Tsunami Gurun
Aku tidak terlalu ingat jelas. Tapi aku tenggelam dalam ombak-ombak pasir. Mataku pedih sekali. Pengap. Pusing.
”Dunia ini begitu menyenangkan.” Lelaki itu tiba-tiba duduk di kursi. Bila, perempuan yang sedang menutupi tangisnya dengan asap, ingin sekali memaki. Hujan masih begitu deras. Botol kaleng disimpan si lelaki di meja. Persis di samping bungkus rokok Bila yang menyisakan sepuluh batang lagi.
Kasir menatap mereka dari dalam. Bila membersihkan tangisnya, serta melihat pada serangga-serangga yang beterbangan mengelilingi lampu. Lelaki itu melirik ke kanan-kiri—pada cat putih, merah dan biru, pada makanan ringan yang berjajar, pada rintik-rintik air. ”Tidakkah kau merasa begitu?” tanya si lelaki.
”Hah?” Bila sebenarnya mendengar dengan jelas. Namun, dia ingin memastikan apakah ia gila atau tidak.
”Dunia ini sangat menyenangkan. Setuju, kan?” Dia sekarang cukup percaya bahwa orang ini cukup sinting.
Dunia ini sangat menyenangkan. Setuju, kan?
Bila tiup asapnya. Dia ingin sekali mengusir si lelaki. Namun, yang dilakukannya hanya tersenyum simpul sambil bertanya. ”Kenapa menyenangkan?”
Lelaki itu menjentikkan jarinya sambil berkata, ”Itu harus dijawab oleh sebuah cerita. Kau ada waktu, kan?” Ia tatap Bila dengan serius. Perempuan itu pura-pura melihat waktu di tangannya. Tak ada jam di sana.
”Sepertinya begitu. Silakan berdongeng,” jawab Bila pada akhirnya. Dia melihat ke arah lampu, yang sinarnya sekarang jadi redup-nyala seperti kunang-kunang. Suara hujan terdengar. Ketika itulah si lelaki berkisah:
Baca juga: Rumah Tepi Kali
Ayah tiriku, adalah seorang lelaki yang kuat, badannya tegap penuh tato. Ia sempat membawaku ke sebuah tempat. Ujung dunia. Coba tebak di mana? Bukan. Bukan pantai.
Bukan juga laut atau samudera. Tapi di selatan gurun Wrva. —Bila mengerutkan kening dan menahan tawa.— Waktu itu umurku lima tahun. Ayah kandungku mati karena perang saudara ketika aku berumur tiga tahun. Ibuku masih ada. Bahkan sampai sekarang.
Balik lagi ke gurun tadi. Di sana, tak ada lagi depan. Kau tak bisa maju. Ada tembok besar, besar sekali, sampai ke langit. —Si lelaki minum.— Di sana, ada pintu. Bertuliskan ’keluar’ dalam bahasa apa pun. Ayah tiriku bilang, ia membaca tulisan itu dengan lima bahasa yang ia kuasai. Aku hanya membaca itu sebagai ’keluar’. Aku simpulkan begini: jika kau bisa bahasa Ibrani, itu akan tertulis dengan begitu untukmu. Jika kau bisa Sansekerta, akan tertulis dengan bahasa itu.
Ayah tiriku membuka pintu. Hanya ada gelap. Tak ada apa-apa di sana. Hampa.
Namun, ia berteriak dengan keras, ”Ini yang kucari.” Aneh, bukan? Ternyata selama ini, ia hanya mencari-cari ketiadaan. Ketika ayah tiriku akan masuk ke sana, sebuah suara datang.
Lembut. Seperti belaian Ibu ketika aku kecil dulu. Kau paham, kan? —Bila hanya mengangguk, meski dia merasa ragu.— Suara itu berkata, ”Wahai hambaku. Kalian boleh pergi. Di luar sana ada dunia lain. Namun, di sini, saya bersama kalian.”
Baca juga: Mengapa Mereka Tak Kunjung Datang
Tentu saja, setelah itu, ayah tiriku bertanya. Ia memang orang yang sering bertanya.
”Kau ini siapa?” —Bila mulai tertarik. Dia bertanya, suara itu jawab apa?— Seingatku, suara itu tidak benar-benar menjawab, malah menjelaskan sesuatu. ”Dunia ini memang palsu.
Namun, di luar sana, kejujuran akan begitu menyakitkan. Saya telah mengatur kalian untuk berbahagia. Di sini, kalian aman. Jika mencari kebenaran, maka pergilah. Namun, kalian tak bisa kembali.”
Boleh kuminta rokokmu? —Ambil saja, jawab Bila.— Ayahku, jika aku tidak salah, diam sebentar. Tidak benar-benar sebentar. Cukup lama. Tapi tidak benar-benar lama. Seolah berpikir. Setelah itu, ayah tiriku berkata seraya masuk ke pintu, ”Ayo kita pergi, Nak.” Aku menolak. Aku tidak ingin meninggalkan banyak hal. Ibuku. Rumah jelek kami. Mainan-mainan bekas yang kusembunyikan di bawah bantal.
Ayah tiriku memaksa. Benar-benar memaksa. Aku terus menolak. —Bila sedikit bergumam, dasar bocah dungu! Namun, tak terdengar oleh si lelaki— Ia akhirnya pergi sendiri. Melangkah maju ke pintu. Kemudian menutupnya. Aku sendirian. Menunggu. Bukan menunggu ayah tiriku. Aku percaya ia takkan pulang. Aku menunggu suara itu bicara kembali. Namun, ia tak bicara. Ia diam.
Setelah itu, ada tsunami gurun. Aku tidak terlalu ingat jelas. Tapi aku tenggelam dalam ombak-ombak pasir. Mataku pedih sekali. Pengap. Pusing. Kemudian aku bangun di suatu tempat yang asing tapi terasa begitu akrab. Ibu memelukku di sana. Aku menangis. Aku pulang setelah itu. Kembali pada rumah jelekku. Pada mainan di bawah bantal. Ibuku selalu bilang jika ayah tiriku mati ditembak orang jahat. Aku menjelaskan, bukan itu yang membuat ayah tiriku tidak pulang. Dia tak pernah percaya ceritaku.
Baca juga: Uni Rubiyah dan Bang Kundat
”Kamu tidak pergi ke gurun itu lagi?” tanya Bila sambil meminum botol kaleng milik si lelaki.
”Aku lupa jalan ke sana.” Si lelaki tertawa. ”Tak ada di maps,” lanjut lelaki itu ketika melihat Bila akan bicara. ”Aku kadang berpikir apakah peristiwa itu hanya ilusi, tapi semakin lama, aku malah semakin percaya bahwa itu adalah satu-satunya kenyataan yang pernah kujalani di dunia ini.”
”Lalu di mana menyenangkannya? Kurasa amanat dongengmu adalah: kita terpenjara di tempat palsu ini, ayah tirimu pergi ke dunia lain yang nyata, kita diatur di sini.”
”Ya, memang. Bukankah itu menyenangkan?” Kemudian si lelaki menghisap rokoknya.
Bila mengembuskan asap pada si lelaki sambil bertanya, ”Serius? Itu menyenangkan bagimu?”
”Dulu aku berpikir seperti kau. Kenyataan itu mengerikan sekali. Benar-benar mengerikan, tapi semakin lama, aku semakin paham. Suara itu benar. Ini adalah tempat yang menyenangkan. Seseorang mengatur kita semua. Namun, ia berjanji untuk membuat kebahagiaan. Bukankah itu bagus? Setidaknya kita tahu kita akan aman.”
Sekarang, bisakah kamu pergi, tuan-siapalah-namamu? Terima kasih atas dongengnya.
”Baiklah.” Bila bicara sambil menggelengkan kepala. Dia tersenyum jengkel. Bila menyesal kenapa tak mengusir lelaki itu sejak awal. Sekarang, dia sudah benar-benar menyimpulkan bahwa orang ini gila. ”Sekarang, bisakah kamu pergi, tuan-siapalah-namamu? Terima kasih atas dongengnya. Namun, aku sedang tidak ingin diganggu.”
”Oke.” Lelaki itu bangkit, mengambil botol minuman kalengnya, meminumnya sampai habis. ”Terima kasih juga rokoknya.” Ia lemparkan botol kaleng itu ke tempat sampah, kemudian berlari menerjang hujan yang masih deras.
Bila matikan rokoknya pada asbak. Lampu sekarang sudah kembali menyala seperti biasa. Tanpa sengaja, Bila melihat ke arah bungkus rokok di meja. Ada sebelas batang. Dia hitung kembali. Tetap sebelas batang. Kemudian, dia bangkit. Mendekati tempat sampah dan membukanya. Tak ada apa-apa di sana. Tak ada botol kaleng yang Bila cari.
Dia duduk kembali lalu menatap serangga-serangga mulai mengelilingi lampu. Kasir toko menatapnya dari dalam. Bila tiba-tiba merasa sedih. Dia ambil sebatang rokok. Menyalakannya. Berharap bisa menyembunyikan tangis dengan asap. Bila berpikir bahwa kejadian tadi hanyalah ilusi. Namun seperti si lelaki, dia percaya, itu adalah satu-satunya kenyataan yang pernah kujalani di dunia ini.
Jein Oktaviany, lahir di Ciwidey, Jumat tanggal 13. Aktif di Kawah Sastra Ciwidey.