Payung
Netty tetap berusaha untuk tidak mengambil hati ucapan ibu mertuanya itu. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya pada rencana menjemput Alvaro nanti sore.
Bagi Netty kemarau tahun ini lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Mataharinya pun lebih terik, dan panas paparannya sudah cukup menyiksa bahkan dari pukul sembilan pagi.
Ibu muda satu anak itu menjadi semakin enggan keluar rumah sebelum sore sekali. Ia, yang sedang berusaha memutihkan kulitnya tak ingin mengambil risiko mengurangi efektivitas kinerja krim khusus yang ia pakai. Uangnya sudah keluar banyak untuk membeli. Tak ingin ia melakukan sesuatu yang sia-sia.
Tapi siang ini, pukul dua, sebentar lagi, ia harus ke rumah Bu Risa. Acara arisan, yang waktunya dimajukan dari biasanya setelah asar, berhubung tuan rumah akan keluar kota untuk urusan mendadak.
”Ada-ada saja Bu Risa. Mendingan ditunda saja sampai dia pulang, daripada seperti ini, arisan di siang bolong. Bikin kita terpaksa mengarungi terik matahari,” gerutunya gelisah seraya membuka aplikasi WA di ponselnya, mencari nama suaminya untuk di-call, memintanya segera pulang agar bisa mengantar dirinya dengan mobil pick up pabrik ke tempat arisan.
Mendingan ditunda saja sampai dia pulang, daripada seperti ini, arisan di siang bolong.
Tapi sejurus ia tutup kembali layar ponsel itu. Urung ia menelepon saat ingat bahwa jam segini suaminya yang sopir pabrik pakan ternak itu masih sibuk. Lagi pula ia takut akan diomeli, ”masa ke rumah Bu Risa yang dekat, masih satu RT, harus diantar pakai mobil? Jalan kaki kan bisa, Bu.”
Ya, rumah Bu Risa sangat dekat, jalan kaki tujuh menit sampai. Tapi itu tadi, Netty tak ingin berjalan di bawah paparan terik matahari.
Pakai payung? Nah ini masalah yang selalu dan sekarang berkecamuk pula di dalam hati Netty. Ingin ia memakai payung kemana-mana, untuk melindungi kulitnya. Tapi mertua perempuannya cerewet. Ibu dari Dani, suaminya itu pasti akan langsung menegur dengan kata-kata tajam, ”masa ndak hujan kamu pakai payung. Risihlah dilihat warga sekitar yang pasti akan menilai kamu petantang-petenteng, sok gaya-gayaan kayak orang-orang kota, kayak orang yang ndak pernah berpanas-panas di sawah saja.”
Netty memastikan itu setelah beberapa bulan lalu, pada hari pertama ia memakai pemutih, mertuanya terkejut melihat payung teronggok di sudut teras. Payung yang rencananya akan digunakan Netty keluar ke kios.
”Ih, kenapa ada payung di sini? Siapa yang akan pakai payung dalam cuaca bagus begini?” seru sang mertua seraya membawa kembali payung itu ke tempat penyimpanan.
Tak mungkin juga Netty berterus terang menjelaskan bahwa ia sedang menggunakan krim pemutih dan payung penting untuk menghindari kulitnya dari paparan sinar matahari.
Baca juga: Napak Tilas
Itu akan memicu sindiran dan omelan lain lagi dari mertuanya. Jangankan si ibu, Dani saja tak diberitahu oleh Netty perihal dirinya sedang merawat kulit. Takutnya Dani akan mencetuskan reaksi yang tidak nyaman pula.
Sungguh, Netty merasa bersalah karena tidak jujur pada suaminya itu. Apalagi ini menyangkut keluarnya anggaran yang harusnya diketahui oleh Dani. Wanita itu hanya bisa terus menguat-nguatkan dirinya sendiri, ”nanti, besok lusa, akan kuberitahu juga Mas Dani. Untuk saat ini aku tunda dulu.”
Sudah pukul 13.30. Pikiran Netty semakin berkecamuk, semakin gelisah karena menghadapi keharusan pergi ke rumah Bu Risa, sementara tak ada jalan keluar untuk menghindari paparan terik matahari di jalan nantinya.
Ia bangkit dari kursi teras tempatnya duduk dari tadi. Tapi tak tahu untuk apa.
Tatapannya saja yang kosong merayapi suasana di luar halaman yang lengang. Tidak satu pun orang terlihat keluar. Karena tak mau berpanas-panas juga pastinya.
Wanita itu menghela nafas, menghela emosi yang sejenak menguasai hatinya. Emosi pada ibu mertuanya yang kenapa mesti begitu cerewet.
Bukannya Netty tak berani melawan. Ia ingin terus menghormati perempuan tua itu, sebab demikianlah salah satu cara ia memberi harga setinggi-tingginya pada suaminya, Dani.
Tiba-tiba ada sesuatu yang melintas di benak perempuan dua puluh tahunan itu : gagasan untuk nekad, paling tidak untuk kali ini saja!
”Bukankah biasanya jam segini ibu mertuaku sedang di kamar, tidur, dan bangunnya paling nanti sekitar pukul setengah empat?” suara hatinya.
Tatapannya menyelidik ke dalam rumah. Tak nampak orang, tak ada tanda-tanda ibu mertuanya berada di luar kamar.
”Cukup waktuku untuk pergi berpayung ke tempat arisan. Jam tiga aku sudah balik lagi ke rumah. Ibu mertuaku masih tidur. Jadi ia tidak akan melihat aku memakai payung,” bisik Netty pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ada sesuatu yang melintas di benak perempuan dua puluh tahunan itu: gagasan untuk nekad, paling tidak untuk kali ini saja!
Ia yakin, itulah gagasan terbaik untuk solusi terbaik! Maka dengan langkah pelan ia menuju gudang di belakang rumah. Dari sana ia keluar lagi dengan payung sudah di tangannya.
”Untung Alvaro main di rumah bibinya, jadi tidak ada yang rewel, yang mungkin saja membuat keributan saat aku pergi seperti ini,” kata hatinya senang. Alvaro adalah anaknya, yang baru berusia enam tahun.
Tak mau membuang-buang waktu lagi, kini Netty telah berada di jalan menuju rumah Bu Risa. Ia melangkah cepat dinaungi payung.
*
Hari yang sial buat Netty. Dugaannya salah! Pulang dari arisan ternyata mertuanya sudah duduk di teras. Dan tatap tajam wanita tua itu serasa seperti tikaman bagi hati menantunya yang masuk halaman dengan terkejut dan risih.
”Kok terang-terang begini pakai payung, Netty?”
Benar! Terbukti sudah keyakinan Netty tentang apa yang akan terjadi ketika mertuanya itu mendapatinya memakai payung di siang cerah seperti ini!
Ia berusaha menenangkan diri, menunjukkan sikap biasa dan bahkan tersenyum pada mertuanya itu.
”Saya, Bu.” Itu saja kalimat yang sanggup ia lontarkan, sebab kerongkongannya tercekat karena gugup. Kemudian ia mengisyaratkan permintaan ijin masuk ke dalam rumah dengan sangat sopan.
Netty berprinsip tak ada artinya menjawab apalagi mencoba menentang mertuanya itu, sebab wanita yang telah janda itu tak mengenal kata kalah atau mengalah. Selalu saja ia memiliki argumen, untuk perdebatan apa saja.
Netty memilih lekas-lekas ke gudang untuk menyimpan kembali payung yang ia bawa, lalu masuk kamar guna menyeka keringat yang membaluri tubuhnya. Dan yang paling penting segera bercermin, memeriksa keadaan wajah, leher dan lengannya seusai berada di ruang terbuka yang panas.
”Masa ndak hujan pakai payung. Apa ndak risih dilihat warga sekitar? Nanti dikira petantang-petenteng, sok gaya-gayaan kayak orang-orang kota, kayak orang yang ndak pernah berpanas-panas di sawah saja.”
Pas seperti perkiraan Netty. Kalimat yang nampaknya sengaja dikeraskan itu meluncur dari mulut ibu mertua yang masih berada di teras. Didengar jelas oleh sang menantu yang hanya bisa menggeleng-geleng.
Baca juga: 1998-2023
Tapi lagi-lagi, walaupun dengan batin perih, Netty tetap berusaha untuk tidak mengambil hati ucapan ibu mertuanya itu. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya pada rencana menjemput Alvaro nanti sore. Sementara ia akan berbaring dulu, sambil menunggu kepulangan Dani.
**
Klakson berbunyi keras di depan rumah. Netty yang baru saja akan lelap harus terjaga karena kaget. Lekas ia bangkit dari dipan, keluar menyambut Dani yang sudah pulang.
Di pintu depan ia menunggu suaminya itu turun dari mobil pick up. Tapi sang suami justru melambaikan tangan, memanggil. Cepat-cepat Netty keluar halaman.
”Basuh mukamu sedikit, ganti pakaian, kita ke toko!” seru Dani menyaingi deru mesin mobil yang terus dibiarkan menyala.
Bibir Netty bergerak hendak bertanya, ”untuk apa, kenapa tiba-tiba?” Tapi ekspresi wajah Dani menunjukkan ketidakinginan bicara. Yang ada adalah dorongan agar isterinya itu segera melaksanakan perintahnya.
Gerak cepat, karena takut Dani ngomel, Netty sudah kembali, naik ke mobil dan langsung duduk di jok dengan wajah pasrah.
Sepanjang jalan Dani tak bicara sepatah kata pun. Netty jadi tidak enak hati. Ada kecemasan merayapi dadanya. Ia tahu betul watak suaminya itu, kalau sudah diam berarti ada yang sedang tak ia sukai.
”Apakah, apakah Mas Dani sudah tahu kalau aku membeli krim pemutih dan ia marah tak kuajak kompromi dulu? Tapi, masa iya Mas Dani tahu tanpa kuberitahu. Ia kan tidak mengerti apa-apa tentang kosmetik. Kemasan krim itu pun tak pernah kuletakkan di meja rias. Aku simpan baik-baik di tempat yang pastinya tak akan diketahui Mas Dani.”
Spekulasi mulai berkecamuk di kepala wanita yang berwajah cantik itu.
”Tadi saat kamu tidak ada di rumah, aku pulang tapi kembali lagi ke pabrik.”
”Duh, marahkah Mas Dani karena aku keluar tanpa memberitahukannya lewat ponsel?” seru batin Netty demi mendengar kalimat tiba-tiba dari Dani barusan. ”Oh, bisa jadi Ibu sudah bicara macam-macam pada Mas Dani karena pada beliau pun aku tak pamit. Pasti, pasti Mas Dani marah karena hal ini!”
Duh, marahkah Mas Dani karena aku keluar tanpa memberitahukannya lewat ponsel?
”Saya minta maaf, Mas, tak beritahu Mas, tak pamit juga ke Ibu sebelum pergi. Tadi saya hadiri acara arisan di rumahnya Bu Risa.” Lirih suara Netty karena dilatari kecemasan dan penyesalan.
Tapi kelihatannya Dani tidak memerhatikan. Ia justeru berkata tentang hal lain, ”urusan berpayung saja kok jadi repot sekali bagi Ibu, ya?”
Dada Netty berdesir. Ucapan Dani kali ini lebih menghentak dalam pendengarannya, lebih membuat kecemasannya menjadi-jadi.
Dengan ekor mata ia beranikan diri mencuri pandang kepada lelaki itu, yang terus menatap ke depan, berkonsentrasi mengemudi walaupun sambil bicara. Raut mukanya tawar.
”Apakah Ibu juga sudah mengadukan kelakuanku memakai payung di siang bolong?” jerit hati Netty. ”Dari nada Mas Dani, kayaknya ia kesal sama Ibu. Apakah ketika Ibu mengadukan aku, Mas Dani menentang mertuaku itu?”
Jika itu yang terjadi, sungguh, Netty cemas Dani akan menanyakan kenapa dirinya memakai payung segala, yang akibatnya memancing reaksi Ibu, yang membuat dirinya harus menentang, harus kesal pada orang tua satu-satunya itu.
Netty takut Dani akan memintanya tak usah lagi memakai payung demi menghindari omelan Ibu. Itu akan menjadi petaka bagi dirinya yang ingin sekali mempertahankan usahanya memutihkan kulit.
Sama pula takutnya Netty kalau-kalau Dani menyelidik dirinya dengan pertanyaan, “memangnya kenapa kamu harus pakai payung di hari tak berhujan. Kan biasanya kamu tahan dengan terik matahari. Toh kita yang biasa bertani juga tak masalah dengan itu!”
Netty tak akan bisa berbohong pada suaminya. Ia akan jujur memberi tahu bahwa dirinya sudah beberapa bulan menggunakan krim pemutih kulit, bahwa dirinya sudah menyisihkan uang belanja untuk itu, bahwa dirinya tak kompromi dulu sebelum mengambil keputusan, bahwa dirinya telah mendustai Dani!
Mobil berbelok ke kiri, lalu berhenti di depan toko perlengkapan rumah tangga. Netty masih terbawa kecamuk perasaannya. Ia terpekur, tak sadar Dani menatapinya dengan heran.
”Kita sudah sampai, ayo turun!”
Barulah perempuan itu sadar, turun dari mobil dan melangkah dengan tanpa semangat, mengikuti suaminya yang masuk ke dalam toko.
”Mau beli payung, Mbak. Dua biji.”
Netty seperti tersengat mendengar Dani mengucapkan itu kepada pramuniaga.
”Payung? Beli payung?” seru hatinya tak mengerti. ”Kenapa Mas Dani beli payung, dua biji lagi?”
Ingin ia bertanya pada suaminya itu. Tapi kecemasan masih menguasai dirinya, hingga keraguan begitu besar mengganjal dalam otaknya.
”Nih, pegang.” Dani menyodorkan dua payung yang telah ia bayar sendiri. Lengan Netty ditariknya pula agar lekas berjalan kembali ke mobil.
Pick up melaju lagi di bawah terik matahari yang mulai turun suhunya, sebab waktu sore mulai menjelang.
Baca juga: Elmo Menolak Bermandikan Air Coklat
”Selama musim kemarau yang panasnya luar biasa ini Ibu harus memakai payung kalau keluar di siang hari. Tadi aku sedikit kesal. Ketika pulang kudapati beliau akan pergi ke warung sementara cuaca panas sekali. Kusuruh memakai payung, tidak mau. Alasannya payung tak ada, kau bawa. Aku takut beliau yang sudah berumur itu akan mudah sakit jika terpapar terik. Makanya kuajak kamu beli payung. Biar tak ada lagi alasan beliau. Biar sekarang masing-masing kita punya satu payung.”
Sontak Netty mengangkat mukanya yang dari tadi terus tertunduk, memandangi Dani dengan sorot mata tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
”Kenapa kau memandangku seperti itu?” Protes suaminya.
”Jadi kita semua harus pakai payung, ya?” Pelan suara Netty seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia berharap Dani mengulang lagi kata-katanya untuk lebih yakin.
”Ya, benar. Ibu harus memakai payung kalau keluar di siang hari. Kamu juga. Aku juga.”
Netty merasa dirinya seperti mengawang-awang karena begitu lega demi mendengar ucapan Dani untuk kedua kali, demi menyadari bahwa apa yang ia cemaskan dari tadi ternyata tidak benar! Demi mendapati kenyataan bahwa ia diharuskan memakai payung oleh suaminya itu. Alih-alih diomeli, alih-alih dilarang!
Kini kebahagiaanlah yang sedang menguasai hati dan pikirannya. Bahagia sekali.
Tiba-tiba perempuan itu ingin jujur pada lelaki yang sangat dicintainya itu.
”Mas, menurut Mas, bagaimana penampilan saya sekarang? Ada yang berubah ndak dalam pandangan Mas Dani?”
Mendadak manja suara Netty, berharap Dani memandangi wajahnya, lalu menangkap perubahan yang terjadi karena ia memakai krim pemutih kulit.
Dani memelankan laju mobil. Dada Netty dag-dig-dug ketika sang suami memandangi wajahnya dengan lekat.
”Biasa saja. Dari saat pacaran sampai sekarang, kamu tetap cantik. Tak ada yang berubah.”
Polos sekali, santai sekali suara Dani.
Merahlah wajah Netty. Merah karena malu, apa yang dia harapkan dari suaminya ternyata tak terwujud. Jauh sekali dari ekspektasinya!
”Ow, memang, belakangan ini aku lihat kamu berbeda. Kulitmu semakin cerah saja!”
Kata-kata itu yang diinginkan Netty terlontar dari mulut Dani, yang dibarengi senyuman senang! Netty menggeleng-geleng kecewa.
Ia jadi cemas krim pemutih yang ia pakai tidak maksimal kinerjanya.
Ia juga marah pada dirinya yang tak nekad dari dulu, memakai payung saja kemana pun pergi, tanpa peduli pada orang lain, asal usahanya membuahkan hasil.
Sumbawa Timur, 6 Desember 2022
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.