Puisi-puisi Vito Prasetyo
Vito Prasetyo lahir di Makassar, Februari 1964, tinggal Malang. Ia bergiat di penulisan sastra sejak 1983. Karyanya berupa opini dan sastra dimuat puluhan media cetak lokal, nasional, dan Malaysia.
Perempuan di Bangku El-Puerto
muasal kata terlunta-lunta
renta, ringkih ditelan masa
di pangkal sunyi, menggigil kuyup
adakah lentera menghangatkannya!?
hari-hari beranjak letih
tarian revolusi, tidak pernah tuntas
kumuh serupa lukisan kata tanpa bingkai
jalan lalu lalang–tatapan kita kian penat
di hari esok, bangku-bangku el-puerto
melukis kisah baru
kapal-kapal tertidur abadi
berkarat menjadi besi tua
menjelma diri, tempat kolong persembunyian
seorang perempuan duduk menahan musibah
menjahit luka anaknya
membakar tradisi di punggung ritual
komat-kamit membaca mantra usang
nafasnya naik turun
seakan menggelindingkan dosa
tertatih memanggul salib di pendakian tirakat
detak dan denyut, mengeja makna doa
kata-katanya kian letih
memompa rongga kalimat
secepat angin,
menuju maujud di penghentian ajal
dadanya terkoyak
dermaga telah lenyap
el-puerto menjadi satir keramat
tembok-tembok musim, jadi tempat ritual pemujaan
mengalir di riak sungai kering
tinggalkan muara–lautan
menatap ikan-ikan menari
dalam nukilan Sungai Guadelete
Malang, 2023
Baca juga: Puisi-puisi Alexander Robert Nainggolan
Menggugat Kematian
: Albert Camus
lidah ini, talang cemas
lahir dari serabut kata
yang menjahit kitab kebenaran
dalam perapian cinta
di musim kemarau, dahaga berdesakan
seolah filsuf sesatkan kerongkongan
hingga kata-kata terluka
serak, tergerus ringkih zaman
dan bersorak ria di ruang digital
hangatkan sajak-sajak
sebelum angin semburkan
doa-doa di tangan para pemurka
di sudut café, setumpuk aksara berbaris rapi
mencari kekasih
di pelaminan surga
bercengkerama bagai serdadu
merayakan kemenangan
hingga langit menari-nari
tumpah ruah dalam tarian retoris
menyumpahi lidahku
yang masih saja mengeja: apodisofilia
biarkan hujan membasahi tubuh Albert Camus
kuyup menggigil, di pertemuan murka
: Mitos Sisyphus
mungkin kita kehilangan salju
terkadang menjadi orang asing
bagi diri sendiri
menanak rindu
di semusim sunyi dan memenggal ingatan
kita lupa, di langit ada nubuat nabi
tersimpan rapi
pada labirin tersucikan: jalan kebenaran!
aku menanti di palung dingin
pada sajak-sajak kematian
biarkan orang asing membacanya
: jalan absurdisme, tanpa mata!
Malang, 2022
Baca juga: Puisi-puisi Ratna Ayu Budhiarti
Epitaf Surga dan Neraka (1)
langit kian penat
seakan melekat erat di tatapan kita
mungkin menjadi luka
dari sisa kemarau, yang masih bertirakat
bersembunyi di lorong-lorong ketakutan
dan dari kata-kata yang belum kita ucapkan
waktu melepuh, lesapkan kisah baru
matahari terlalu letih
mengitari tubuh anak-anak bertelanjang dada
kulitnya bagai nyanyian hitam legam
sempurnakan warna garis-garis cahaya
bukankah saat kematian dibacakan
kita hanyalah gumpalan debu digegas angin
tak pernah risau
apa bedanya warna kulit
selain memancang doa-doa
kadang dibacakan dalam kesunyian paling sepi
esok, mungkin menjadi epitaf surga dan neraka
Malang, 2022
Baca juga: Puisi-puisi Warih Wisatsana
Tirakat Amsal
merambah rimba, mengakar diri
pada jerami yang terlupakan
kita memaku tanah-tanah diam
biarkan luka tumbuh menjadi tembok-tembok waktu
dan lisan kita merapal mantra langit
bebaskan ingatan seakan sebuah revolusi
sudut-sudut kota kian sengkarut
angin mendera, tumbuhkan jelaga
lorong-lorong persembunyian terlalu pengap
mengoyak aksara, hitamkan langit
- masih adakah keadilan untuk bermimpi
hilir mudik cahaya, semburat tanpa arah
aksara semakin letih dirajam sajak-sajak
haruskah segala penat dibaringkan
pada tanah-tanah yang menyembah keabadian
kereta berpacu, seakan mengejar zaman
di layar digital, wajah penuh gincu
sajakku tak sempat merias diri
memaknai peradaban dalam putihnya sinar
suaraku kian serak seperti hembusan angin
di cermin-cermin kertas, kutulis cinta
ketika hidup tak ada bedanya dengan kesunyian paling sepi
secepat angin, tradisi berganti
tumpahkan aksara baru di dunia absurd
meski samar, ingin kusimpan rapi
kelak di museum ingatan
menyempurnakan arca dari tradisi klasik
mungkin, itulah cinta abadi
sajak-sajak kita mulai berlari
tumpang tindih dalam keresahannya
mengalir di pertemuan murka
bagai badai yang menjelma amsal
berbaris, berjejal sesak mengatasnamakankebenaran
meski itu tak ada bedanya dengan katastrofe
matahari pun memayungi diri
bersorak dalam kekalahan kita
haruskah puisiku menatap langit
memaku salib dan bertirakat dalam kata-kata
hingga aksara kematian menjemput
di perbatasan surga dan neraka
2022
Baca juga: Puisi-puisi Inggit Putria Marga
Premis Desember
desember dingin
merayap di kaki salju
tubuh-tubuh berselimut cemas
sunyi mendekam di pangkal ingatan
genta tak meraung
sembunyi di lorong-lorong kastil
mungkin esok,
menghimpun keberanian di serumpun ilalang
menebas hujan dari murkanya langit
desember redup
menutup kisah dari samarnya musim
lalu lalang perjalanan
tangan kita menulisnya, penuh keraguan
rasa garam menindih lidah
lambungmu adalah derau hujan
pertempuran tanpa sebab
kalang kabut petir dan halilintar
mengitari usus-usus manusia
memecah riak musim
hutan-hutan tertelungkup menahan luka
bersimbah kenangan pahit
di atas meja, di bulan desember
kita rayakan ihwal perjalanan
menjadikan tradisi pada museum kata
sebab kita hanyalah premis kata
menghitung panjangnya waktu
awal dan akhir
tertimbun dalam puisi-puisi–apodisofilia?
2022