Pesan Damai untuk Negeri
Sejak ditulis 15 Mei 2017 pukul 10.21 hingga Senin (22/5) siang, tulisan berjudul ”Warisan” di dinding akun media sosial Facebook Afi Nihaya itu sudah dibagikan 66.538 kali, ditanggapi 20.701 komentar, dan mendapat 112.822 reaksi.
Afi Nihaya hanyalah nama pena yang diambil dari anagram nama si pemilik akun dan penulis ”Warisan”, yakni Asa Firda Inayah (19). Melalui ”Warisan”, Asa, yang baru lulus SMA bulan ini menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara yang dibangun dengan landasan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, lanjut Asa, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya. Namun, mereka tidak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. ”...Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa. Tapi tidak, kan?”
Asa menilai, perbedaan agama, suku, ras, ataupun kewarganegaraan seharusnya tidak dijadikan sekat pembeda antarmanusia. Pasalnya, saat lahir, manusia tidak bisa memilih lahir dengan agama, suku, ras, atau kewarganegaraan tertentu. Semua itu merupakan warisan.
Tulisan dara asal Kecamatan Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur, itu bagaikan embun di tengah situasi negara yang memanas karena aneka gesekan. Tulisan Asa sempat tidak bisa diakses hampir selama 24 jam lantaran Facebook menutup sementara akun milik Asa. Pengelola Facebook meminta verifikasi data diri Asa karena akun dan statusnya dilaporkan oleh sejumlah orang yang tidak suka dengan pemikirannya.
”Ternyata masih ada sebagian orang yang tidak senang dengan pesan yang saya sampaikan. Mungkin mereka merasa terusik sehingga melaporkan akun Afi Nihaya,” tuturnya santai.
Ia juga diserang dan menjadi sasaran bullying. Namun, Asa tetap tegar. Buat dia, tidak semua orang mesti berpikir sama. ”Tapi, marilah kita sama-sama berpikir.”
Yang membuat dia heran, mengapa seorang anak yang mengajak berpikir dianggap berbahaya oleh orang-orang tertentu.
Anak pedagang cilok
Asa merupakan putri pertama pasangan Imam Wahyudi (47) dan Sumartin (47). Ayahnya seorang pedagang cilok yang berkeliling dari satu sekolah ke sekolah lain. Sementara ibunya hanya bisa tinggal di rumah karena penyakit glukoma yang membuat penglihatannya terganggu. Kondisi keluarga yang serba terbatas tidak membuat Asa putus asa. Pikirannya juga tetap terbuka lantaran ia gemar membaca buku. Ia menargetkan membaca tiga judul buku per bulan.
Buku-buku psikologi populer menjadi kegemarannya. Beberapa buku yang ia akui mengubah dirinya antara lain The Magic of Thinking karya David Schwartz dan Seven Habits karya Steven Covey. Dari kedua buku itu Asa sadar, pikiran memiliki dua macam sifat yang bisa membunuh atau menolong. Ada orang yang dibunuh oleh pikirannya, ada pula orang yang ditolong oleh pikirannya.
”Saya memilih mencoba mewujudkan pikiran saya untuk menolong mewujudkan keinginan saya. Keinginan saya ialah mewujudkan dunia dan Indonesia yang damai bagi siapa saja,” ujarnya.
Asa juga memiliki kebiasaan menuliskan semua pengalaman dan pemikirannya dalam sebuah buku harian. Kebiasaan tersebut tersimpan dalam enam buku dengan total lebih dari 500 lembar. Baru pada 2015, Asa mulai menyampaikan pemikirannya di media sosial. Kolom status di Facebook ia gunakan untuk menyebarkan gagasannya.
Ia bermedia sosial dengan modal telepon pintar seharga Rp 600.000. Gawai tersebut ia dapatkan setelah menabung selama lebih dari satu tahun. ”Ini smartphone pertama saya. Hasil menabung dari sisa uang jajan Rp 5.000 per hari,” kata Asa sambil menunjukkan telepon genggam sederhana miliknya.
Semula, tujuan Asa membeli gawai bukan untuk bermedia sosial, melainkan untuk mencari bahan pelajaran. Namun, tidak dimungkiri, Asa juga ingin bermedia sosial seperti remaja lainnya.
”Warisan” bukanlah tulisan pertama Asa yang menjadi viral. Sekitar tiga bulan setelah memiliki gawai, ia menuliskan buah pemikirannya di telepon genggam dan mengunggahnya di Facebook. Tulisan Asa yang tidak berjudul itu pun viral.
Dalam tulisannya, Asa mengomentari dunia pendidikan di Indonesia. Tulisan yang dibuat setelah maraknya pemberitaan seorang wali murid yang melaporkan seorang guru ke polisi lantaran mencubit anak si wali murid itu dibagikan 4.705 kali, mendapat 143 komentar, dan 6.200 reaksi. Tulisan Asa yang juga viral terkait pengalamannya seusai menonaktifkan gawai selama 10 hari. Tulisan itu mendapat 5.885 komentar, 56.000 reaksi, dan dibagikan 34.702 kali.
Asa mengatakan, dirinya menulis dan bermedia sosial bukan untuk mencari likes. Ia hanya ingin menyampaikan pemikirannya dari fenomena yang terjadi di sekelilingnya. ”Kalau mau mencari likes atau jadi viral itu mudah. Buat saja tulisan yang mendukung satu kelompok tertentu atau membuat tulisan yang menyerang kelompok tertentu pasti viral. Tetapi, bukan itu yang ingin saya cari. Saya berada di tengah-tengah, tidak membela kelompok ini atau itu. Saya hanya ingin berbagi pesan damai.”
Sikap toleran dalam diri Asa tumbuh sejak sekolah dasar. Saat itu ia dilarang seorang temannya untuk bermain ke rumah teman lainnya yang berbeda agama. Asa kecil heran, mengapa ada batasan itu. Mulai saat itu, Asa ingin mendobrak batasan perbedaan. Ia ingin lebih menghargai perbedaan dan keragaman.
Ayah Asa, Imam Wahyudi, tak menyangka putrinya telah menggegerkan dunia maya hanya berbekal telepon pintar. Imam dulu sempat khawatir dengan Asa yang sering keasyikan bermain gawai hingga tidur larut malam. Imam sempat menyita gawai itu selama 10 hari. Akhirnya, Imam dan Asa sepakat, pukul 22.00 telepon harus dimatikan.
”Saya khawatir ia seperti remaja lain yang malas membantu orangtua karena terlalu asyik dengan HP-nya. Saya juga khawatir tidak bisa memantau pergaulannya karena saya tidak bisa mengontrol penggunaan HP-nya,” kata Imam. Namun, setelah muncul pemberitaan mengenai aktivitas putrinya yang menginspirasi banyak orang melalui media sosial, Imam bersyukur. Ternyata, putrinya menggunakan media sosial untuk hal positif. Ia lantas menawarkan telepon genggam baru untuk putrinya. Namun, tawaran itu ditolak Asa.
”Ini masih bisa dipakai, untuk apa beli baru. Lebih baik uangnya untuk pengobatan ibu, untuk biaya sekolah adik, atau untuk persiapan saya kuliah,” ujar Asa yang aktif sebagai admin Komunitas Anti Kabar Bohong.
Atas keberanian Asa menginspirasi menyampaikan pesan damai, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengundangnya sarapan bersama di ruang kerjanya. Anas berharap semakin banyak remaja yang terinspirasi dan berani menyerukan pesan damai ke seluruh pelosok negeri.