Berbagi untuk Kebaikan Danau Toba
Pria yang hobi memakai sortali (ikat kepala) itu mulai merasa gelisah saat melihat lingkungan di sekitar Danau Toba kian hari kian memprihatinkan. Ada banyak keramba jaring apung, limbah rumah tangga, tumpahan minyak, sisa pestisida, dan penghancuran ekosistem hutan oleh perusahaan.
Situasinya seperti benang kusut yang sulit diurai. Togu mencoba masuk lewat jalan yang sunyi sebagai pegiat literasi. Dengan literasi, ia mendorong masyarakat melek pengetahuan. Selain itu, ia membuat program pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan. Semua kegiatan itu ia lakukan dalam wadah yayasan Alusi Tao Toba.
Alusi dalam bahasa Batak berarti menjawab. Alusi Tao Toba didirikan dengan semangat menjawab permasalahan di sekitar Danau Toba.
Pengalaman Togu sebagai peneliti dan aktivis lingkungan hidup di Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, membantunya untuk memulai mimpinya.
Di Kalimantan Tengah, ia memberdayakan masyarakat agar sadar untuk menjaga lingkungan dan tidak merusak hutan yang menjadi rumah bagi orangutan dan satwa lainnya. Setelah mendidik kader-kader dan penerus yang ia percaya, ia memutuskan untuk mengabdi di kampungnya. ”Saya merasa cukup berbuat di sana. Saatnya saya pulang,” kata Togu Simorangkir, Kamis (18/5), di Jakarta.
Kapal belajar
Kegiatan yang dilakukan Alusi Tao Toba, di antaranya, adalah mengoperasikan kapal belajar. Kapal belajar melayani perpustakaan keliling di delapan kabupaten di Danau Toba, yakni Samosir, Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Karo, Dairi, dan Pakpak Barat. Pelayanan ini ia sebut pendidikan universal tanpa memandang suku, agama, dan ras.
Mengapa ia memilih masuk dari jalur pendidikan? Menurut dia, pendidikan berfungsi sebagai pengubah perilaku dan cara pikir masyarakat. Jika masyarakat sudah terdidik, mereka lebih mudah diajak untuk melestarikan Danau Toba.
Sejauh ini, Alusi Tao Toba memiliki empat sopo (rumah) belajar yang melayani empat desa di empat kecamatan. Ia juga memiliki 13 relawan yang mengajari anak-anak membaca dan budi pekerti, seperti mengucapkan terima kasih, meminta tolong, meminta maaf, dan tidak membuang sampah sembarangan. Ada ribuan anak di delapan kabupaten yang belajar di sopo belajar Alusi Tao Toba.
”Kebanyakan anak-anak sekolah di Danau Toba itu langsung ke ladang untuk membantu orangtuanya. Nah, kita masuk ke sana, pelan-pelan masuk untuk mengajarkan tradisi membaca,” kata Togu.
Pada awal Alusi Tao Toba berdiri, Togu harus berhadapan dengan para orangtua yang kerap memukul anaknya jika tak membantu ke ladang. Padahal, anak-anak sedang belajar dan membaca buku di sopo belajar. Dengan sabar, Togu dan relawan menjelaskan kepada orangtua kegiatan apa saja yang dilakukan anaknya di sopo belajar.
”Adakalanya sopo belajar sepi pengunjung, terutama saat musim panen karena anak-anak membantu orangtuanya di ladang,” ujarnya.
Saat ini Togu sedang menggalang dana untuk membuat perpustakaan dengan sepeda motor. Dengan perpustakaan sepeda motor, anak-anak yang sedang bekerja di ladang bisa dijangkau.
Air dan telur bebek
Alusi Tao Toba didirikan dengan modal awal Rp 5 juta untuk biaya legalitas badan hukum dan akta notaris. Setelah itu, operasional yayasan dibiayai dengan dana dari kantong pribadi Togu serta sumbangan dari para dermawan. Togu berkomitmen, ia tidak mau mendanai yayasannya dari dana partai politik, perusahaan perusak lingkungan, dan rokok.
Dana lain berasal dari penjualan air minum dan telur bebek. Dari setiap penjualan air, ia mendapatkan keuntungan Rp 2.000. Keuntungan tersebut dibagi Rp 1.000 untuk Alusi Tao Toba dan Rp 1.000 untuk keluarganya. Mulai tahun 2011, muncul donasi untuk Alusi Tao Toba sehingga keuntungan berjualan murni untuk keluarganya. Saat ini, Togu juga mulai bertani organik dan berjualan telur bebek.
Togu termasuk pribadi yang cukup ”gila”. Berulang kali ia melakukan penggalangan dana dengan ”menyiksa diri”. Pada 2012, ia pernah berenang 9 kilometer selama 8 jam di Danau Toba. Ia sempat kram empat kali, tetapi ditahan. Setelah itu, untuk kram kelima kalinya, ia diangkat. Aksi itu tergolong nekat karena Togu hanya berlatih di sungai di belakang rumahnya. ”Saya pun sampai dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan,” ujar Togu.
Togu juga kerap menggelar berbagai acara penggalangan dana, seperti Toba Charity, jalan santai, berlari, dan donasi Rp 1.000 per hari. Tahun depan Togu merencanakan untuk menggalang dana lagi dengan kegiatan triatlon. Ia harus giat berlatih dengan konsisten supaya fisiknya kuat menghadapi triatlon yang akan diadakan pada April 2018.
Hasil penggalangan dana itu ia gunakan untuk pengadaan kapal, operasional sopo belajar, dan kegiatan lain di Alusi Tao Toba.
”Banyak keajaiban yang saya rasakan saat mendirikan Alusi Tao Toba ini. Misalnya, saya ingin punya alat digital di kapal, tiba-tiba ada bantuan. Semesta seperti mendukung mimpi-mimpi saya,” ujar Togu.
Didikan orangtua
Sejak kecil, Togu sudah diajarkan untuk selalu berbagi oleh kedua orangtuanya. Ayahnya, almarhum PH Simorangkir, adalah seorang petani. Jika di rumah hanya memiliki lima baju, ia akan menyumbangkan dua di antaranya kepada orang lain yang membutuhkan.
Ibunya, Rumondang Gultom, juga seorang bidan desa yang terkadang tidak dibayar saat membantu warga melahirkan. Didikan inilah yang membuat Togu selalu ingat untuk berbagi kepada sesama. Bahkan, ia kini berkesimpulan berbuat baik itu adalah candu.
”Sejak kecil saya melihat ibu melayani ibu-ibu hamil di kampung. Terkadang, dia tidak dibayar, saya bertanya, tetapi dia hanya tersenyum. Dia mengajarkan saya bagaimana caranya berbagi dengan tulus,” ucap Togu.
Togu sadar langkahnya untuk menyadarkan warga di sekitar Danau Toba tidak bisa langsung dilihat hasilnya. Ia membutuhkan waktu lama untuk bisa mewujudkan cita-citanya. Namun, setelah lama berjuang di Alusi Tao Toba, satu hal yang membuatnya bangga adalah kepercayaan diri anak-anak meningkat. Mereka lebih sadar untuk menjaga lingkungan.
Togu menceritakan, suatu saat dia sedang berada satu kapal dan menawarkan permen karet kepada muridnya, Ronaldo Situmorang. Setelah memakan permen, Ronaldo tidak membuang sampah sembarangan, tetapi menyimpan sampahnya di kantong.
”Melalui perilaku kecil seperti itu, kita bisa mengajarkan generasi penerus yang nantinya bisa jadi pemimpin pada masa depan,” ujar Togu.
Ia akan terus bermimpi untuk berbagi kepada anak-anak di sekitar Danau Toba. Ia juga berharap bisa mendidik kader-kader lokal yang bisa melanjutkan mimpi besarnya tentang Danau Toba. Selain itu, ia masih memiliki mimpi lainnya, yaitu membangun rumah singgah bagi orang dengan gangguan jiwa.