logo Kompas.id
Sastra"Gift"
Iklan

"Gift"

Malam itu, kami berdua sedang berbincang-bincang mengenai sekolahku hari itu. Aku bercerita dengan semangat yang membara, tetapi ia malah sibuk dengan kegiatannya sendiri tanpa mau melihat diriku bercerita.

Oleh
Tesalonika Taroreh
· 8 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/CjJrkZP2Bj7tKmSoHEHBHVEmIx0=/1024x1410/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F16%2F48c8f39a-00e6-48f1-8f17-54c2bc9f08ed_jpg.jpg

Pria tua dan miskin itu adalah ayahku. Kami hidup tinggal berdua, sejak ibu memutuskan untuk meninggalkan aku dan ayah ketika aku berumur 5 tahun karena tidak sanggup hidup miskin. Ia yang tidak tahan berkelahi setiap hari dengan ayah karena uang memilih mencari kehidupan baru di luar sana. Aku tidak tahu mengapa ayah membiarkan ibu pergi begitu saja, tanpa berusaha untuk mencari pekerjaan yang tetap guna memperbaiki keadaan ekonomi kami.Aku tidak menyukainya, karena dia orang yang gagal dan bodoh sehingga kehidupan kami tak sekaya temanku yang lain. Ayah bekerja serabutan setiap harinya, dan ia harus bekerja lebih keras dari pada semua ayah temanku. Di pagi hari, ia menjual koran dari rumah ke rumah, siang hari ia akan menyebar selebaran-selebaran yang bahkan akupun tak tahu apa isi selebaran itu. Kulihat ia menawari selebaran itu kepada semua orang yang lewat di persimpangan jalan. Beberapa orang mau mengambilnya, tetapi banyak juga mengacuhkan uluran tangan ayah. Pernah sekali aku melihat seorang pria mengambil selebaran itu, meremasnya lalu melemparkan kembali kepada ayah. Ayah hanya tersenyum kepada pria itu tanpa berniat untuk memarahinya bahkan memukulnya. Aku bingung mengapa ada orang seperti ayah di dunia ini. Sore hari ia akan berubah menjadi seorang badut. Ia akan berlatih melucu selama 30 menit di depan cermin. Setiap kali melihatnya berlatih di depan cermin aku selalu tertawa. Ia memang benar-benar lucu. Tetapi, aku tidak tahu ia tampil menjadi badut di mana, aku tidak pernah ikut pergi bersamanya. Walaupun ia selalu mengajak aku pergi, aku menolak dan memilih untuk tinggal di rumah. Ketika malam tiba, barulah aku bisa menikmati waktu yang ada bersamanya. Terkadang ia juga harus menjadi kuli yang membantu memasukkan barang-barang setiap orang yang belanja ke angkot.Malam itu, kami berdua sedang berbincang-bincang mengenai sekolahku hari itu. Aku bercerita dengan semangat yang membara, tetapi ia malah sibuk dengan kegiatannya sendiri tanpa mau melihat diriku bercerita. Kulihat ia sedang menulis sesuatu di secarik kertas berwarna pink. Aku mengambil kertas itu lalu membacanya “Engkau akan menjadi ORANG YANG BERGUNA! Percayalah!”. Aku tersenyum, lalu memandangnya dan mengatakan dalam hatiku bahwa aku pasti akan menjadi seperti itu kelak.“Hei, itu bukan untukmu,” katanya padaku lalu mengambil potongan kertas itu.Api semangat yang tadinya membara seketika padam setelah mendengar perkataannya itu. Perasaanku hancur, mengapa itu bukan untukku? Tanyaku pada dirinya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaanku.Dengan kesal aku masuk ke kamar dan memilih untuk tidak berbicara lagi dengannya. Mengapa ia menyemangati orang lain untuk menjadi orang yang berguna ketimbang aku sendiri sebagai anaknya. Kututup pintu kamar sekeras mungkin agar ia sadar bahwa aku ini anaknya bukan orang lain di luar sana. Dan seharusnya kertas itu ia berikan padaku. “Ah sudahlah, biarkan saja dia. Toh juga aku tidak menyukainya. Ia ayah yang gagal” kataku sembari melemparkan bantalku ke langit-langkit kamar yang hanya berjarak 1,5 meter di atasku. Aku berpikir dengan pintu yang tertutup keras membuat hatinya tergerak dan ia akan datang menghampiriku lalu memberikan kertas penyemangat itu padaku. Tapi nyatanya, ia tidak juga datang.Esok paginya, aku sudah siap untuk ke sekolah. Kulihat ia masih tertidur pulas di sofa ruang tamu dengan buku di tangannya. Kuambil buku itu dan melemparkannya pada meja. Mendengar bunyi buku yang kulempar pada meja, seketika ia langsung bangun.“Kita terlambat untuk ke sekolah,” kataku dengan nada sedikit kesal.Ia meminta maaf, lalu dengan buru-buru ia bersiap untuk mengantarku. Saat di sekolah, guru menyuruh kami menuliskan siapa yang menjadi sumber inspirasi dalam hidup kami. Semua temanku menjadikan ayah atau ibu mereka menjadi sumber insipirasi. Aku memilih untuk tidak menuliskan nama siapa-siapa pada bukuku sebagai sumber insipirasiku. Aku tidak pernah menjadikan ayah sebagai sumber inspirasiku dalam menjalani hidup. Ia bodoh dan miskin. Aku tidak menyukainya karena hal itu. Di sekolah, aku termasuk anak yang cerdas. Itu membuatku percaya diri bahwa aku akan menjadi orang yang berguna dan kaya nantinya.Selepas ia bekerja, ia akan menghitung uang yang ia hasilkan dalam sehari. Kami berdua akan duduk di meja makan, ia menghitung uang dan aku belajar.“Ini uang sakumu, dan aku sudah melebihkannya sedikit,” katanya sembari memberikan uang padakuDengan tersenyum aku menerima uang itu. Tapi, seketika ia langsung mengeluarkan celengan dan menyuruhku untuk memasukkan uang itu dalam celengan. Aku sedikit kesal, bagaimana tidak, baru saja aku mendapatkan uang lebih dan sekarang aku diminta untuk menyimpannya dalam celengan. Hari itu, aku berniat untuk tidak menyimpan seperser pun uangku untuk ditabung, tetapi ia mengambilnya dari tanganku lalu memasukannya. Karena kesal, aku berani bertanya mengapa kami tidak pernah kaya. Dengan senyuman, ia menjawab bahwa “menjadi kaya bukan tentang berapa banyak yang kamu punya, namun berapa banyak yang kamu beri. Saat kamu memberi, kamu akan merasa lebih bahagia.”Tetapi menurutku, memberi itu bukan menjadikan aku bahagia, tetapi itulah yang membuat kami tidak pernah kaya. Aku tidak pernah bahagia ketika memberi, mengapa harus memberi kalau mereka bisa mencarinya sendiri. Terkadang aku tidak mengerti alur hidup ini.Sejak saat itu, kuputuskan untuk belajar sekeras mungkin, agar kelak aku akan menjadi orang yang sukses dan memiliki banyak uang. Aku tidak ingin hidupku di masa depan sama seperti ayahku. Ketika aku duduk di bangku SMA, aku memutuskan untuk mendaftarkan diriku di berbagai universitas yang menawarkan beasiswa. Aku bertekad untuk mencari kehidupanku sendiri daripada mengandalkan seorang ayah yang tidak berguna sama sekali.

#---This is Caption---#
SUPRIYANTO

#---This is Caption---#

Editor:
MARIA SUSY BERINDRA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000