Guru Para Pendekar Wushu
Ia mengakhiri gerakannya dengan lembut, dalam diam dan hening. Gerakan-gerakan indah itu seolah menyatu dengan Supandi yang menggeluti wushu selama berpuluh-puluh tahun.
Di usianya yang sudah sepuh, ia terlihat sangat bugar dan lincah. Pemegang Dan VIII Chinese Wushu Association sejak 2010 itu sebenarnya sudah mencapai Dan IX, tingkat tertinggi kemahiran wushu. Namun, ia tetap membiarkan pada posisi Dan VIII. ”Kalau masih VIII masih ada level tertinggi yang akan diraih,” katanya, Selasa (24/1), di Medan, Sumatera Utara.
Kecintaannya pada wushu membuat dirinya identik dengan olahraga bela diri klasik asal Tiongkok ini. Lewat tangannya, lahir banyak atlet wushu Indonesia, di antaranya Lindswell Kwok, Jainab, Sandry Liong, Freddy, Dwi Arimbi, dan Julita Niza Wasni.
Atlet wushu binaannya sedikitnya telah merebut 305 medali, yaitu 118 medali emas, 84 medali perak, dan 103 medali perunggu, sejak 2007 dari 42 kejuaraan internasional, yakni World Wushu Championship, SEA Games, Asian Games, dan Islamic Solidarity Games.
Berguru ke Tiongkok
Supandi pertama kali mengenal wushu—waktu itu populer dengan nama kungfu—saat berusia 12 tahun. Ia diajak ayahnya, Hadi Kusuma, melihat warga berlatih kungfu di sebuah taman di Hongkong. ”Waktu kecil badan saya kurus dan sakit-sakitan. Ayah meminta saya belajar wushu supaya sehat,” katanya.
Tiga tahun kemudian, ia mulai berlatih kungfu. Pada usia 20 tahun, ia belajar taiji atau taijiquan, cabang bela diri wushu aliran lembut. Taiji diciptakan oleh Chang Shan Feng yang menetap di Gunung Wudang, Provinsi Hubei, Tiongkok. Dalam sejarah, dikenal ada dua Chang Shan Feng. Yang pertama hidup pada masa Dinasti Song (960-1279) dan yang kedua pada masa Dinasti Ming (1368-1644).
Supandi mempelajari taiji yang bersumber dari kedua tokoh itu melalui generasi penerusnya di Tiongkok. Ia juga belajar dari pakar taiji Asia Tenggara, yakni sifu Lo Thong Poh. Ia mendapatkan sertifikat pelatih taiji dari Chinese Wushu Association di Makau tahun 1989. Supandi tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang mendapat sertifikat tersebut.
Berbekal sertifikat, ia kembali ke Medan dan mulai melatih taiji di Taman Ahmad Yani, lantas melatih di sebuah gudang di Jalan Aceh. Salah seorang murid generasi pertamanya adalah Jainab.
Karena sebagian besar muridnya masih anak-anak, Supandi mengantar mereka pulang dengan mobil pribadi. Ia juga menyewa angkutan kota atau angkot untuk antar-jemput murid-muridnya yang tersebar di Medan dan Binjai. Sebanyak 10-20 anak yang dinilai memiliki bakat ia latih khusus di lantai lima kantor Harian Analisa, tempat Supandi bekerja sebagai pemimpin umum. Untuk naik ke lantai lima, para murid harus jalan jongkok sambil melompat seperti kodok. Satu kali lompatan, melewati 2-3 anak tangga. ”Supaya badan dan napas mereka kuat,” katanya.
Setelah murid-muridnya mahir, ia mengirim mereka ke kejurnas wushu. Namun, mereka kalah. Ia terus menggembleng atlet-atlet binaannya. Hasilnya, pada 1993, Jainab berhasil menempati urutan keenam dalam Kejuaraan Dunia Wushu di Malaysia. Nama Supandi pun mulai dipandang di tingkat nasional. Ia makin diperhitungkan ketika Jainab meraih perak dalam Taijiquan World Wushu Championship 1995, di Baltimore, AS.
Guru yang keras
Seiring waktu, Supandi merasa perlu untuk membuat tempat latihan yang baik. ”Saya sedih karena tempat latihan masih numpang.”
Maka, pada 1997 ia meminjam uang di bank dan membangun Padepokan Yayasan Kusuma Wushu Indonesia di Jalan Plaju, Medan. Padepokan itu diresmikan pada 2011 oleh Ketua KONI saat itu, Wismoyo Arismunandar, dan Gubernur Sumut Rizal Nurdin. Biaya pembangunan ia cicil dari uang pribadinya. ”Lama-lama juga lunas,” kata Supandi yang pernah menggelar kejuaraan dunia wushu di Jakarta dan Bali.
Padepokan itu ia kelola dengan sangat serius. Atlet binaannya disediakan mes dan dilatih setiap hari. Kebutuhan murid-muridnya ia tutup dari kocek pribadi. Belakangan, padepokan itu digunakan sebagai Pelatnas SEA Games 2001 hingga 2015 dan Asian Games 2002 hingga 2014.
Bagi murid-muridnya, Supandi adalah guru yang keras. Darwis Taniwan dan Heriyanto, murid generasi ketiga yang kini menjadi pengurus Yayasan Kusuma Wushu Indonesia, menceritakan, selain menjalani lompat kodok hingga lantai lima kantor HarianAnalisa, mereka tidak boleh meninggalkan latihan sebentar saja. Latihan keras harus dilakukan sebelum dan setelah sekolah. ”Menengok rumah hanya untuk datang ke acara keluarga saja tak boleh,” ujar Darwis.
Jainab, misalnya, setiap hari harus berlatih mengangkat kaki dan menepuk ujung kakinya hingga 200 kali. Nonton televisi pun harus sambil berlatih. Latihan terus-menerus dilakukan bukan semata-mata untuk menghafal gerakan, melainkan agar tubuh dapat bergerak dengan harmonis. Pasalnya, latihan bertahun-tahun bermuara pada penampilan yang hanya 1,5 menit di turnamen. Atlet harus tampil sempurna, misal berputar di udara 360 derajat, bahkan 720 derajat, dan mendarat dengan bagus.
Setelah dewasa, para murid baru mengerti mengapa Supandi mendidik dengan keras, semata-mata agar mereka berprestasi. ”Kalau kamu berlatih 100 kali, lawanmu berlatih 200 kali, kamu harus berlatih sampai 500 kali. Bertandinglah seperti dalam latihan, tetapi berlatihlah seperti dalam bertanding,” kata Supandi.
Setiap murid harus tetap rendah hati meski telah berprestasi tinggi. Penghormatan kepada senior dan orangtua terus dipupuk. Karena wushu sejatinya adalah olahraga yang menantang pikiran dan tubuh, para murid diharuskan melawan musuh terbesar, yakni diri sendiri.
Supandi bangga, wushu telah berkembang di Indonesia. ”Pada masa depan, perkembangan wushu saya titipkan kepada atlet dan mantan atlet berprestasi,” ujar Supandi yang mengidolakan Mr Yu Zai Qing, Presiden Federasi Wushu Dunia dan Wakil Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC).