Firasat Kematian
Pak Han dipaksa masuk ke dalam mobil. Ia berusaha melawan, namun tubuhnya merasa lemas seperti selembar tisu basah.
Rombongan pelayat menjalar sepanjang jalan. Terdengar bisik-bisik dari para pelayat menaruh rasa iba pada nasib Pak Han kelak. Namun, rasa iba hanyalah sebatas kata-kata, tak ada satu pun dari mereka yang ingin menemani Pak Han di masa tuanya yang kesepian.
Di antara begitu banyaknya pelayat yang mengucapkan bela sungkawa, ada satu dua kerabat dekat Pak Han—yang entah disengaja atau tidak—menanyakan adakah sebelumnya Pak Han memiliki firasat sebelum kepergian anak bungsunya yang memilukan. Pertanyaan basa-basi itu memaksa Pak Han untuk mengingat-ingat kembali kejadian yang dialami beberapa hari terakhir.
”Entahlah, hanya saja semalam sebelum anakku pergi, aku bermimpi melihatnya berada di tengah-tengah keributan. Mungkin ada lima orang yang mengepung anakku dalam mimpi,” jawab Pak Han sambil terus mengingat-ingat. Para pelayat yang kebetulan mendengar penuturan Pak Han hanya mengangguk-anggukkan kepala dengan memasang wajah penuh iba. Pak Han tidak mengerti, apakah pelayat itu bertanya karena benar-benar ingin tahu atau hanya bertanya untuk membunuh rasa jenuh. Sepertinya pertanyaan seperti itu ialah pertanyaan yang lumrah ada dalam suatu upacara pemakaman.
”Oh, betul, itu firasat,” timpal kerabatnya yang duduk bersebelahan dengannya. Pak Han sama sekali tidak merasa terhibur dengan perbincangan mengenai firasat kematian. Ia justru semakin merasa sedih karena jika memang mimpinya adalah sebuah firasat, seharusnya ia sudah mengatakan kepada anak bungsunya untuk berhati-hati atau bahkan melarang anaknya untuk keluar rumah sementara waktu agar mimpi itu tidak menimpa anaknya. Dengan kata lain, seharusnya ia bisa menunda kematian anaknya.
Sepertinya pertanyaan seperti itu ialah pertanyaan yang lumrah ada dalam suatu upacara pemakaman.
Setelah anak bungsu Pak Han dimakamkan, para pelayat berarak meninggalkan rumah lelaki tua itu. Pak Han sendiri hanya terlihat berjalan ke sana kemari untuk menyalami para pelayat yang meninggalkannya.
Kesedihan Pak Han dirasakan datang begitu tiba-tiba. Malam itu, Pak Han mengikuti acara doa bersama untuk arwah anaknya yang dihadiri oleh kerabat dan tetangga dekat.
Ketika semua orang sedang khusyuk berdoa, ingatan Pak Han tentang firasat kematian itu justru masih bermain-main di dalam kepalanya.
Doa bersama selesai dilakukan, tinggallah Pak Han seorang diri tanpa satu orang pun yang menemani. Pak Han sesekali menoleh ke sudut ruangan rumah yang mengingatkannya pada kenangan. Ruang keluarga yang dahulu terasa hangat kini membeku tanpa kehadiran anaknya.
Dahulu, rumah Pak Han begitu menyenangkan. Dapur terang benderang dengan bunyi spatula beradu dengan wajan, kamar anak sulungnya selalu dipenuhi suara musik anak remaja, sementara kamar anak bungsunya terdengar suara lantunan kitab suci. Berbagai peristiwa di rumah terasa semarak dalam benak. Semua kenangan itu rupanya mampu menghambat Pak Han untuk melakukan kegiatan apa pun.
Pak Han mengutuk takdir hidupnya yang selalu diikuti oleh rasa kehilangan. Seandainya istrinya tidak mengalami sakit yang berujung kematian, tentu ia masih memiliki kawan bicara. Kini ia merasa tidak berguna seperti sepeda tua yang kehilangan roda.
Kehidupan anak sulungnya berubah drastis setelah kematian istrinya. Putrinya yang selalu mengumbar keceriaan itu menjadi gadis pemurung yang tertutup. Bahkan Pak Han tidak tahu bahwa putrinya sedang menahan kegetiran hidup yang dialaminya di sekolah.
Baca juga: Suatu Hari, Kamu Akan Mengerti
Waktu itu, putrinya masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Karena kenakalan remaja atau keisengan remaja, anak sulung Pak Han dilecehkan oleh kakak kelasnya. Kejadian itu cukup mengejutkan Pak Han karena anak sulungnya tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya.
Pihak sekolah memohon kemurahan hati Pak Han untuk bersedia memaafkan peristiwa mengejutkan itu. Tanpa diminta, orangtua siswa yang melakukan pelecehan kepada anak sulung Pak Han pun memberikan segepok uang damai. Tentu saja saat itu Pak Han melengos karena baginya jika ia menerima uang damai sama saja dengan menjual tubuh anak gadisnya. Saat itu Pak Han bahkan berteriak murka hingga pertemuan damai itu berakhir begitu saja.
Rupanya setelah kejadian itu, anak sulung Pak Han merasa bahwa dirinya sudah telanjur menjadi pendosa. Ia tak mau memaafkan takdir buruk yang memeluknya. Lulus dari sekolah menengah atas, anak sulung Pak Han memutuskan bekerja sebagai pemandu karaoke.
Setiap malam, wajah anak sulung Pak Han tampak bersepuh bedak dengan bibir merah menyala. Rambut panjangnya yang dahulu hitam arang berubah ungu kemerahan. Jika berjalan, tubuh gadis itu menguarkan wewangian yang memabukkan. Pak Han merasa bahwa anak sulungnya sudah jauh berubah, namun ia tak bisa menahannya. Bagi Pak Han, melihat anak sulungnya masih waras jauh lebih baik daripada menasihatinya yang mungkin hanya akan membuat gadis itu menjadi gila.
Setiap malam, wajah anak sulung Pak Han tampak bersepuh bedak dengan bibir merah menyala. Rambut panjangnya yang dahulu hitam arang berubah ungu kemerahan.
Tiga tahun setelah anak sulung Pak Han menjadi pemandu karaoke, seorang polisi menghubungi dan mengatakan kepadanya bahwa anaknya tersebut telah menjadi korban pembunuhan. Para tetangga menaruh belas kasihan kepada gadis itu terlebih setelah mengetahui bahwa pembunuhnya adalah teman kencannya. Saat itu, Pak Han tak bisa melakukan apa-apa. Setidaknya ia tidak bisa mengembalikan hidup anak sulungnya meskipun pembunuh itu telah ditangkap dan kemudian dipenjara.
Pak Han termangu berhari-hari setelah kematian anak sulungnya. Para tetangga mengatakan bahwa Pak Han frustrasi karena tidak bisa menjaga anak gadisnya. Seandainya saat itu tidak ada anak bungsunya, mungkin Pak Han akan mengalami frustrasi berkepanjangan sampai akhir hidup. Untungnya, setiap malam, anak bungsu Pak Han yang taat beragama itu selalu mengajak Pak Han untuk beribadah bersama. Dengan begitu, kehidupan Pak Han kembali berangsur normal.
Namun, rupanya itu tidak berlangsung lama. Hidup Pak Han kembali terguncang karena kematian anak bungsunya. Kematian itu terjadi tiba-tiba, hanya karena ada dua pemuda klithih berboncengan sepeda motor yang iseng membacokkan parang kepada anak bungsunya ketika sedang berjalan kaki pulang dari langgar. Anak bungsu Pak Han memang biasa pulang dari langgar dini hari karena ia adalah seorang penjaga dan pengurus langgar. Ia membersihkan langgar di malam hari yang kemudian dilanjutkan dengan ibadah di sepertiga malam terakhir. Ia ingin langgar sudah bersih dan wangi ketika jemaah berdatangan untuk menunaikan ibadah subuh.
***
Pak Han tersadar dari lamunan. Rupanya malam setelah doa bersama untuk arwah anak bungsunya itu selesai, ia tidak bisa tidur. Kepalanya selalu dipenuhi oleh mendiang istri, anak sulung, dan anak bungsunya. Menurut kata hati Pak Han, mereka mati dengan tidak wajar. Bukan kematian yang disebabkan oleh uzurnya usia, melainkan karena suatu penyebab yang memilukan.
Pak Han menyesali dirinya yang tidak bisa menunda kematian seluruh anggota keluarga. Seandainya ia bisa menajamkan kepekaan jiwa, mungkin saja ia bisa menggunakan firasatnya untuk menunda kematian itu. Pada detik itu, terkejutlah ia mendapati jarum jam dinding sudah menunjukkan angka satu dini hari. Kepalanya terasa sakit seperti dihantam bongkahan batu kali. Kemudian ia beranjak untuk berusaha tidur dengan harapan setelah terbangun jiwanya akan merasa jauh lebih baik.
Tiga malam itu, Pak Han merasa telah diburu oleh firasatnya sendiri. Malam kesatu setelah kematian anak bungsunya, ia bermimpi bahwa tangannya mengucurkan darah.
Lukanya tak begitu lebar, namun darah yang keluar dari tangannya terlihat tampak sungguhan. Ia merasa kepayahan melihat darah yang terus mengucur dari tangannya hingga ia terbangun dari tidurnya.
Barangkali suatu kebetulan, esok paginya tangan Pak Han benar-benar mengucurkan darah segar ketika ia sedang mencuci sebilah pisau dapur yang baru saja ia gunakan untuk mengupas mangga. Mungkin saja peristiwa itu terjadi karena kelalaian Pak Han karena mencuci pisau sambil melamun. Namun, Pak Han percaya bahwa ia telah mendapat firasat lewat mimpi mengenai kejadian yang akan menimpanya, hanya saja ia kurang waspada.
Malam kedua, Pak Han bermimpi tentang kepala kerbau. Tubuh kerbau itu tidak ada, hanya kepala saja. Pelan-pelan kepala kerbau itu mendekati Pak Han. Dari jarak dekat, Pak Han bisa melihat kepala kerbau itu memiliki tanduk yang sangat panjang. Tiba-tiba kepala kerbau itu menyerangnya dengan tanduknya yang panjang. Pak Han berlari kencang agar tidak terkena tanduk kerbau yang tampak runcing itu sampai ia merasa telah kehabisan napas hingga ia terbangun dari tidur.
Baca juga: Cerita dari Warteg
Esok paginya, Pak Han menganggap itu hanya sekadar mimpi. Tetapi setelah ia bertemu dengan seorang lelaki di sebuah warung makan, ia merasa itu bukan mimpi melainkan firasat. Ia merasa kadang-kadang firasat bisa hadir secara implisit melalui simbol.
Mungkin saja kepala kerbau bertanduk dalam mimpinya menyimbolkan seorang laki-laki yang berniat akan menyerangnya. Dugaan itu semakin meyakinkannya ketika ia melihat gerak-gerik si lelaki asing yang sangat mencurigakan. Jadilah Pak Han berlari kencang meninggalkan lelaki asing yang ia duga sedang menyembunyikan sebilah belati yang mungkin saja akan digunakan untuk menghabisi nyawanya.
Mimpi di malam ketiga ialah ratusan batu yang turun dari langit dan menghujani Pak Han. Dari bawah tampak bahwa batu-batu itu sengaja dituangkan ke tubuh Pak Han. Seketika Pak Han melindungi kepalanya dari serbuan batu yang bisa melukainya. Namun, tiba-tiba batu-batu yang telah jatuh menyentuh kakinya itu kemudian berubah menjadi akar yang menjalar dan membelit kaki hingga membuatnya jatuh dan terbangun dari tidur.
Esok paginya, Pak Han sadar betul bahwa ia telah mendapat firasat. Ia tidak ingin nasib buruk menimpanya seperti dalam mimpi. Saat ia keluar rumah, matanya dengan waspada menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa tidak akan ada mara bahaya yang akan menemuinya. Sambil mencoba menafsirkan apa arti dari hujan batu yang menimpanya dalam mimpi, ia terus saja berjalan sambil menoleh kanan dan kiri bahkan belakang. Hingga kemudian ia jatuh tersungkur setelah kakinya tidak sengaja tersandung sebuah bongkahan batu di tepi jalan.
Akhirnya, malam itu ia memutuskan untuk tidak tidur. Ia tidak mau diburu firasatnya sendiri. Berjam-jam ia menonton acara televisi yang menayangkan berita yang diulang-ulang dan sinetron yang memuakkan. Ketika secara tidak sengaja ia terlelap dalam tidurnya, mungkin dalam hitungan detik, ia buru-buru tersadar dan membasuh wajahnya agar tidak mengantuk. Setelah itu, ia berjalan mondar-mandir di teras rumah, memandang bulan dan pepohonan. Kemudian ia berjalan ke belakang rumah dan menyibukkan diri dengan mengumpulkan satu per satu dedaunan kering yang kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik.
Selama lima malam berturut-turut, Pak Han melakukan aksinya untuk tidak tidur. Ia masih takut diburu firasat dalam mimpi jika tidur. Tubuhnya mulai lemas, nafsu makannya berkurang dan matanya terasa nyeri.
Akhirnya, malam itu ia memutuskan untuk tidak tidur. Ia tidak mau diburu firasatnya sendiri.
Pak Han duduk bersandar di bawah pohon yang berada tak jauh dari trotoar yang dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang seharusnya tidak boleh berdagang di tempat itu.
Seorang perempuan mendekatinya sambil menawarkan aneka macam jajanan. Pak Han menggelengkan kepala sambil mengibaskan tangan untuk menyuruh perempuan itu pergi.
Namun, perempuan itu justru duduk di samping Pak Han dan berkeluh kesah bahwa jualannya sedari pagi belum ada yang laku, berharap Pak Han terbujuk oleh keluh kesahnya dan bersedia membeli dagangannya.
Saat Pak Han menoleh pada perempuan itu, tiba-tiba perempuan itu mendesis-desis dan lidahnya menjulur seperti ular. Kaki perempuan itu menyempit dan menyatu menjadi ekor ular yang dipenuhi sisik. Pak Han menjerit menyaksikan perempuan itu tapi mulutnya tidak bisa mengeluarkan suara selain gumaman yang tidak jelas.
Beberapa saat kemudian, tanpa diaba-aba para pedagang secara bersamaan membereskan dagangan mereka dan berlari kalang kabut. Perempuan yang tadi duduk di sebelah Pak Han sambil menjajakan dagangan juga sudah menghilang meninggalkan ingatan mengenai ular. Trotoar berubah gaduh seperti sedang terjadi kerusuhan.
Tiba-tiba lengan Pak Han ditarik paksa oleh seorang berseragam. Sementara orang- orang lainnya yang juga berseragam sedang mengobrak-abrik dagangan. Beberapa dagangan diangkut dan dimasukkan ke dalam mobil. Pak Han juga dipaksa untuk masuk ke dalam mobil. Ia berusaha melawan, namun tubuhnya tidak bisa digerakkan. Ia merasa lemas seperti selembar tisu basah.
”Heran, semakin banyak gelandangan di kota ini,” kata salah seorang lelaki berseragam.
Pak Han menoleh pada lelaki yang barusan berbicara. Ia melihat lelaki itu berkepala kerbau seperti di mimpinya waktu lalu.
”Dari mana asalmu?” tanya lelaki berkepala kerbau.
Pak Han ingin menjerit, namun ia justru tertawa terpingkal-pingkal.
”Kepala kerbau,” gumam Pak Han sambil terpingkal.
Beberapa menit kemudian, Pak Han sudah berada di dalam mobil yang melaju. Di sekelilingnya ada berbagai macam barang dagangan. Ada tiga orang yang juga berpenampilan lusuh seperti dirinya. Pak Han tidak tahu akan dibawa ke mana. Dari mobil yang terbuka itu Pak Han merasakan embusan angin kencang yang membuai kepalanya hingga membuatnya tak bisa menahan kantuk.
Saat tiba di sebuah gedung, seluruh barang dagangan diturunkan dari mobil. Orang- orang yang berpenampilan lusuh digiring memasuki bangunan. Seorang lelaki berseragam berusaha membangunkan Pak Han, tetapi usahanya gagal.
”Tinggalkan saja orang gila itu, tadi dia mengataiku kepala kerbau!” seru seseorang dari kejauhan.
Siang terik itu, Pak Han terlelap.
Baca juga: Bleki
Kristin Fourina, menyelesaikan pendidikan di jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Menulis cerita pendek di media lokal dan nasional. Tinggal di Kulon Progo, DIY.