Bangkai Anjing
Nikus memang belum pernah melihat peluru terbang, apalagi menghitung kecepatannya. Namun, ia sempat mendengar cerita bahwa dulu peluru-peluru itulah yang menghanguskan salah satu kampung di tanah bagian timur.

-
Setelah hujan seminggu berhenti, Nikus keluar dari rumahnya dan pergi ke ladang untuk menguburkan sebongkah bangkai anjing. Itu adalah hari yang basah, tanaman-tanaman berbunga, dan hewan piaraan menepi di sekitar pondok tuannya. Angin terbang sedingin es lalu pecah, dan bulir-bulirnya menjalari perkampungan yang sepi seperti perahu mati. Di kampung hanya terlihat lelaki itu. Ia mondar-mandir di pekarangan belakang rumah, kemudian bergerak ke arah jalan setapak. Punggungnya memanggul karung dan tangkai pacul.
Anjing itu bertinggung dekat tumpukan kayu gaharu. Ia mendenguskan hidung dan menjulurkan lidah seolah mencari lalat putih atau anai-anai. Tetapi bilah-bilah kayu itu lembab sekali. Lidahnya pun ditarik kembali dan sebentar kemudian tenggorokannya berderit. Tepat ketika anjing itu melenguh, Nikus muncul dengan tangan membawa tempurung.
”Helmus,” ia memanggilnya.
Binatang itu mendekat. Bulu-bulunya mengibaskan embun, membentuk buih-buih. Ia menungkai kakinya di paha Nikus bagaikan bocah kecil menghormati patung kudus. Lelaki itu meletakkan tempurung di tanah; anjing itu menurunkan kakinya. Aroma ubi keladi terendus dari dalam isi tempurung.
Sementara anjing itu melahap ubi keladi, Nikus beranjak kembali ke dapur. Ia mengambil ubi seketul, memindahkannya dari tangan yang satu ke tangan yang lain, lalu meniup hingga desis uap lenyap. Ia memasukkan ubi ke mulutnya dan mengunyahnya lambat-lambat. Bola matanya awas pada tingkah anjing tersebut.
Nikus mendengar kabar dari mulut Oom Piduk tentang penyingkiran anjing-anjing. Ia singgah di kios Oom Piduk minggu lalu untuk membeli tembakau sesaat sebelum hujan turun menggelayuti kampung. Ia datang ke kios itu bersama anjingnya, Helmus.
”Jaga piaraanmu itu baik-baik,” berkata Oom Piduk seraya melinting bako dan melihat si Helmus.
”Memangnya kenapa?” Nikus bertanya buncah. Ia mengusap telinga anjingnya.
”Oe, kau belum dengar, kah? Anjing-anjing itu mau segera dibasmi.”
”Kurang ajar!” lelaki itu terkejut. ”Siapa yang beri tahu begitu?”
”Pamong desa tadi pagi ketika bertandang ke sini,” bisik Oom Piduk kecil.
Setelah menolak tawaran Oom Piduk atas anjingnya, Nikus segera bergegas ke rumah pamong desa. Ia berteman baik dengan pamong itu. Mereka sering berburu dan mabuk bersama sehingga tidak mungkin orang tersebut menyembunyikan informasi yang buruk. Nikus hendak memastikan kabar agar tidak keliru sangka. Kalaupun kabar itu benar, risiko apa pun bakal ia tanggung.
Namun, saat ia dan anjingnya melewati deker, tiba-tiba matanya mengeker ke truk hijau yang parkir di sekitar pohon jeruk, tidak jauh dari rumah pamong desa. Nikus mengucek matanya tiga kali, memperhatikan baik-baik truk itu. Seketika dadanya bergemuruh. Ia lalu berbalik badan, menaikkan anjingnya ke bahu, dan berbelok ke jalan pintas dengan langkah buru-buru. Oom Piduk tidak salah omong. Ia telah melihat kendaraan tentara.
Terengah-engah Nikus tiba di rumahnya, sementara di luar awan gelap perlahan menggantikan langit terang. Nikus menyorongkan kepala lewat jendela. Rongga hidungnya menyaring angin dingin seakan meminta petunjuk sebelum hujan turun. Ia lalu menyekat jendela. Tetapi jendela bergetar oleh gelegar guntur dan membuat anjingnya gemetar dan liurnya tercucur hingga ke telapak kaki lelaki itu. Nikus mengabaikan piaraannya. Ia berjalan ke belakang rumah dan menutup pintu. Di atas atap, air hujan telah mengetuk.
Mereka berdua sendirian di rumah berdinding halar itu. Helmus adalah satu-satunya peninggalan orangtua Nikus, selain gubuk tersebut dan peralatan berburu. Sepanjang hidupnya Nikus tumbuh besar bersama anjing itu. Kampung ini sungguh mengeramatkan anjing, begitu bapaknya bertutur sebelum meninggal. Seekor anjing mati, seisi kampung bersedih sampai musim berganti. Dan Nikus pun berjanji untuk menjaga anjingnya, meski kini musim-musim tidak lagi sama dan piaraan itu mungkin akan binasa. Hujan kian menghajar sebesar cakar raksasa. Keduanya mulai kedinginan.
Itu adalah hujan seminggu di antara angin kemarau sejak bulan lalu. Orang-orang kampung mengunci rumah rapat-rapat dan menyalakan pelita minyak damar yang bersinar terang benderang. Tidak seorang pun yang tampak lalu lalang. Mereka hanya bersimpuh menghangatkan badan dan menebak-nebak kenapa hujan mendadak datang bak air bah. Kilatan pertanyaan menyala pada wajah-wajah di sekitar tungku api. Pertanyaan dan jawaban pun bergelinding. Mulanya dari pondok sendiri, kemudian bergerak ke rumah tetangga waktu hujan sedikit reda, dan dua hari sebelum hujan sungguh berhenti, tiba pula di tempat tinggal Nikus.
”Semuanya dari mulut Oom Piduk,” seorang tetangga yang datang meminta bara mulai sesumbar.
”Pedagang itu yang menurunkan hujan?” Nikus bertanya.
”Bukan, tapi kabar pembantaian anjing-anjing.”
”Iya, saya juga dengar dari dia. Malapetaka akan melanda kampung,” Nikus mengerutkan dahi.
”Hanya saja kita bisa memikirkan cara,” timpal tetangga itu.
Tetapi begitu Nikus hendak menyambung percakapan tersebut, gerimis seketika berganti gemuruh. Langit memacakkan petir tunggal dan orang yang bertandang itu segera pamit pulang. Nikus hendak mengajukan pertanyaan, apakah tetangganya itu melihat juga truk tentara beberapa hari lalu, atau mendengar deru mesinnya. Apakah anjing-anjing itu bakal ditangkap terlebih dahulu baru kemudian dibasmi? Lalu, sudah di manakah jejak kendaraan berstempelkan muka presiden itu?
Sebab Nikus tidak perlu bertanya-tanya lagi. Sesaat setelah hujan kembali tumpah tanpa ampun, mulailah terdengar raungan anjing-anjing searah ujung kampung. Itu bukan lolongan biasa. Para anjing seperti menangis dan suara mereka beriringan dengan gelongsor peluru dan bunyi penggorok. Nikus memasang telinga lebar-lebar. Amapu Reta Seu. Ia menelan ludah. Lidahnya terasa kelu. Operasi tentara pasti sudah terlaksana, pikirnya tiba-tiba.
Namun, kenapa ia bisa mendengar suara-suara itu di tengah hujan yang kian membesar. Ia melihat ke arah Helmus. Piaraan itu hanya diam belaka dan sibuk memagut-maguti malor pada tiang berair. Nikus merasa heran pada anjing itu. Tidak biasanya ia mengancing mulut apabila teman-temannya melolong. Tidak mungkin pula ia sengaja menutup telinga. Tidak bisa kita berpura-pura sembunyi, laju peluru itu lebih cepat dari udara, Nikus menatapnya dalam-dalam.
Nikus memang belum pernah melihat peluru terbang, apalagi menghitung kecepatannya. Namun, ia sempat mendengar cerita bahwa dulu peluru-peluru itulah yang menghanguskan salah satu kampung di tanah bagian timur. Orang-orangnya mati mengenaskan, beberapanya hilang tanpa jejak. Peluru-peluru itu, bahkan, mengejar mereka hingga ke puncak gunung: menghabisi siapa pun yang dianggap pembangkang. Nikus merasa takut tiap kali mengingat kisah tersebut. Bau yang lebih busuk dari belerang seakan-akan menyumbat saung hidungnya.
Usai perut menjeluak dan ia melontarkan muntah, Nikus tidak mendengar lagi bebunyian itu, kecuali air hujan. Ia memperhatikan anjingnya. Binatang itu merangkak ke pojok belakang, membaui sebentar perkakas yang baru keluar tadi. Tidak ditemukan ketakutan padanya: anjing itu pun lanjut berbaring.
Memang, tidak ada lagi tanda-tanda aneh pada sore itu. Malam harinya, ketika hujan sejenak berhenti dan jangkrik berderik, mereka berdua telah tertidur lelap: Nikus di atas dipan dan Helmus di kolongnya. Nikus tidak sempat menyalakan lampu. Rumah itu gelap sekali di antara perkampungan sunyi yang terus menyala. Itu adalah malam yang sepi dan panjang. Itu adalah malam yang panjang sekaligus mencekam.
Pagi-pagi sekali, ibarat hantu pohon kelapa, si tetangga kembali datang berkunjung. Nikus tengah menjerang air, sementara anjingnya menelengkan kepala di atas karung ilalang.
”Nikus! Nikus!” berkata orang itu.
”Bagaimana?” Nikus bertanya singkat, dengan mata yang belum melek betul.
”Semuanya mulai hari ini. Pembasmian anjing-anjing itu.”
Nikus menjentikkan tahi matanya dan menyuruh lelaki bertubuh ceking itu merebahkan pantat.
”Saya pikir, sejak kemarin sore,” ia berkata pelan.
”Kemarin itu peringatan. Hari ini, penghabisan,” tetangganya berujar lebih pelan.
”Tapi kau bilang, kita bisa memikirkan cara.”
”Tidak bisa lagi. Anjing-anjing itu akan habis. Kita pasti mati semua,” timpalnya, dan tak lama kemudian segera menghilang.
Sepeninggalan tetangga itu, Nikus melirik-lirik ke sekitaran rumah. Ia mengelanakan mata dan telinganya bekerja dan berusaha menangkap berbagai gejala yang barangkali timbulkan petaka. Namun, ia hanya menemukan dunia yang kosong, berbelit-belit dalam pikirannya yang mulai karut-marut.
Menyerupai ayam katarak, Nikus hanya duduk pasrah dan di luar perkampungan semakin sunyi senyap. Langit yang sedikit biru bertolak belakang dengan kalbu kelabu di rumah-rumah itu. Tidak ada lagi penduduk yang berkunjung diam-diam. Semuanya hanya berjaga-jaga. Sedikit pun suara, entah cicit burung atau gemerisik belukar, selalu membikin mereka khawatir. Namun, Nikus mesti segera beranjak dari rumahnya. Entah kenapa, ia merasa kesunyian itu begitu menyiksa dan maut bakal menyasar secara tiba-tiba. Maut tidak pernah mengenal waktu.
Keesokan harinya, saat matahari kembali membias di tengah angin yang masih dingin, Nikus pun meninggalkan rumah itu dan membawa anjingnya pergi ke ladang. Ia merebus ubi keladi terlebih dahulu seraya membiarkan piaraannya menghirup bau tanah, kemudian mereka makan bersama.
Itulah perjamuan terakhir keduanya. Sebab, Nikus tidak ingin melihat anjingnya mati di tangan tentara, dan ketakutan itu mesti dibereskan dengan caranya sendiri.
Maumere, 2022
Keterangan:
1.Bako: tembakau
2.Deker: gorong-gorong
3.Halar: bilah-bilah bambu
4.Amapu Reta Seu: Tuhan Allah di Surga
5. Malor: rayap
Elvan De Porres, lahir di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Nugrahardi Ramadhani alias Dhani Soenyoto lahir di Lawang tahun 1981. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini kini tengah kuliah doktoral dan mengajar di Institut Sepuluh Nopember Surabaya. Aktif menulis, berkesenian, dan menjadi juri di sejumlah kompetisi. Penghargaan yang dia terima antara lain Juara I Kompetisi Komik Indonesia Kemenparekraf tahun 2012 dan Juara I Lomba Logo Halal Is My Way oleh Halal Corner.