Mati Bersama
Sebelum melompat ke laut, Rikuko melipat kimono berharganya dan sebuah surat yang ditujukan kepada Yuki. Saat Rikuko ditanya mengapa memilih mati, dia hanya menjawab jenuh dengan hidup.

Suara ”kouta” seorang ”geisha” sembari memetik ”shamisen” terdengar jelas di kamar lantai dua itu. Nyanyiannya merdu; tarikan kata-kata pada liriknya terdengar bening dan jelas. Petikan ”shamisen” berpadu baik dengan lagu itu. Serupa riak-riak halus di tengah kolam ikan, suara-suara yang menjeda sesaat pada lirik dan petikan ”shamisen” menyatu dalam keselarasan.
Rikuko si geisha baru pulang dari Manchuria setelah Jepang menarik mundur pasukan. Tahun-tahun muram dalam gelung perang menjadikan negeri itu dipenuhi orang miskin. Perempuan-perempuan di desa jadi penghibur untuk menghidupi diri; tak terkecuali Rikuko. Dia datang ke Tokyo, menetap di Shinagawa dan bergabung dengan rumah geisha Shoji. Dan sekarang dia tengah berasyik mesra dengan seorang lelaki muda yang usianya terpaut lima tahun dengannya. Kecantikan geisha tentu akan luntur seiring waktu, dengan itu dia memuas-muaskan diri untuk menjalin asmara dengan lelaki yang diidamkannya.
Namun, Yuki adalah lelaki dingin. Ini tahun keempat belasnya berada di rumah Jindai tempat masternya mendidik dirinya untuk menjadi rakugoka mumpuni. Seni bercerita ini sempat dilarang pemerintah menampilkan cerita-cerita erotis pada masa-masa perang beberapa tahun lalu. Namun, kini rakugo kembali tumbuh, siap menghibur orang-orang dan materi cerita erotis tidak lagi dilarang. Yuki yang suaranya tipis dan tampak kemayu saking tampannya dia, tidak begitu menguasai cara bercerita dengan mengandalkan suara tegas dan gimik kuat seperti teman- teman seperguruannya di Jindai. Orang-orang mengaguminya karena dia tampan semata.
”Kau sudah bagus membawakan cerita. Kenapa tak puas?” Rikuko bertanya sambil membelai wajah rupawan Yuki.
Mata Yuki mengarah lurus ke kisi jendela yang menampilkan sepotong awan dan pohon kusu no ki dua ratus tahun menjulang begitu besar di tengah perumahan para penghibur itu.
”Ada yang kurang dalam diriku. Orang-orang tak semangat kalau aku tampil.”
”Kau terlalu berprasangka. Orang-orang tetap saja datang menonton rakugo-mu.”
”Tapi mereka tak bertepuk tangan.”
”Mereka melakukannya, kok!”
”Sedikit yang dapat kutangkap.”
”Tapi mereka melakukannya.”
Bahkan, elusan dan rayuan Rikuko tak dapat mencairkan hati Yuki yang telah membeku. Tak betah di kamar itu, dia pun beranjak dan mengambil mantel serta topi di sangkutan. Rikuko hanya dapat menatap punggung Yuki.
”Kau mau pulang sekarang?”
”Ya.”
***
Taiko berdentum berkali-kali. Para penonton masih bersuara sampai mereka dapat duduk tenang. Di panggung berlatar layar lukisan pohon, dua lilin panjang dinyalakan. Saat Yuki berjalan ke panggung, sorak-sorai penonton membahana. Yuki kini rakugoka tingkat futatsume setelah bertahun-tahun menjadi zenza. Cara berceritanya lembut dan cerita yang akan dibawakannya kali ini sesuai dengan musim dingin saat ini.
Yuki akan membawakan cerita Shinigami. Kisah seorang lelaki yang didatangi dewa kematian dan menyuruhnya menyalakan lilin-lilin dan menjaga agar tetap nyala kalau tidak ingin mati. Cerita ini sangat menakutkan. Orang-orang tua yang mendengar Yuki bercerita sesekali berteriak, terperanjat, dan menjerit. Cara berceritanya meyakinkan. Rikuko yang menonton kekasihnya tampil ikut senang alih-alih takut. Setiap kali Yuki bercerita, memainkan gimik, tingkah tokoh-tokoh di tengah panggung bagi Rikuko terasa menakjubkan dan memesona. Karena itulah dia jatuh cinta padanya.
Yuki menegakkan sensu di tangan kiri dan tangan kanannya setengah menutupi seolah-olah itu lilin yang harus dijaga nyalanya. Penonton ikut merasa terbebani dengan nyala lilin imajinatif yang mesti dijaga agar tetap nyala.
Kisah Shinigami berakhir dengan kematian si penjaga lilin karena api diembus angin. Orang itu dibawa ke neraka oleh dewa kematian.
***
”Penampilan yang menakjubkan. Aku masih takut saat ini,” kata Rikuko, setengah bohong.
Meski dipuji kekasihnya, Yuki bergeming. Ditatapnya langit malam dan embusan napasnya tampak jelas menghambur saking dinginnya suhu.
”Kau akan mampir ke tempatku, kan?”
”Aku langsung pulang saja.”
Rikuko menggayuti lengan kekasihnya. ”Ayolah....”
Dengan kasar Yuki mengenyahkan tangan-tangan Rikuko.
”Di sini dingin, aku ingin lekas tidur di rumahku.”
Rikuko tak menyerah. ”Aku bisa menghangatkan dirimu. Ya, ayo ke tempatku.”
Namun, Yuki berpaling, melambai, dan menodongkan punggungnya yang lebar ke hadapan Rikuko. Perempuan itu terluka karena penolakan ini.
Rikuko meminta izin ke indung semang tak melayani tamu malam itu. Sepanjang malam dia menangis. Dia memikirkan masa lalunya. Bagaimana semua pria berlaku keji padanya. Setelah tak dibutuhkan langsung dibuang.
”Hidup ini menjemukan,” embusnya keluar jendela.
Esoknya Rikuko sudah berniat ingin mengakhiri hidup.
***
Karena kekasihnya tak mau diajak bunuh diri bersama, Rikuko yang sedih memikirkan kemungkinan terbaik mengakhiri hidup. Yuki lebih memilih jadi penghibur ketimbang cinta. Rikuko sudah berkali-kali sadar, kekasihnya ini dingin dan ajakan semacam itu tak akan digubris. Namun, Rikuko telah mengucapkannya dan ditolak. Sekarang dia hanya memiliki sedikit waktu. Maka, dia mulai memilih salah satu pelanggan tetapnya.
Mengajak bos mafia tak mungkin sebab status mereka bagai bumi dan langit. Induk semangnya akan membunuhnya duluan kalau dia mendengar dirinya mengajak mati seorang bos mafia. Mengajak pedagang kain culas penyuka sake yang sering datang ke Shoji juga tidak mungkin. Dari pandangan Rikuko selama ini, orang itu tak pernah bersedih; pesta pora selalu ada dalam benaknya dan tawanya yang mengguncang itu tanda hidup yang berlimpah walau zaman serba susah. Satu-satunya yang mungkin mau dia ajak mati bersama cuma Si Tukang Menangis yang sering datang dan berutang di Shoji.
Si Tukang Menangis ditinggal istrinya karena malas bekerja dan hanya mabuk-mabukan. Rikuko beranggapan lelaki itu tampan, tetapi karena sering menangis wajahnya kuyu permanen dan tak menampakkan semangat hidup. Dalam keadaan mabuk minuman, dia akan menangis dan mulai mengeluh sampai ditendang keluar induk semang Shoji. Itu pun tak membikinnya kapok. Dia akan tetap datang dan selalu Rikuko dengan sabar melayaninya.
Kalau mengajak mati Si Tukang Menangis, mereka akan sama-sama untung. Rikuko mati karena jengah dengan hidupnya dan patah hati setelah Yuki lebih memilih rakugo; sedangkan Si Tukang Menangis dengan hidup amburadul bakal terbebas dari sengsara selama ini.
Si Tukang Menangis muncul di Shoji. Sebelum dia menangis, Rikuko sudah menodongnya.
”Kau selalu sedih tiap kali datang kemari. Apa kau mau mati bersamaku?”Si Tukang Menangis terkejut tentu saja.
”Apa maksudmu?”
”Mati bersamaku. Bagaimana?”
Si Tukang Menangis tak segera menjawab. Rikuko melanjutkan.
”Kita berangkat besok sebelum itu aku harus ke apotek membeli obat tidur.”
Si Tukang Menangis seketika mengangguk lemah. Entah bagaimana dia gampang menyetujuinya. Dia akan menemani Rikuko. Namun, sepanjang jalan pulang dia merasa telah berbuat kesalahan. Dan semalaman Si Tukang Menangis memikirkan kematian yang akan dia hadapi.
***
Sebelum melompat ke laut, Rikuko melipat kimono berharganya dan sebuah surat yang ditujukan kepada Yuki. Lelaki itu tidak akan membacanya tentu saja. Saat Rikuko ditanya mengapa memilih mati, dia hanya menjawab jenuh dengan hidup. Pekerjaan sebagai gadis panggilan dan penghibur telah meruntuhkan dirinya dan menggerus apa yang ada dalam hatinya. Ini tak diterangkan hingga jauh kepada Yuki. Lelaki itu menolak dengan dingin tanpa bertanya lebih jauh lagi.
”Lakukan yang menurutmu terbaik,” ucapnya waktu itu.
Rikuko menangis begitu lama, tapi zaman yang keras telah bosan menerima air mata. Begitu juga perasaan manusia. Tak ada guna.
Rikuko bersiap melompat.
”Susul aku nanti, ya.”
Si Tukang Menangis hanya mengangguk. Matanya mendelik, keringat dingin bermunculan di keningnya. Dia menatap perempuan dengan tekad kuat itu.
Setelah Rikuko melompat, Si Tukang Menangis mencari tubuhnya di permukaan air. Namun, perempuan itu tidak tampak, tergilas ombak dan gelap malam.
Ditampakkan kematian begitu nyalang, tentu nyali Si Tukang Menangis ciut. Lebih baik hidup sengsara ketimbang mati. Mati itu menyakitkan, pikirnya.
Maka dia pun berbalik, mengemasi kimono Rikuko dan pulang.
Esoknya dia menggadaikan kimono itu untuk minum-minum. Dan radio menyiarkan berita kematian seorang perempuan yang menenggelamkan diri ke laut. Orang-orang tempat minum tak tahu itu Rikuko, salah satu geisha cantik Shoji. Dan tak ada yang tahu bahwa Si Tukang Menangis diajak mengakhiri hidup.
Si Tukang Menangis keluar dari kedai minum, sempoyongan dan melantunkan dodoitsu yang tak berarti apa-apa. Tak ada penyesalan dalam dirinya.
Namun, pada malam hari, dalam keadaan mabuk berat, saat tertidur di bawah selimut hangat, Si Tukang Menangis terperenyak bangun. Keringat membasahi tubuhnya. Lilin ruang kamar padam seketika. Dan wajah seorang perempuan menampakkan diri tepat di hadapan.
Dia pun memejamkan mata penuh ketakutan, dan bergumam.
”Namu Amida Butsu...Namu Amida Butsu...Namu Amida Butsu...”
Dirasa sudah aman, Si Tukang Menangis berhenti. Namun, saat Si Tukang Menangis memicingkan mata untuk melihat apa perempuan itu sudah pergi, dia terkejut. Perempuan itu masih ada di sana. Senyata hari-hari lalu.
”Dewa kematian, jangan bawa diriku!” pekiknya.
Catatan
Rakugo: seni bercerita tradisional Jepang
Rakugoka: pencerita rakugo
Zenza: tingkatan awal rakugoka
Shinigami: dewa kematian dalam kepercayaan Jepang
Sensu: kipas lipat
Bagus Dwi Hananto, lahir di Kudus 31 Agustus 1992. Menulis prosa dan menerjemahkan. Novelnya yang sudah terbit berjudul Tokyo Red (2022). Terjemahannya antara lain: Seni Penyembuhan Diri Viktor E Frankl; Tempat Pulang novel Tahar Ben Jelloun; dan Hari-hari Penuh Warna karya Antonio Skarmeta.
Bambang Herras, lulusan ISI Yogyakarta tahun 1994. Sejak kuliah sudah aktif dalam berbagai banyak kegiatan seni rupa, baik pameran kelompok maupun tunggal. Selain aktif dalam pameran yang bersifat pribadi, juga aktif membantu membuatkan event pameran teman-teman perupa yang lain. Beberapa pameran yang diikuti pada 2002, antara lain Pameran Drawing Ambabar Gambar di ISI Yogyakarta, pameran bersama YAA #7 ’Flow’ di Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta dan pameran bersama pelukis Indonesia, Bridge of Colors di National Gallery, Thailand, Bangkok.