mengantar warganya mandiri dan berdaya secara ekonomi. Namun, Ngilo meyakini mereka bisa bangkit. Saatnya menghapus duka dari hilangnya rimba.