Tubuhku gemetar menahan segala kenangan bersama dirinya yang tak akan pernah bisa kami perbincangkan.
Oleh
JAGAD WIJAKSONO
·5 menit baca
Di bawah tiang gantung aku seperti menyaksikan orang-orang di hadapanku berdoa bersama, dari tangan-tangan mereka yang terangkat sedada dan terbuka membentuk mangkuk aku seakan melihat cahaya yang memancar. Aku menyipitkan mata karena langit telah menjadi sekeping logam yang memantulkan segala terang dan terlalu menyilaukan. Matahari yang telah naik lebih dari sepenggalan bersinar terik. Di samping doa-doa yang kudengar, dari sisi kiri aku mendengar riuh maki-makian. Hidup memang penuh dengan kejutan. Aku tak pernah mengira akan ada yang mendukungku menghabisi Diwang, bukan hanya mendukung, sebagian dari mereka mendoakanku kini. Ya, sebagian besar dari mereka yang berdoa adalah budak-budak yang telah lama tersiksa oleh perangai majikanku Diwang. Mereka digiring ke tengah lapang untuk menyaksikan kematianku, si budak yang tak tahu diuntung.
Malam itu setelah memasak babi guling di gubuk, setelah seharian mengumpulkan kapas, aku membulatkan tekadku untuk menikam Diwang. Aku akan membalaskan dendam ibuku. Bangsawan itu tidak pernah menganggap kami budak-budaknya sebagai manusia, jangankan manusia, dianggap sebagai makhluk hidup pun tidak. Ayah ibuku telah puluhan tahun bekerja sebagai budak belian di kebun milik Diwang, ayah dan ibuku didatangkan dari pulau timur jauh sebagai budak bersama seorang anak. Waktu itu aku masih balita dan dibesarkan di perkebunan jahanam ini, walaupun tak pernah kekurangan kasih sayang tetap saja perkebunan ini dan Diwang adalah kenangan kelam.
Masih jelas dalam ingatanku bagaimana Diwang menyiksa ayahku untuk sebiji kelapa muda yang diambilnya untuk mengusir rasa haus. Siang itu seperti biasa ibu akan mengumpulkan gumpalan kapas, keranjang kapas di belakang dan aku digendongnya menggunakan jarit di depan. Siang itu cuaca begitu panas, teriknya menyengat. Setelah beberapa waktu mengumpulkan gulungan kapas, ayah dan ibuku memutuskan menepi sesaat mengistirahatkan tubuhnya dan menjagaku yang masih kecil agar tak terlalu lama terjemur matahari yang panasnya jahanam siang itu. Di tengah-tengah mengaso entah apa yang merasuki pikiran ayahku, ia beranjak memanjat pohon kelapa yang tak sebegitu tinggi, ia memetik satu buah kelapa muda dan membelahnya. Tegukan pertama ia hadiahkan untukku, tegukan kedua untuk ibuku, baru setelahnya ia menenggak sedikit sebelum aku menghabiskan sisanya. Sial siang itu entah atas angin apa, Diwang berjalan-jalan mengawasi kebunnya hari itu, dan menemukan kami sedang mengaso sambil menenggak kelapa. Melihat kami yang sedang beristirahat sambil meminum air kelapa dari pohon yang tumbuh di kebunnya, Diwang menghampiri kami dan menyeret ayahku dengan kudanya. Diwang menghadiahi ayahku dengan hukum cambuk 100 kali karena dianggap telah mencuri. Ayahku harus menambah hukumannya karena aku tak mungkin menerima hukuman cambuk. Pada cambukan ke-99 ayahku meregang nyawa. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana ayahku memuntahkan darah dari mulutnya, aku masih mengingat dengan jelas bagaimana ibu hancur sehancur-hancurnya hari itu.
Bangsawan itu tidak pernah menganggap kami budak-budaknya sebagai manusia, jangankan manusia, dianggap sebagai makhluk hidup pun tidak.
Setelah kematian ayah, ibu masih menjadi budak Diwang, cahaya di matanya meredup perlahan namun pasti. Ibu semakin jarang makan, dia hanya akan menyantap sedikit makanan untuk mengganjal perutnya yang lebih sering kosong. Tubuhnya susut dengan pasti, semakin hari ia semakin redup dan tak mampu mengurusku.
Selepas ibuku yang menjadi semakin lemah dan membuat hidupku bagai seorang yatim piatu, aku diasuh oleh kawan-kawan orangtuaku sesama budak di perkebunan itu. Hingga akhirnya aku pun melanjutkan nasib buruk ayah dan ibu, menjadi budak Diwang—majikan jahanam. Aku adalah pendendam ulung, aku memupuk dendam hari demi hari, membulatkan tekad untuk menikam Diwang membalaskan kematian ayah dan ibuku.
Malam itu setelah memasak babi guling di gubuk bersama budak lainnya, dan setelah membulatkan tekad, aku menyelinap ke bangunan utama tempat tinggal Diwang. Bangunan itu tak dilengkapi dengan penjagaan yang ketat, penjagaan di sana tak seberapa. Diwang lebih khawatir pada lahan perkebunannya. Aku berhasil mengendap dan mengelabui penjagaan yang tak seberapa itu dan sampai di depan pintu kamar Diwang. Aku mencongkol pintu kamarnya dengan sangat hati-hati dan menemukan Diwang yang terkulai seperti babi di atas ranjang dengan beberapa wanita tak berbusana di sekelilingnya. Tanpa pikir panjang aku melompot ke atas tubuhnya dan dengan serampangan menusukkan belati ke dada dan perutnya. Darah memuncrat memenuhi wajahku. Sontak gerakanku membuat seisi ruangan terbangun. Mata Diwang membelalak, ia hendak melawan, tapi gerak tanganku lebih sigap sehingga ia tak memiliki kesempatan bahkan untuk mengucapkan makian. Perempuan-perempuan di kamar itu lari kocar-kacir tanpa busana. Bau amis darah menguar memenuhi ruangan. Aku menatap tubuh Diwang yang berlumuran darah dengan rasa puas, dendamku terbalas.
Setelahnya ada beberapa penjaga yang sebelumnya kukelabui, mereka menangkapku tanpa perlawanan. Keesokan paginya aku diseret ke tiang gantung.
***
Di kanan dan kiriku berjejer beberapa orang yang sama-sama menunggu ajal di bawah tiang gantung. Aku telah cukup siap menerima kematian, walau bukan dengan cara yang aku bayangkan. Selama dendam telah tuntas, kehilangan nyawa yang semata wayang tak jadi soal lagi bagiku.
Sayup aku mendengar beberapa orang menangis, nama kami dipanggil oleh sanak keluarga yang berkumpul sambil menengadahkan tangan berdoa. Aku melihat istri-istri kawan sekematianku menangis, berusaha maju lebih ke depan sambil mengulurkan tangannya, berusaha menggapai suaminya yang berdiri mematung menunduk menunggu ajal.
Aku memperhatikan adegan menyedihkan itu sampai pada satu titik, di sudut jauh, di ujung kerumunan orang-orang yang sesak, dari bawah bayangan tiang gantung aku melihat seorang perempuan tua yang menyeka sudut matanya yang basah dengan ujung kerudungnya.
Kecemasaan perempuan tua itu terpancar jelas dari raut wajahnya yang lusuh dan kuyu. Kecemasan itu menulariku, perlahan mataku ikut basah dan hatiku ikut cemas. Sembari menunduk, aku meraba gelang pemberiannya.
Tubuhku gemetar, aku tak sesiap sebelumnya menghadapi kematianku. Tubuhku gemetar menahan segala kenangan bersama dirinya yang tak akan pernah bisa kami perbincangkan.
Jagad Wijaksono, Aktif di Komunitas Ngamparboekoe Cimahi. Menulis cerpen dan puisi, beberapa puisi terbit di media lokal dan termuat dalam antologi berjudul 3 Dermaga dan Bintang di Pulau Garam (Sastra Bunga Tunjung Biru, 2017)