Akhir Perjumpaan di Bawah Rindang Pohon
Kekesalan memantik tidakan tak rasional, Rahman memukuli Rani sampai tangannya berdarah-darah. Selain darah yang menetes pada sobekan luka, matanya pun mulai meneteskan air mata.
Berbicara dengan sebuah pohon talok di belakang rumah telah menjadi kebiasaan sehari-hari Bu Sahati. Rahman hampir tak pernah mempermasalahkan kebiasaan ibunya, malahan dia seperti mencoba untuk memaklumkan kebiasaan tersebut walau kadang-kadang terlihat sangat aneh. Kebiasaan Bu Sahati berbicara dengan pohon talok, khusus hanya talok di belakang rumah mereka, dimulai jauh sebelum Rahman orok.
Saking spesialnya pohon talok itu, Bu Sahati sampai memberikan nama kepadanya. Rani, begitulah pohon tersebut dinamai. Pohon yang selalu mendengarkan segala keluh kesah Bu Sahati jika sedang gundah hati atau sekadar mencari pelepasan. Tentunya Rani tak dapat membalas segala ungkapan kata-kata Bu Sahati. Pohon itu hanya dapat diam, bahkan mendengarkan pun sepertinya tidak. Akan terasa seram kalau pohon itu tiba-tiba menjawab perkataan-perkataan Bu Sahati.
Sebagai anak tunggal, Rahman kadang-kadang merasa agak sedikit cemburu. Kecemburuannya terbilang tipis, tak lebih tipis dari kertas roti. Hal yang membuatnya cemburu adalah bahwa ibunya lebih sering bercerita dengan Rani. Cerita tentang masalah ekonomi, tetangga-tetangga, bahkan tentang Rahman. Sepertinya, kertas roti pun akan terasa tebal jika lama-kelamaan ditumpuk. Sesekali, sebenarnya Rahman juga ingin mendengar curhatan ibunya sendiri.
***
Baca juga: Cerpen Mimpi Jurai
Tirai kamar bermotif bangau berwarna merah di kamar Rahman masih tertutup rapat saat sinar mentari sudah hadir menyengat. Sayangnya matahari tak menyerah begitu saja untuk membangunkannya. Sinar matahari perlahan merayap melalui genteng transparan yang terbuat dari kaca, turun dengan tidak sopan menyorot ke muka Rahman. Remah-remah belek di mata Rahman tetap menempel nyaman, membuatnya enggan untuk bangun.
Dengkuran Rahman malah makin kencang, berderu bak knalpot angkot. Dia sepertinya melupakan hal penting pada hari itu. Hari di mana seharusnya dia bersiap berangkat ke kota untuk mendaftar kerja di pabrik, tempat temannya bekerja di sana juga. Terlihat persiapan Rahman belum dikemas, sudah di tata tapi belum dimasukkan ke dalam tas. Seperti biasanya, Bu Sahati sudah berada pada pohon talok kesayangannya. Berteduh di bawah rimbunnya dedaunan Rani, menikmati angin sepoi dan terlindung dari sinar matahari.
Di bawah pohon talok, Bu Sahati menulis banyak catatan pada bukunya. Tak lupa juga mengoceh barang sesekali. Bu Sahati mencatati dan mengocehkan perihal naiknya harga minyak tanah serta sulit dan mahalnya berkomunikasi menggunakan handphone GSM di daerahnya. Handphone yang seharusnya dapat membantu komunikasi untuk rumah antar-tetangga yang cukup jauh malah tak membantu karena sulitnya sinyal.
Karena belek pada mata Rahman telah mencair atau perasaan-perasaan lain yang membuat tidurnya jadi tak jenak lagi, akhirnya dia pun bangun. Keluarlah Rahman dari kamar dengan menyingkatkan tirai ke paku di kusen pintu. Paku tersebut memang dipasang Rahman untuk tempat tirai agar praktis dicantolkan saat dibuka maupun nanti saat ingin menutupnya daripada harus ribet mengikat dan melepasnya lagi.
Saat keluar kamar, Rahman disambut berbagai lukisan, gambaran, atau apa pun hasil karyanya dari zaman bocah sampai dia sebesar sekarang. Gambar-gambarnya dari saat masih taman kanak-kanak, coretan isengnya di sepanjang tembok, piagam lomba mewarnai, sampai sertifikat, tropi dan piala selama sekolah, semuanya ada di sana. Bu Sahati tetap menyimpan segala hal tersebut walau Rahman sudah mencoba membujuk ibunya untuk menyingkirkan segala hal-hal lawas untuk menggantinya dengan dekorasi lain atau mengecat tembok agar lebih rapi. Tapi, satu kata yang selalu muncul dari mulut Bu Sahati saat Rahman memprotes segala macam benda masa kecilnya di tembok adalah: ”Sayang.”
Bu Sahati mencatati dan mengocehkan perihal naiknya harga minyak tanah serta sulit dan mahalnya berkomunikasi menggunakan ”handphone” GSM di daerahnya.
Rahman lalu mengecek tanggalan sebelum berlanjut melangkahkan kaki ke warung milik ibunya di depan rumah. Dia masih agak linglung saat masuk warung untuk mengambil sampo saset. Dengan sampo saset pada genggaman, rahman berjalan ke belakang rumah sambil menggaruk kepalanya. Dan dari ambang pintu rahman menengok ke luar rumah menyapa ibunya. Senyum hangat Bu Sahati mengalahkan hangat matahari, Rahman bertanya kenapa warung belum dibuka, padahal hari sudah amat siang.
Bu Sahati menjelaskan bahwa dia masih menghitung-hitung catatan pengeluaran warung serta masih asyik berbincang dengan Rani. Rahman mengoceh dan ngedumel di ambang pintu soal Rani melulu yang diperhatikan ibunya. Sampai pada bagian di mana Rahman berkata akan segera berangkat ke kota pada hari itu juga. Bu Suhati berbalik mengomeli Rahman karena sebenarnya Bu Sahati telah menyiapkan sarapan, merebus air hangat untuk mandi, bahkan berkas keperluan daftar kerja pun sudah disiapkannya. Hal penting yang paling digarisbawahi dalam percakapan mereka adalah bahwa Bu Sahati tak suka bila Rahman mencemooh Rani.
Setelah perdebatan kecil tadi, Rahman berbalik badan dan bergegas mandi. Rahman pun masih bingung memikirkan apa sebenarnya yang dilakukan oleh ibunya selama ini. Keanehan di mana Bu Sahati selalu berbicara dengan pohon talok. Rahman selalu berpikir bahwa apa yang spesial dari pohon itu, bagi Rahman pohon hanyalah sebuah pohon, walaupun hidup pohon tidak akan menjawab perkataan bahkan tidak akan pernah memberikan sebuah solusi dari masalah yang dihadapi oleh ibunya.
Sambil meletakkan gayung penuh air ke kepalanya, Rahman bergumam, ”Kok bisa-bisanya, Ibu enggak bosan. Bertahun-tahun ngomong sama Rani enggak ditanggapi, tapi masih aja diterusin. Apa aku masih dianggap kurang dewasa buat dengar keluh kesah ibu.” Dan perlahan air mengalir dari gayung menuju dahi, telinga kiri, pipi, dan seterusnya hingga seluruh badan Rahman menjadi basah.
Rahman sudah mengeringkan badan dan keluar dari kamar mandi. Bu Sahati menghadangnya, membawakan piring penuh dengan nasi serta lauk-pauknya. Sambil menyodorkan sendok yang penuh dengan nasi ke mulut Rahman Bu Sahati berkata, ”Ayo cepetan dimakan, biar cepet berangkatnya. Udah kesiangan. Katanya mau daftar kerja ke pabrik malah males-malesan.”
Baca juga: Senyum di Wajah Jamilah
”Apa sih, Bu. Nantilah aku makan sendiri setelah ganti baju. Emangnya bayi disuapin sehabis mandi.”
Bu Sahati menaruh piring serta sendok ke atas meja makan dan duduk sambil menunggu Rahman selesai berpakaian. Rahman keluar kamar, lalu dia duduk di meja makan.
Sambil melihat anaknya yang sedang makan, Bu Sahati bertanya ke Rahman, ”Kamu ini, lho, kenapa pengen banget nyari kerjaan di kota. Padahal di sini banyak pekerjaan juga, enggak perlu yang muluk-muluk, toh, Ibu sudah ada warung dan masih ada uang dari klaim asuransinya bapak. Kamu mau kerja apa pun Ibu tuh setuju asalkan kamu tetap deket sama ibu. Atau Ibu coba bicara ke Bu Lurah, siapa tau bisa dimasukkan ke sana.”
”Kalau begitu, jadi tidak ada usahanya, Bu. maksud Rahman pengen bekerja di kota, kan, supaya pendapatan kita itu lebih stabil dan baik. Kalau cuma mengandalkan warung kayak gini gimana kita bisa bertahan. Dan uang dari sisa klaim asuransinya bapak itu, kan, enggak akan bertahan lama, Bu.”
”Ibu itu paham mengenai hal itu, kalau keresahanmu cuma soal biaya hidup, Ibu juga akan memikirkannya. Ibu tuh cuma enggak mau ditinggal. Nanti siapa yang mau nemenin Ibu kalau ibu kesepian.”
Kalau cuma mengandalkan warung kayak gini gimana kita bisa bertahan?
”Loh, Bu. Kan ada Rani. Ibu itu tiap hari, tiap pagi, tiap malam kalau ada apa-apa ceritanya ke Rani. Yang anaknya Ibu itu sebenarnya siapa, sih, aku apa Rani? Dia itu, kan, cuma pohon talok, diajak ngobrol juga enggak akan pernah jawab! Rahman, loh, yang bener-bener anak ibu, jarang diajak cerita gitu, malahan kalau Rahman pengen ngapa-ngapain selalu dibatas-batasin masih dianggap kayak anak kecil.”
”Bukan gitu, Rahman. Maksud Ibu, kan, biar kamu enggak banyak pikiran. Kalau masalah orang tua, ya, biar Ibu sendiri yang urus. Kamu tau seneng-nya saja pokoknya.”
”Nah, kan, baru aja dibilang. Ibu terlalu meremehkan Rahman. Kenapa, sih, ibu harus nyuruh Rahman kerja di sekitar sini aja? Enggak boleh ke kota? Biar apa Bu? Ibu khawatir soal kejadian yang pernah menimpa bapak? Khawatir nasibku akan kayak bapak? Enggak Bu. Aku enggak akan kerja di laut, kok. Aku cuma mau kerja ke kota, ke pabrik, seminggu sekali Rahman usahakan pulang. Enggak kerja di laut yang entar pulangnya enggak tau kapan dan bahkan saat meninggal mayatnya enggak sampai di rumah.”
”Rahman, omonganmu semakin ke sini, kok, semakin kasar. Ibu memang khawatir dan tidak ingin kejadian seperti bapak terulang lagi. Kalau kamu udah tahu itu, kenapa masih pengen kerja keluar.”
”Bukan bermaksud kasar, Bu. Tapi percayalah pada Rahman. Kan, di kota juga Rahman bawa handphone. Ibu juga ada handphone, kan, kita masih bisa saling berkabar Bu. Dari kemarin masalahnya ini terus; berulang kali, berulang kali, berulang kali. Biarkan Rahman nyoba ke kota sekali aja, Bu. Kalau seumpama di sana memang keras seperti yang Ibu bilang dan Rahman enggak kuat. Rahman bakal pulang, kok.” Sejenak Rahman terdiam seolah memikirkan suatu hal.
”Coba dipikirkan lagi.” Bujuk Bu Sahati ke Rahman.
”Keputusan Rahman sudah bulat.”
”Ibu khawatir.”
”Tak perlu khawatir, Bu.”
”Bapakmu juga pernah bilang begitu.”
”Dan kalaupun Rahman meninggal di sana. Pasti akan ada ambulans yang mengirim mayat Rahman ke desa. Dan Ibu bisa memakamkan Rahman di halaman atau di dalam kamar seperti tradisi di desa ini jauh dua puluh lima tahun lalu. Jadi, Rahman akan selalu di dekat ibu tanpa ibu perlu jauh-jauh ke TPU.”
”Mulutmu dijaga. Tradisi terjadi karena keadaan. Bukan keinginan dari orang-orang. Dan kata-katamu itu keterlaluan.”
”Sudahlah, kalau bahas ini terus enggak selesai-selesai. Rahman berangkat dulu Bu. Kunci motornya di mana? Di kamar ibu, kan? Rahman ambil, ya.”
”Ibu aja yang ambil. Tunggu di sini.”
”Aku ambil sendiri aja. Masuk kamar ibu enggak pernah boleh melulu.”
”Karena enggak elok.”
”Terserah Ibulah.”
Baca juga: Guru Mud
Setelah menerima kunci motor dan menyaut tas, Rahman bergegas mengendarai motor bebek peninggalan bapaknya yang sudah bondol tanpa spakbor dan velg. Bu Sahati melihat kepergian anaknya menuju kota dari ambang pintu. Ditatapnya Rahman yang sudah jauh melesat. Perpisahan mereka terkesan sangat masam. Sulit untuk dilupakan, tapi tak seharusnya mereka lakukan.
Saat itu adalah masa di mana para pemuda begitu beringas-beringasnya mencari kerja di luar kota dan Rahman adalah salah satu dari para pemuda itu. Mereka akan mencari kerja di pabrik, laut, atau perkebunan di luar pulau demi peruntungan lebih besar dibandingkan mengandalkan kerja seadanya di desa mereka. Semua itu juga demi keluarga, walau pada akhirnya banyak yang harus beradu mulut terlebih dahulu meninggalkan orang tercinta mereka yang tidak rela ditinggalkan begitu saja.
***
Hari-hari berlalu begitu saja bagi Bu Sahati di rumahnya dan Rahman di kota bekerja sebagai buruh pabrik seperti yang diinginkannya. Rencana untuk saling mengabari menjadi tak berarti ketika sinyal profider GSM handphone kurang memadai, masih untung jika telepon tersambung dengan suara terputus, lebih sering telepon tak dapat tersambung sama sekali. Bu Sahati hanya dapat meluapkan seluruh rindunya melalui Rani di belakang rumahnya atau mengirim SMS ke Rahman dengan balasan yang lama pula, seperti tak ada beda di zaman surat-menyurat pada masa kolonial Belanda.
Rahman pun seperti menghianati janjinya sendiri. Tak ada kabar kepulangannya, sia-sia Bu Sahati menunggu kepulangannya pada minggu pertama bahkan sampai minggu-minggu seterusnya. Bekerja di pabrik kadang berubah-ubah shift kerjanya, dan uang lembur yang menggiurkan membuat Rahman lebih giat bekerja berlama-lama di sana.
Pada suatu pagi sepi, Bu Sahati membuka warung dengan terpaksa karena belum jamnya buka. Hal tersebut dilakukan karena ada tetangganya yang mengetuk pintu dengan tak sabar sambil berteriak-teriak ingin membeli telur. Bu Sahati menuruti permintaan tetangganya karena segan dan juga demi keuntungan. Segan akibat tetangga tersebut adalah Bu Lurah dan keuntungan karena biasanya Bu Lurah berbelanja banyak di warung.
Tapi sepertinya tidak untuk kali ini, Bu Lurah hanya membeli telur setengah kilo. Bu Lurah membeli telur hanya untuk berdalih membicarakan soal Rahman dan ingin membandingkan dengan anaknya. Akhirnya, selain melayani pembelian telur setengah kilo, Bu Sahati pun melayani obrolan ke sana-kemari Bu Lurah.
Bu Lurah bercuap-cuap soal anaknya yang pemalas dan tak mau pergi ke luar kota. Tapi dia bersyukur karena anaknya masih mau disuruh bekerja di kelurahan juga. Bu Sahati hanya bisa mengiyakan setiap kata Bu Lurah dan berharap bahwa Rahman pun harusnya memiliki kesempatan yang sama untuk tetap bekerja di desa dengan pekerjaan bagus seperti anak Bu Lurah.
Setelah percakapan melelahkan itu menguap dan menghabiskan setiap kata pada mulut Bu Lurah, Bu Sahati kembali ke tempat Rani. Di bawah rindangnya pohon talok itu, Bu Sahati membuka catatannya kembali. Menggambar gaun untuk gadis kecil serta pita dengan berbagai macam bentuk sambil kesal dan semakin kepikiran soal Rahman.
Malam telah merayap sampai ke pekarangan rumah. Tapi, Bu Sahati masih berada di dekat Rani. Selain ngobrol dengan Rani, Bu Sahati pun kerap mengaji di bawah pohon itu. Seperti dulu saat pertama kali mengajari Rahman mengaji pun begitu, hingga saat ini kebiasaannya mengaji di bawah Rani selalu dilakoni.
Pikiran Bu Sahati semakin hari semakin ke mana-mana. Rahman yang bekerja kepayahan di kota juga tak segera memikirkan ibunya. Keduanya saling merasa khawatir. Kekhawatiran mereka berdua lebih menjadi-jadi ketika teringat bagaimana perpisahan mereka yang sekecut cuka lantai. Bu Sahati jadi sulit tidur di setiap malamnya, tekanan darah menjadi naik, terkena serangan mual dan muntah. Saking seringnya muntah-muntah, Bu Sahati terlihat pucat bak orang dehidrasi, atau mungkin sudah mengalami gejala dehidrasi.
Hari-hari berlalu dengan perasaan mengganjal bagi Rahman. Dia akhirnya memutuskan untuk pulang setelah mendapat dua puluh tujuh panggilan tak terjawab dari ibu dalam kurun waktu tiga hari lalu. Sebuah tanda untuk pulang baginya, tanpa menelepon balik, pada sore akhir pekan itu juga Rahman bergegas pulang untuk memberikan kejutan.
Dia berharap, saat pulang nanti akan dapat membuat ibunya senang dengan banyaknya uang yang telah dia bawa dari hasil kerja dan lemburannya. Sepanjang jalan menuju rumah, Rahman melesat cepat, lebih cepat dari lari macan yang mengejar kijang buruannya.
Petang dan hampir tengah malam, sampailah Rahman di rumahnya. Di depan rumah telah terpasang tratak dan terlihat beberapa kendi serta sebuah kotak amal. Dia menyandarkan motor butut bapaknya. Dicarinya ibu ke seluruh penjuru rumah tapi tak ada. Hanya keramaian orang membaca yasin. Dari pintu belakang, dia melihat seorang wanita duduk di bawah talok. Rahman tersenyum dan menghampirinya. Dia berteriak sambil berlari, ”Bu, Rahman pulang.”
Rahman menolak prasangka dan kesadarannya. Dia menganggap ini adalah perayaan tahlil untuk bapaknya yang mati di tengah laut entah untuk yang keberapa tahun, karena ada tahlil satu hari, satu minggu, seratus hari, bahkan seribu hari kematian bapak yang mayatnya tak pernah sampai rumah telah berlalu bertahun-tehun lalu. Dan anggapan Rahman memang salah belaka. Wanita yang duduk di pohon talok bernama Rani adalah Bu Lurah. Rahman menjadi lunglai lalu pingsan sebelum Bu Lurah memarahinya habis-habisan karena tak mengangkat telepon dari handphone ibunya, padahal Bu Sahati saat itu telah dikuburkan di TPU setempat.
Baca juga: Drs. Mandaram
***
Empat kilometer lebih Rahman berjalan dari TPU menuju rumahnya. Matanya merah menyala akibat terkurasnya air mata, jalannya jadi gontai tak setegap pemuda pada umumnya. Pandangannya kosong entah ke mana fokus yang ditujunya.
Selama dua hari pula, dia menyediakan tahlilan untuk ibunya, ikut berdoa dan membaca Yasin bersama tetangga-tetangganya, tapi tak ikut menyantap setiap makanan yang telah disajikan. Dan selama dua hari berturut-turut pula Rahman selalu bermalam di makam ibunya, berlantaikan tanah basah akibat embun, semut rangrang yang keluar dari tanah karena hawa panas, dan desing tiupan angin dari sela pohon beringin. Dan sekarang pada hari ketiga, waktu matahari sudah agak congkak dan mulai meninggi, setelah perjalanan kaki agak melelahkan, Rahman menemui Rani.
Rahman memandang nanar pohon talok di depan mukanya. Baginya, Rani ini tak ada apa-apanya selain pohon-pohon pada umumnya. Rani tak dapat berbicara, tak dapat mendengar pula, bahkan tak dapat memberikan jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan Rahman tentang kepergian ibunya. Rahman mengutuk pohon itu habis-habisan, dia kesal akibat tak ada secuil keajaiban pun yang dapat Rani berikan untuk ibunya. Cemburu membakar nalar Rahman, pohon yang selama ini dibela-bela oleh ibunya tetap diam saja, bahkan menangis pun tidak.
Kekesalan memantik tidakan tak rasional, Rahman memukuli Rani sampai tangannya berdarah-darah. Selain darah yang menetes pada sobekan luka, matanya pun mulai meneteskan air mata. Adrenalin makin meninggi, rasa sakit bukan lagi soal bagi Rahman. Dia pergi ke warungnya, mencari golok, berlari kembali ke Rani dengan tergopoh-gopoh lalu menebangnya sampai rubuh.
Rani telah tumbang, ranting sudah dirapikan, bahkan batang telah dipotong sedemikian rupa seukuran potongan-potongan kayu bakar pada umumnya. Rahman dengan sadar merapikan seluruh daun yang berguguran, mengikat ranting satu sama lain, menumpuk kayu-kayu batang yang telah dipotong di pojokan belakang rumah. Karena lelah, Rahman tertidur, tidur pada kasur ibunya, di kamar ibu yang selama ini tak boleh siapa pun memasukinya.
Perih pada luka sobek pada tangan Rahman membuatnya terbangun, adrenalin telah habis dan tak dapat lagi menyembunyikan rasa sakit. Pukul empat sore sebelum Rahman harus mempersiapkan tahlilan, pertama-tama dia harus merapikan dulu dirinya. Dia mandi seperti biasa, mencari baju koko sepantasnya, tak lupa mencari obat merah atau perban untuk menyembuhkan luka. Rahman mencoba mencari obat merah serta perban di kamar ibu.
Dia mencoba mencari obat merah serta perban di permukaan meja bahkan membuka semua lacinya. Karena benda-benda yang dibutuhkannya tidak ada, Rahman memutuskan untuk mengambil yang di warung saja. Tapi sebelum itu, dia masih mencoba mengecek lemari ibunya. Hanya pakaian di sana, lalu di laci lemari berisi surat-surat berharga.
Karena nostalgia, Rahman mencoba membongkar laci lemari ibunya. Terdapat ijazah milik Rahman, sertifikat-sertifikat, foto masa kecil dan foto keluarga. Agak aneh saat Rahman menemukan foto kedua orang tuanya menggendong seorang bayi, tapi itu bukan dia, karena bayi itu perempuan.
Rahman menggali lebih dalam laci tersebut dan di bawah akta kelahirannya masih terdapat akta kelahiran lain. Akta tersebut bertuliskan ”Maharani Eka Putri”, anak pertama Bu Sahati dan bapak yang meninggal saat masih bayi karena sulitnya akses menuju pos kesehatan atau RSUD. Rani dikuburkan di belakang rumah keluarga Bu Sahati yang nantinya akan ditumbuhi pohon talok di atas makamnya.
Rahman terduduk lemas, termenung diam, tersenyum pasrah mengetahui rahasia ibu yang sulit untuk diterimanya bahkan sampai Rahman menua.
Arif Billah,
Sabtu, 24/12/2022.