Kayu Milik Hutan
Lima hari semenjak kejadian itu, Maisra kembali tenang. Namun, kondisi Aning semakin memburuk. Kulitnya kian pucat, seperti kulit Agung kala itu.
Suara jangkrik dan binatang malam lainnya mulai terdengar. Aning mengerjapkan matanya, mencoba fokus, tapi yang ia lihat hanya kegelapan. Apa mati lampu, ya? pikirnya. Seingat Aning, kasur di kamarnya begitu empuk. Namun, kenapa kasur yang ia tiduri saat itu seperti tumpukan kayu yang disusun rapi. Baunya juga benar-benar seperti bau kayu. Seingat Aning juga, kamarnya selalu terang. Apa jangan-jangan ia tertidur di gudang itu lagi? Bukankah setiap malam ia tidur bersama Agung, adiknya? Kenapa ia merasa sedang berada di satu ruangan kosong yang gelap?
”Ibu!” teriakan Aning menggema. Gadis sepuluh tahun itu menangis sesenggukan, apalagi saat ia mendengar ada pergerakan orang yang mencakar-cakar kayu di sekitarnya. Aning panik, tapi tak mengurangi teriakan kencang yang keluar dari mulutnya. Ia berharap ibu atau bapaknya datang menjemput. Setelah Aning berteriak beberapa kali, seseorang membuka pintu dari arah barat sambil membawa senter yang menyilaukan mata Aning dan membuat tangisnya reda.
”Ya ampun, anak Ibu....kenapa bisa kau ada di sini lagi...?” Maisra, Ibu Aning, segera membopong putrinya. Nampak sekali matanya memancarkan ketakutan sebab bukan pertama kalinya Aning ditemukan tertidur di gudang kayu itu, bukan pertama kalinya Aning ditemukan di dalam gudang yang terkunci. Tak pernah ada tanda-tanda gembok pintu itu dibuka paksa. Seolah-olah ada yang sengaja menaruh putrinya di dalam sana.
***
”Ya ampun, anak Ibu....kenapa bisa kau ada di sini lagi...?”
”Sudah berapa kali aku temukan Aning tertidur di atas tumpukan kayu itu. Yang membuatku heran bagaimana cara dia masuk? Gudang itu selalu terkunci, Pak,” ujarnya.
Sahdi diam sesaat. ”Nanti aku bicara dengan Bapak. Sekarang aku harus berangkat ke hutan, semoga banyak sayur pakis yang bisa dijual.” Sahdi beranjak dan Maisra masih tak mengerti sikap suaminya. Kenapa ia terlihat tenang sekali.
Dua minggu sebelumnya bapak mertua Maisra menaruh banyak sekali kayu balok di dalam gudang di belakang rumah mereka. Itu memang gudang milik bapak mertuanya. Rumah yang mereka tinggali juga pemberian darinya. Sahdi tak begitu akrab dengan bapaknya sendiri, setidaknya itu yang Maisra tangkap dari hubungan bapak-anak itu. Namun, siapa pun tahu, betapa bapak mertuanya sangat menyayangi Aning dan Agung, cucu-cucunya.
Maisra menebak-nebak dari mana kayu-kayu itu berasal. Desa mereka memang dekat dengan hutan, tapi tidak mungkin bapak mertuanya melakukan penebangan liar, mengingat pohon-pohon di hutan itu dilindungi oleh pemerintah setempat. Maisra tahu ada yang tidak beres dengan Aning dan kayu-kayu di gudang itu.
***
Baca juga: Perempuan yang Menikahi Tubuhnya Sendiri
”Bu, kenapa Aning sering ditidurkan di gudang gelap itu? Aning takut, Bu.”
”Ibu sama Bapak juga heran kenapa kau bisa tidur di gudang itu, padahal Ibu sudah kunci pintu supaya kau tidak masuk ke sana.” Maisra memangku Aning. Mereka duduk santai di teras rumah. Saat itu hari Minggu.
”Kenapa kau tidak ikut Agung saja main kelereng di lapangan desa? Ibu mau cuci baju ke sungai.”
”Tidak mau, Bu. Kepala Aning sakit terus setiap hari, rasanya seperti ditusuk-tusuk,” keluh Aning. Maisra mendesah pelan. Padahal sebelumnya Aning sehat dan tak kurang apa pun. Sekarang gadis itu semakin kurus dan pucat. Maisra jadi tidak percaya kepada Pak Mantri yang bilang anaknya hanya kelelahan dan kurang tidur.
”Kira-kira Aning ingat tidak kenapa bisa berada di dalam gudang itu?”
”Tidak, Bu. Bangun-bangun Aning sudah ada di dalam. Aning takut. Apakah nanti malam Aning akan tidur di sana lagi?”
”Tidak, nanti malam kau tidur dengan Ibu, ya.”
Maisra ingin tahu kenapa anaknya bisa berada di dalam gudang itu. Ia harus memastikan sendiri.
***
Baca juga: Makan Tak Boleh Beremah
Sahdi duduk di kursi bapaknya. Ia melirik pria tua yang sedang sibuk membersihkan kandang burungnya. Selepas Sahdi menceritakan apa yang sedang dialami Aning, bapaknya tetap mendiamkan Sahdi dan kopinya menjadi dingin. Kopi yang diseduh sendiri oleh Sahdi. Sungguh bapaknya bukan tuan rumah yang bisa beramah-tamah. Bapaknya tak bercerita dari mana kayu-kayu itu berasal. Sahdi hanya ditugaskan untuk menjadi juru kunci gudang itu.
”Kayu itu Bapak dapat dari hutan, kan?” Sahdi mulai tidak tahan. Sifat menjengkelkan bapaknya tak pernah berubah semenjak ibunya meninggal 10 tahun yang lalu.
”Kalau memang iya, kenapa?” bapaknya juga mulai jengkel dengan Sahdi yang dianggapnya mengganggu. ”Cucuku cuma sedang sakit. Kenapa tidak kau bawa ke Pak Mantri atau salah satu dukun di desa sebelah?”
”Bapak tahu, kan, perbuatan Bapak salah? Bapak tidak takut?”
”Pada siapa? Polisi-polisi hutan itu? Setahun yang lalu terjadi penebangan besar-besaran di hutan selatan dan mereka hanya diam menuruti bos-bos besar itu.” Sahdi yang mendengar hal itu makin jengkel.
”Bukan itu Bapak. Aning terus bertingkah aneh semenjak Bapak menyembunyikan kayu itu di sana. Aning makin kurus, sering kami temukan ia tertidur di sana seolah-olah ada yang menariknya masuk.” Sahdi menghela napas. Sang Bapak kembali membelakanginya
”Kayu-kayu itu harus Bapak kembalikan ke hutan, itu melanggar aturan kita.”
”Mungkinkah cucuku ikut-ikutan gila seperti ibunya?”
”Jangan berkata seperti itu tentang istriku. Bapak tidak tahu betapa menderitanya dia selama ini!” Sahdi menandaskan kopi dinginnya lalu beranjak tanpa pamit. Bapaknya hanya bisa menghela napas berat. Mungkin hari itu ia harus menjenguk cucunya, mungkin sekadar melihat bagaimana kondisinya.
Sepulang Sahdi dari rumah bapaknya, hari sudah menjelma malam. Istrinya menyambut Sahdi dengan makan malam nasi dan sayur yang hangat. Sahdi tersenyum, apalagi saat istrinya menyeduhkan segelas kopi.
”Aning mana, Bu?”
”Di kamar bersama Agung. Mereka makannya nanti saja. Bapak sudah pergi ke rumah Bapak?” tanya Maisra.
”Kayu-kayu itu hasil penebangan liar Bapak di hutan. Sepertinya Bapak menjadi penadah kayu-kayu gelap itu.”
Maisra menutup mulutnya. ”Aku harap kau jangan memberi tahu siapa- siapa. Perbuatan Bapak memang melanggar aturan, tapi mendapatkan pekerjaan juga semakin sulit saat ini,” ujar Sahdi.
”Bukankah Bapak yang pernah bilang menebang pohon di hutan itu dilarang kepala desa? Katanya dapat mendatangkan bala.”
”Iya, bala bencana. Bencana alam tentunya. Aku masih tidak mengerti dengan tindakan bapakku.” Maisra dan Sahdi terdiam beberapa saat. ”Malam ini aku tidur sama Aning, Bapak temani Agung di kamar sebelah.” Sahdi hanya mengangguk, keningnya berkerut.
***
Baca juga: Istri Sempurna
Maisra terbangun saat mendengar suara tangisan. Ia terkejut, hanya ada selimut di sampingnya. Aning sudah menghilang. Maisra bergegas ke kamar Agung dan mengguncang tubuh suaminya.
”Bapak! Bangun! Aning menghilang lagi, Pak. Sepertinya ia berada di gudang itu lagi!” Sahdi mengerjap perlahan, ia meraba senter di atas meja kecil anaknya lalu mengekori istrinya. Maisra segera membuka pintu gudang yang berada di belakang rumah mereka. Suara tangisan Aning semakin jelas. Sahdi menyorotkan cahaya senter ke arah suara tangisan itu. Mereka bisa melihat dengan jelas Aning tidur terlentang. Matanya melotot. Di atas tubuhnya mengepul asap hitam pekat yang membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Kembalikan kami....
Kembalikan kami....
Kembalikan....
Tak ingin istrinya semakin panik, Sahdi segera membopong putrinya keluar dari gudang itu. Ia berpura-pura tak mendengar suara Aning yang menggumam agar ”sesuatu” itu dikembalikan. Sahdi tak mengerti kenapa makhluk itu mengganggu Aning dan bukan bapaknya dan sejak kapan penyakit gila istrinya kambuh lagi?
***
”Malam ini aku tidur sama Aning, Bapak temani Agung di kamar sebelah.”
Pagi-pagi sekali Bapak Sahdi datang ke rumah mereka. Maisra di kamar menjaga Aning yang terserang demam. Sementara Agung ikut merawat kakaknya. Untuk usia yang terpaut hanya dua tahun mereka tidak lagi sering bertengkar sebab Agung cenderung menjadi pendiam dan penurut.
Sahdi dan bapaknya terlibat percakapan serius. Beberapa kali Sahdi seolah menentang usulan bapaknya. Begitupun sebaliknya, bapaknya tak setuju dengan usulan Sahdi. Hingga akhirnya mereka sama-sama terdiam.
Sahdi yang hendak beranjak pergi kembali terduduk saat dua orang berseragam polisi hutan datang. Ia dan bapaknya bertatapan menyiratkan rasa khawatir yang sama. ”Selamat pagi, bapak-bapak. Boleh saya minta waktunya sebentar?” Dua polisi ikut duduk bersama mereka tanpa dipersilakan. Maisra yang mendengar suara, selain suara suami dan mertuanya, bergegas keluar.
”Ibu, buatkan kopi dua ya, untuk tamu kita,” ucap Sahdi.
”Eh..., tidak perlu repot, Pak. Kami di sini sebentar saja. Ibu juga harus ikut menjawab pertanyaan kami.” Hati Maisra mencelus walau ia merasa tidak salah apa-apa.
”Apakah betul ada anak laki-laki sekitaran usia delapan tahun yang pernah atau sedang tinggal di rumah ini?”
Saat Maisra hendak menjawab, Sahdi memberi isyarat agar istrinya diam saja.
”Memangnya kenapa, Pak? Apa urusannya dengan kami?” tanya balik Bapak Sahdi. Ia juga sepertinya enggan menjawab pertanyaan salah seorang polisi itu.
”Ini mungkin terdengar sedikit aneh.” Salah seorang polisi memperbaiki duduknya agar lebih nyaman. ”Tadi malam saat saya dan rekan saya sedang patroli—kalau-kalau ada penebangan ilegal yang akhir-akhir ini marak terjadi, ya tahulah, kami hanya menjalankan tugas—sampai di satu titik saya melihat ada anak laki-laki berdiri di antara sisa-sisa potongan kayu bekas penebangan liar. Saya mendekat, tapi anak itu lebih dulu bersuara.” Polisi itu mengingat kembali kejadian semalam.
Dengan senter ia menyorot anak laki-laki itu. ”Nak? Sedang apa malam-malam begini?”
Bocah itu tertawa meringis, di tangannya ada sekumpulan ranting kering. Sekilas tidak ada yang janggal. Polisi itu menyadari manusia yang ada di depannya itu benar-benar manusia, kakinya menapak tanah, kulitnya tidak pucat, malah cenderung kumal dan dekil seperti anak-anak yang habis bermain seharian.
”Tolong cari aku, kayu-kayu milik hutan ini juga ada di sana,” ucap anak itu. Polisi itu ingin bertanya lagi, tapi anak itu malah pamit pulang. Takut diomel ibunya, katanya. Polisi itu sedikit heran, sebelum anak itu benar-benar menghilang ia menyebut nama Aning, Maisra, Sahdi, dan bapaknya.
Apalagi saat polisi itu menyebutkan ciri-ciri anak yang ia temui semalam: rambut keriting, memakai celana kain dan baju berwarna hijau tua, ada sedikit tanda lahir berwarna hitam di jidatnya. Persis seperti Agung.
”Setelah kami bertanya kepada penduduk desa, mereka menunjuk rumah Pak Sahdi. Saya hanya ingin memastikan apa benar anak laki-laki yang saya sebutkan ciri-cirinya tadi ada di rumah ini?”
”Tapi itu tidak mungkin, Pak,” ucap Bapak Sahdi. Maisra makin tidak tenang. ”Putra saya tidur bersama bapaknya tadi malam, Pak,” ucap Maisra. Ia sudah tidak tahan dengan segala keanehan yang terjadi di rumahnya.
”Jangan dengarkan istri saya. Tidak ada anak laki-laki di rumah ini. Saya hanya punya seorang anak perempuan, namanya memang Aning. Apa yang Bapak ceritakan itu tidak masuk akal,” Sahdi menyuruh istrinya masuk.
”Bapak sudah gila! Kenapa tidak mau mengakui keberadaan Agung? Sejak lama aku perhatikan Bapak tidak pernah sekali pun menunjukkan kasih sayang kepada Agung. Kenapa, Pak? Agung juga anakmu!” Pekik Maisra. Segala kegundahan dan rasa kesalnya tumpah bersama air mata.
”Maaf Pak, tapi di sini benar-benar hanya ada istri dan anak perempuan saya,” ucap Sahdi.
”Lalu, bagaimana dengan keterangan istri Bapak?” tanya polisi itu. Keadaan semakin runyam saat Maisra menggila.
”Pak! Agung hilang lagi! Tolong bantu Ibu mencarinya. Agung tidak boleh pergi lagi!” teriak Maisra. Sahdi tak tahan. Ia segera menampar istrinya sehingga membuat semua yang ada di teras itu terkejut.
”Maisra! Sadar! Agung sudah meninggal dua tahun yang lalu. Kau jangan gila! Kenapa tidak kau relakan saja anak kita! Gara-gara kau Aning ikut-ikutan gila!” bentak Sahdi.
Suaranya berhasil mendiamkan istrinya. Namun, Maisra kembali menangis sesenggukan. Kali ini suaranya pelan dan menyayat seolah ia sudah menyadari segala sesuatu. Polisi tadi dan rekannya sama terkejutnya. Lalu yang mereka temukan semalam itu siapa?
Keributan membuat polisi itu mengurungkan niatnya untuk menggeledah gudang milik keluarga itu. Polisi itu tidak enak hati. Ia pamit sambil minta maaf, telah memicu keributan. Polisi itu tahu ada sesuatu yang janggal, tapi cukup, tugasnya sampai di sini saja.
Di sana, di balik tirai jendela rumah, sepasang mata melihat kepergian dua petugas itu. Sepasang mata milik seorang anak laki-laki berambut keriting dengan wajah kumal.
”Sudah kau tenangkan istrimu?” tanya Bapak Sahdi. ”Hmm....” Sahdi mengangguk. Ia masih mendiamkan bapaknya.
***
Lima hari semenjak kejadian itu, Maisra kembali tenang. Namun, kondisi Aning semakin memburuk. Kulitnya kian pucat, seperti kulit Agung kala itu.
***
Intan Soraya, lahir di Sabah, Malaysia, 6 Desember 2003. Saat ini menjadi mahasiswa Teknik Lingkungan, Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), Mataram. Mengikuti program Offschool di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.