Tungku di Tubuh Ibu
Kau menyebut nama anakmu yang sebulan lalu memboyongku tinggal di samping rumahmu. Di matamu yang bulat telur itu, seperti ada kilap api yang meliuk-liuk. Api itu berwarna ungu kemerah-merahan.

Kau bilang tungku dapur itu setiap hari harus mengepul. Jika tak mengepul, maka rumah kita ibarat sebuah kuburan. Dan jika belum mau menjadi penghuni kuburan, maka kita harus memasak. Memasak apa saja asal bisa menciptakan asap dan aroma yang sedap.
Padahal aku tak bisa memasak dan tak suka memasak. Tapi demi melenyapkan kemuraman wajah yang kerap kau perlihatkan itu—sebelum dan selepas kerja, bahkan di saat tubuhku letih, lemah, dan tak bertenaga—kusempatkan untuk menyalakan kompor di dapur.
”Jangan mengeluh! Seburuk-buruknya istri adalah yang suka mengeluh, dan Risan tak suka perempuan yang suka mengeluh!”
Kau menyebut nama anakmu yang sebulan lalu memboyongku tinggal di samping rumahmu. Di matamu yang bulat telur itu, seperti ada kilap api yang meliuk-liuk. Api itu berwarna ungu kemerah-merahan. Jika aku menatapnya lama-lama, maka ia seolah-olah menghipnotisku; aku tak bisa membantah setiap perintahmu. Dengan meminjam kegesitan koki di hotel bintang lima, tanpa perdebatan yang berjuntai-juntai pula, aku segera menyingkap lembaran catatan resep yang beberapa hari lalu kusalin dari internet. Mencomot beberapa bumbu untuk diiris di atas talenan dan memotong-motong sawi juga tahu putih.
Sreng sreng sreng….
Irisan bawang dan cabai telah beradu dengan minyak panas di atas wajan. Aromanya menguar dan menerbitkan sepercik senyum ganjil di bibirmu.
”Seharusnya semua perempuan itu bisa memasak. Biar suaminya tak suka jajan. Selama ini Risan terbiasa mengunyah masakan rumahan. Ia benci suguhan warung yang berminyak dan bertaburan micin,” tambahmu dengan suara tegas.
Aku tak lantas menjawab perkataanmu. Meskipun di dalam hatiku bertebaran bara-bara beringsang yang telah lama bersemayam.
Padahal sebelum menikah, aku dan anakmu, Risan, kerap makan di warung masakan Padang, warteg, soto Makassar, soto Lamongan, bahkan pernah jauh-jauh pergi ke puncak hanya ingin memesan semangkok mi rebus instan. Tapi aku tak memberitahukan hal ini padamu. Untuk apa? Itu hanya akan menyumbang rentetan pekerjaanku. Karena keesokan harinya kau akan mengeluh penyakit asam lambungmu kumat. Lalu Risan akan menyuruhku membawamu ke tempat Bu Bidan (tak ada praktek dokter di daerah sini). Maka aku memilih menuruti pesan Risan yang pernah ia lontarkan di suatu waktu, agar aku selalu diam menanggapi semua ucapanmu.
”Semenjak Ayah meninggal, Ibu jadi seperti itu!” ungkap Risan, ”dulu ia juga pekerja keras sepertimu, Nir! Tapi karena hamil, Ayah melarangnya kerja!”
”Jadi Ibu juga pernah kerja?” Risan mengangguk.
”Setelah itu ia mengurung dirinya di rumah, menghabiskan waktunya di dapur. Berjam-jam. Berbulan-bulan. Hingga kakakku lahir dari perutnya. Lalu kakakku yang kedua juga lahir, lalu yang ketiga, lalu yang keempat, dan aku yang terakhir. Ia telah lama menghabiskan waktunya untuk dapur dan kelima anaknya. Namun bagaikan kacang yang lupa pada kulitnya: setelah menikah dan beranak-pinak di tanah perantauan, kakak-kakakku tak pernah pulang.”
”Kenapa kau tak mengikuti jejak mereka?”
”Apa setiap anak harus memiliki hati yang sama?” Risan melekatkan pandangannya padaku, ”keputusan ada padamu, kau pasti tahu aku bersungguh-sungguh. Dan kau perlu tahu, aku tak akan mengikuti jejak Ayah untuk menyuruhmu berhenti kerja.”
Saat itu aku melihat binar mata yang bening dan berpalung. Ketika aku terjun, di dasar jauh sana, tampak ketulusan telah mengalir sebelum ia tahu apakah aku akan menerimanya.
”Baiklah, tak masalah!” jawabku dengan suara sedikit tertekan.
Tentu saja pada waktu itu aku bisa berbicara seperti itu: karena aku sedang jatuh cinta, dan orang yang jatuh cinta adalah orang yang buta. Ia tak bisa melihat lubang yang menganga di depan kakinya. Ia terus saja melangkah dan melangkah. Sampai ketika kakinya memasuki lubang dan tubuhnya nyemplung, ia baru sadar. Ia terjebak di dalam lubang itu. Dan begitulah yang kualami sekarang.
Kau tahu bagaimana rasanya seseorang yang terjebak? Bukan mesti ia harus mencari jalan keluar jika dengan keluar justru masalah akan berkecai-kecai.

”Tiga ratus juta sudah melayang untuk rumah ini. Apa kita mau utang lagi?” teriak Risan pertama kalinya di hadapanku, pada Sabtu pagi yang muram. Dan teriakan itu berulang pada hari Sabtu berikutnya, ketika aku mengulang kalimat yang sama untuk mengajaknya pindah dengan wajah yang lebih muram dari pagi-pagi sebelumnya. Maka untuk menghapus kemuraman di wajahku: aku berusaha tersenyum.
”Aku harus bisa bertahan,” kataku seorang diri. Menurutku berbicara pada diri sendiri bukanlah hal buruk. Sesekali mungkin kau juga perlu menyapa dirimu agar ia tahu bahwa ia tak kesepian. Seperti aku yang kerap melakukannya di depan cermin setiap hari. Cermin besar yang menempel di dinding kamar. Dinding yang hanya berjarak lorong setengah meter dengan dinding rumahmu. Dinding yang dilekati pintu-pintu kayu jati yang tiap hari kaugedor-gedor dengan sesuka hati.
Baru sedetik mataku terbuka, belum sempat mengguyur muka, bahkan melipat selimut berbulu domba, kau selalu menciptakan teror pagi yang lebih heboh dari rengekan keledai. Bagimu, bagai tiada hal yang lebih penting dari urusan dapur. Dapur yang luasnya tak sampai mencapai separuh bangunan rumahmu. Dapur yang kau serukan sebagai jantung rumah yang harus berdetak setiap hari.
Kau kerap meluluhlantakkan hari-hariku bersama Risan yang seharusnya diliputi kesyukuran sebagai sepasang pengantin anyar yang sedang ingin mekar. Dan bagaikan seorang prajurit yang siaga dipanggil komandannya, Risan akan melakukan apa pun perintahmu sebagaimana aku yang tak pernah bisa membantahmu.
Namun tidak dengan yang terjadi pada hari itu, hari Kamis yang berkabut dan menyerabut tulang-tulangku, ketika aku pulang kerja dengan tertatih-tatih karena terjebak macet dan banjir. Belakangan hujan memang turun deras, jalur utama ke kantor terendam nyaris mencapai lutut. Kulitku lengket dan bajuku basah berlumuran tanah.
Tanpa memedulikan wajah kuyu dan semangat layuku, kau tiba-tiba datang melemparkan kalimat dengan wajah segarang arang: ”Sudah jam berapa ini? Cepat nyalakan kompor! Siapkan makan malam untuk Risan!”
Seketika darahku meletup-letup mencapai ubun-ubun. Seperti bunyi teko yang berdesing-desing, telingaku disambar bising dan kepalaku mendadak pusing. Sementara kau terus berkata tanpa jeda, menyebut-nyebut kata ’tungku’ tanpa irama.
Kata tungku itu berdengung-dengung di tempurung kepala. Pandanganku memburam, lalu samar-samar mataku menangkap bayangan tungku berkaki dua. Di depanku, tubuhmu berubah menjadi tungku itu, dengan nyala api di matamu yang selalu berkobar-kobar acapkali bertandang. Mulutmu menganga seperti lubang tungku yang siap menyemburkan api panas: lidah panjang yang menari-nari, berlenggak-lenggok, dan menertawakan kediamanku. Kulitmu yang seperti dinding-dinding tungku itu mengusam dan baumu menyengak seperti gulungan asap hitam yang menyesakkan dada.
Hampir saja aku berteriak dan tanganku berubah menjadi bor menggerus seisi dapur hingga lebur. Tapi ada hawa panas yang mendadak menyergap. Ada pengap yang perlahan membekap. Lalu dalam sekejap semuanya tiba-tiba gelap.
**
Baca Juga: Grup Whatsapp
Glek!
Sreng sreng sreng....
Riuh terdengar suara gesekan-gesekan, namun sebentar kemudian....
Hoeeek! Hoeeek!
Lagi-lagi aku harus ke kamar mandi. Mataku berkunang-kunang. Bau aneh itu tajam menusuk-nusuk hidung. Ada campuran rasa anyir, asam, dan getir-getir yang memualkan.
”Untuk sementara Bu Nir harus banyak istirahat, kalau perlu izin kerja!” saran Bu Bidan tadi sebelum menyodorkan sepuluh pil anti mual dan vitamin padaku. Setengah jam lalu, Risan mengatakan kalau aku ambruk lagi. Kemudian ia memanggil Bu Bidan.
”Baru anak pertama saja teler. Terus, bagaimana mau punya anak banyak?” gerutumu dari kejauhan dengan suara yang membuat cicak-cicak di eternit berloncatan.
Seperti biasanya, saat itu kubayangkan tungku berkaki dua itu pasti bersarang di tubuhmu. Ia berdiri dengan nyala yang panas dan garang. Aku berjalan ke dapur seperti seseorang yang sepekan lupa makan. Dari ruang tengah, kusaksikan tungku itu telah hidup, namun entah kenapa kali ini cahayanya meredup.
”Jangan biarkan dapurmu senyap, Nir! Jangan sampai rumahmu seperti kuburan!” teriakmu sembari mengaduk-aduk masakan—yang entah apa namanya—di atas wajan anti lengket yang kubeli bulan lalu lewat arisan.
Melihatmu saat itu dari pintu ruang tengah, ruang yang mengapit dapur dan kamar tidur, seketika aku menjadi musafir yang menemukan tempat perapian. Ada udara hangat yang tiba-tiba membasuh gigil kulit. Hatiku berdesir ketika, barangkali, ada setitik peluh yang luruh dan kau mengusapnya dengan keriput tanganmu. Garis-garis itu semakin kentara berbilang usia, seperti goresan-goresan di dinding tungku yang kuat bertahan diterjang gelombang panas.
”Ia telah lama menghabiskan waktunya untuk dapur dan kelima anaknya.”
Sesaat selepas aku terngiang kalimat itu, setitik air meluncur ke pipi.
Hoeeek! Hoeeek!
Untuk ke sekian kalinya aku mengurungkan niat menyambangi tungku itu, meski aku sadar di sana ada sinar yang berpendar-pendar. Sinar kehangatan yang berasal dari tungku Ibu.
***
Prima Yuanita, seorang ibu rumah tangga, penyuka makanan tradisional dan lagu-lagu bertangga nada mayor. Saat ini tinggal di Sragen, Jawa Tengah dan pernah meraih juara 1 Lomba Karya Jurnalistik PKK tahun 2020 tingkat Provinsi Jawa Tengah.