Puisi-puisi Pranita Dewi
Pranita Dewi lahir di Denpasar, 1987. Menulis puisi, prosa liris, dan cerita pendek.
Paisano
Di antara samun semak dan halaman tak terurus
Tumbuh segar pohon pinus
Besar dan menghunus
Seperti menembus bumi,
Katamu, seperti meretas atas kaki.
Di sini gelap menjungkit harap
Sebab kami telah lupa,
Terlalu lama, tata cara beragama
Nenek moyang kami para berhala
dari zaman lama, kulit kami pipa sawo matang
Terbakar matahari, berkilau dan menantang
Engkau masih saja mengira
Pada mulanya kami adalah cahaya,
Sebuah sinyal pertanda
Menari-nari dengan liar di udara
Kami jadi tidak berdaya
Engkau masih terus percaya
Bahwa kami dewa setempat
Simbol primitip dari
Angin, langit dan matahari
Kami hidup di hutan-hutan
Bertengger di sebuah bukit
Penuh teluk dan air biru
Kami kecut untuk percaya
Bahwa kami masih ada
/2022-2023
Baca juga: PUisi-puisi Dopra
Nyanyian 3 Musim dan 1 Kejatuhan
I
Adakah yang lebih sunyi
Dari nyanyian bunuh diri
Seorang biksu?
Ia melepaskan pakaiannya
Merapikannya, dan menaruhnya di altar
Patung-patung yang disembahnya
Sebelum ular menguasai kuilnya
Rumah tinggalnya
Mengapa dunia memberikan
Lebih banyak kemalangan
Di luar dirinya?
Di situ, ada sebuah perahu kayu
Yang bersiap tenggelam
Ia melubangi sepertiga bagiannya
Dengan pisau, yang ia pakai
Untuk mencungkil mata seorang perempuan
-yang dicintainya
Ia kehilangan dirinya
Ia menumpuk kayu bakar di atas perahu
Menuliskan huruf pada kertas-kertas
Pengakuan dosa
Dan menutup kedua mata
Dan mulutnya, dan hidungnya
Dan bersiap mati
-bunuh diri atau dinamakan apa saja
Di atas perahu
Yang telah ia bakar
Dan telah membakar dirinya.
II
Beginilah kita yang dibakar cinta ini
Betapa hangatnya, sebelum semua perasaan
Menjadi gigil dan ganjil
Sepasang ikan yang kita tangkap
Di danau lepas ini
Bahagia di kolam sepatumu, bukan?
Begitu indah
Dunia di dalam kita
Begitu bahagia
Seperti flaire, dan romantisme,
Tuhan bekerja
Sepenuhnya menghidupkan degup
Demi degup, debar demi
Debar, nanar di bayang alis kita
III
Danau yang biasa menggiring kuil
Terapung tiba-tiba beku
Di musim ini, pepohonan beku,
Ranting-ranting beku,
Semuanya serba putih dan tegak
Dan tegak
Aku mencungkil, membuat lubang
Supaya bisa aku dapatkan air
Untuk membasuh mukaku
Seorang perempuan
Menutup wajahnya
Aku tidak tahu ia siapa
Seorang bocah yang digendongnya
Terus menangis, terus menangis
Di depan kuil ini, perempuan bersimpuh
Merapalkan doa, meminta maaf sepenuhnya
Untuk seorang anak yang bakal ditinggalkannya
Di tengah-tengah kuil
Malam semakin gigil,
Perempuan itu, berlari, seolah
Lari dari dosa yang dibuatnya
Tetapi laju es yang ada di hadapannya
Membuatnya tergelincir
Tergelincir
Tenggelam ke dalam lubang
Yang aku buat ini
Yang tinggal hanya satu sepatu
Tempat ikan-ikan dulu berenang
Bahagia
IV
Dua bocah dalam kehidupan berbeda
Bisa jadi dari keturunan siapa saja
Bisa jadi milik siapa saja
Di luar dunia
Ia melihat semuanya adalah teman
Adalah baik, adalah jahil
Ia menangkap ikan dan membelitnya dengan
Tali, mengaitkannya ke batu
Ikan itu mati
Begitu juga dengan katak,
Dan ular
Mungkin begitulah dunia
Tak ada yang tahu
Seekor katak menelan batu
Seekor ikan menelan batu
Seekor ular menelan batu
Mati dan tidak menemukan
Penjuru.
/2023
Baca juga: Puisi-puisi Adi Zamzam
Sarasvati
Brahma, dari kedalaman laut ini, aku bangkit.
Sempurna. Sebuah genitri merayap ke arahku,
sebuah damaru dan kecapi mengapung.
Lontar terbuka ingin kutanggung.
Bumi memang akan ada.
Tetapi di aur air ini, aku cuma maya.
Sebab engkau telah
dibujuk oleh Shatarupa untuk
berpaling dariku.
Dan bumi, bumi yang senyatanya,
mengubah diriku menjadi pasat.
Aku bukan lagi lubuk yang tepat,
sebab masih tercatat segala yang
kesiap dan terpenggal;
angsa pucat membasahi bulunya,
memilah susu dan lumpur,
menjalani kutukannya sebagai
kendaraku.
Brahma, jika di semak berduri
tidak ada air lagi dan dari
tubuhku, setangkai teratai
mencelupkan jemari lilinnya,
mengatupkan kelopaknya yang berat,
bacalah weda penghabisan dari
gemilang gemintang!
/2022-2023
Baca juga: Puisi-puisi Mashdar Zainal
Ironi
Ia terus menerus memekik, menangis,
memeluk, mengancam, mencengkeram
bayang-bayang yang mendabik dadanya
Bayang-bayang bagai buih laut betina
Ia muramkan senja di pelupuknya dan,
untuk kesekian kalinya, ia paham:
kelembutan dan ketegasan hari-hari
membinari matanya
/2022-2023