Musim Gugur: Dua Peristiwa 1945-1985
Saat itu kita masih dua puluh tahun, dan kita memang tak sering bertemu, sesempatnya saja. Aku tak pernah mengatakan padamu bagaimana jantungku seakan berhenti berdetak saat kau mengucapkan kalimat itu.

-
I. Membaca Surat Lapuk, 1985
Surat itu telah robek: terbagi dua dan telah kurekat dengan selotip bening, tintanya telah luntur, membias mengenai bagian lain; nyaris tak bisa kubaca. Tapi sudahlah, tak peduli betapa lusuh surat itu, pesanmu telah hinggap di kepala dan hatiku sampai mati. Dengarlah, Yo, di radio usang yang kubeli tiga tahun lalu, tengah terputar lagu untukmu.
Selendang sutra tanda mata darimu
Telah kuterima sebulan lalu
Selendang sutra mulai di saat itu
Turut serentak di dalam baktimu
Kadang kepalaku bertanya, bagaimana laki-laki bernama Ismail Marzuki itu mengetahui kisah itu—dan aku yakin kau tak memberitahunya soal ini sebab kau tidak mengenalnya, kan? Kalaupun kau mengenalnya, kau tak punya kesempatan memberitahunya. Aku tahu pasti hal ini.
Sore itu, 22 November 1945, sepulangnya kau bertugas dari Stasiun Ambarawa—dan, entah kenapa kau pulang lebih awal hari itu—kita bertemu di kedai kopi Pak Suro. Di sanalah kau memberiku sebuah surat yang di luarnya tergambar sepasang hati kecil. Saat itu kutanya, untuk apa surat itu—sebab sebelumnya kau tak pernah memberiku surat—tetapi tak ada jawaban. Kau hanya menyengir, melepaskan topi khas masinis dari kepalamu, dan mengusap kepalaku lembut.
”Masrini, sesuatu telah membuat dadaku gelisah. Aku tidak tahu, tapi, aku merasa takkan bisa berjumpa denganmu lagi.”
Saat itu kita masih dua puluh tahun, dan kita memang tak sering bertemu, sesempatnya saja. Aku tak pernah mengatakan padamu bagaimana jantungku seakan berhenti berdetak saat kau mengucapkan kalimat itu. Aku tidak akan bisa hidup tanpa dirimu, hanya itu yang kutahu waktu itu. Namun, dengan sekuat hati aku meyakinkanmu bahwa tak ada yang akan terjadi. Segalanya akan baik-baik saja. Dan, di saat itu pula, selendang sutra ungu yang diberikan Bapak padaku kuberikan padamu. Selendang ini akan menjagamu, begitu kataku.
Dan, tanpa kita sadari, senja telah memakan habis waktu kita hari itu. Kau dan aku berpisah, dengan satu tanda mata di tangan masing-masing. Aku pulang dengan surat darimu, dan kau pergi menggenggam erat selendang sutraku.
Sore itu, 22 November 1945, sepulangnya kau bertugas dari Stasiun Ambarawa—dan, entah kenapa kau pulang lebih awal hari itu—kita bertemu di kedai kopi Pak Suro. Di sanalah kau memberiku sebuah surat yang di luarnya tergambar sepasang hati kecil. Saat itu kutanya, untuk apa surat itu—sebab sebelumnya kau tak pernah memberiku surat—tetapi tak ada jawaban. Kau hanya menyengir, melepaskan topi khas masinis dari kepalamu, dan mengusap kepalaku lembut.
II. Waktu yang Memakan Habis Selendang Ungu, 1945
Mulai hari itu, Toyo, kekasih Masrini, membawa saya ke mana-mana. Ketika ia bertugas di Stasiun Ambarawa, misalnya, ia membawa saya. Disampirkannya saya di tempatnya duduk dan akan mengambil saya kembali setelah ia selesai bertugas. Saat malam ketika ia tidur, kadang ia menggenggam saya dengan sangat erat, kadang ia menciumi saya, dan kadang ia menyelimuti tubuhnya dengan saya meski tak seluruh tubuhnya bisa saya tutupi.
Tapi, 11 Desember 1945 adalah hari terakhir ia membawa saya ke stasiun. Sebab, keesokannya, ketika fajar menyingsing dari timur, dia membawa saya ke barisan rakyat yang entah di mana namanya. Setiap orang telah memegang bambu runcingnya masing-masing, begitu pun dengan Toyo. Sementara saya telah diikatkan di lengan kanannya. Sesekali ia mengusap saya dan berbisik, ”Doakan aku, Masrini.” Bisikan itu sangat pelan, bahkan saking pelannya mungkin hanya saya dan dia yang mendengarnya.
Saya tahu bagaimana Masrini mencintai laki-laki ini. Ia tak cukup tampan, sebetulnya, tapi Masrini bilang laki-laki itu baik. Masrini pernah bercerita—ah, sebetulnya ia bicara sendiri dan kebetulan saya diletakkannya di samping ia duduk—bahwa Toyo adalah pemuda yang mencintai negara mereka, yang katanya baru saja merdeka beberapa waktu lalu. Masinis itu, kata Masrini, berteriak paling kencang ketika berita proklamasi kemerdekaan telah sampai di tempat mereka. Toyo terlihat seperti anak negara ini, ia bergembira seolah-olah bapaknya, Sumanto, hidup lagi setelah mati melawan Jepang. Ya, begitulah Masrini mencintainya. Dan, sejak saya selalu bersama Toyo, saya mengakui perkataan Masrini: laki-laki ini seperti anak negara.
Hari ini pun begitu. Saya tak melihat sedikit pun rasa gentar di matanya, bahkan setelah perintah untuk menyerang musuh keluar. Ia mengikuti barisan pejuang dan Tentara Keamanan Rakyat, bergerak mengepung musuh yang masuk ke Kota Ambarawa sejak 24 November lalu. Allahu akbar! Begitu ia berseru, menyusul seruan takbir sebelumnya. Dari depan, sekutu melakukan serangan balik. Pistol-pistol yang mereka pegang mulai memuntahkan pelurunya. Bunyi letusan senapan tak henti-hentinya memenuhi gendang telinga. Suara letusan senapan sekutu itu susul-menyusul dengan suara letusan senapan TKR yang sebagian mengendap-endap di rerumputan, sebagian merayap di tanah menghindari tembakan.
Sejak serangan umum itu dimulai, telah banyak pejuang republik dan TKR yang gugur, pun tantara sekutu dan mantan interniran Belanda yang dipersenjatai oleh sekutu untuk terlibat dalam pertempuran. Seorang pria paruh baya di sebelah Toyo tertembak tepat di bagian dada. Darahnya mengucur deras, tetapi mulutnya masih meneriakkan Allahu akbar. Tubuhnya telah terjengkang dan terkapar di tanah. Toyo menoleh ke belakang, berniat memeriksa keadaannya. Namun, belum sempat ia melangkah, sebuah letusan senapan mengarah tepat kepadanya. Lengannya ditembus oleh timah panas. Darahnya mengalir. Namun, ia masih kuat berdiri. Diambilnya bambu runcing yang jatuh ke tanah dan melemparnya tepat ke arah sekutu. Toyo tak tak tahu di mana bambunya itu mendarat. Entah mengenai sekutu, seperti yang diharapkannya, entah mengenai pasukannya sendiri, atau entah tak mengenai apa pun. Toyo tak tahu.
Meski lengannya telah gemetar dan menyimpan perih yang teramat menyakitkan, Toyo masih ingin bertaruh nyawa. Ditariknya saya dari lengan kanan, kemudian diikatkannya saya di lengan kiri yang telah ditembus peluru itu erat-erat, menekan darahnya agar berhenti keluar. Setelah itu, diambilnya bambu runcing bapak tadi dan kembali maju sambal berteriak Allahu Akbar.
Baca juga:Grup Whatsapp
III. Membaca Surat Lapuk, 1985
Ketika lenganku terluka parah
Selendang sutramu turut berjasa
Selendang sutra
Kini pembalut luka
Cabik semata
Tercapai tujuannya
Kupejamkan mata dan membayangkan kau duduk di sampingku, dan bersama-sama kita menikmati lagu cinta ini. Tetapi, harapanku telah senyap, bunyinya telah terbungkam saat musim gugur jatuh di Ambarawa empat puluh tahun lalu. Saat aku meraung di pojok ruang pengungsian ketika kau berjuang mati-matian di medan pertempuran.
Kulihat lagi secarik kertas lusuh yang sudah tak berbentuk. Pesanmu itu kemudian terputar di kepalaku.
Untuk kekasihku, Masrini
22 November 1945
*
Masrini, telah sampai ke telingaku bahwa kemerdekaan kita kembali terancam. Dua hari lalu telah mendarat ribuan musuh di sektor selatan Ambarawa dan berlaku sewenang-wenang. Suroso, rekan kerjaku, mengatakan bahwa kedaulatan telah terancam dan medan pertempuran mungkin segera dibentangkan. Entah esok, lusa, atau minggu nanti, mungkin saja aku akan pergi ke medan pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan. Tetapi, entahlah, ini hanya firasat yang belum jelas.
Masrini, tidak ada yang lebih mengetahui seberapa besar aku mencintaimu selain kau. Bahkan, angin yang sering bergelut dengan rambut hitammu yang terurai, takkan tahu. Dan, biarlah cinta ini memang hanya diketahui oleh hati kita.
Jika nanti aku memang bergelut dengan senapan di medan perang, kuharap kau akan mendoakanku agar bisa kembali menemuimu. Jika nanti aku tak kembali dan tak bisa mengelus rambutmu lagi, maka temui aku di kuburan pejuang.
Masrini, tak perlu kau pikirkan betul surat ini. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa dadaku telah sesak oleh rasa gelisah yang panjang. Kepalaku telah penuh oleh kemungkinan buruk jika ada pertempuran seperti yang terjadi di Magelang. Seandainya saja di Kota Ambarawa hujan darah itu datang, kau tak perlu menangis, Sayang.
Kekasihmu,
Surtoyo

-
IV. Waktu yang Memakan Habis Selendang Ungu, 1945
Saya dapat melihat dari mata kekasih Masrini yang mulai redup bahwa tubuhnya telah lemah. Darah yang mengucur deras dari lengannya yang saya balut sepertinya telah membawa habis seluruh tenaga yang ia punya. Tetapi, ia masih mencoba bergerak maju, berteriak dan menghunjamkan bambu runcing di tangannya pada para musuh. Namun, ia mulai lengah. Dari sisi kanan, seorang pria pucat berkumis sedikit tebal mengangkat senapannya yang kemudian memuntahkan beberapa peluru sekaligus. Peluru itu bersarang di lengan Toyo yang saya balut, tepat setelah ia melempar bambu yang dipegangnya. Toyo ambruk. Tubuhnya terjengkang di tanah. Matanya yang redup mulai berkaca-kaca, barangkali ia teringat Masrini, kekasihnya. Sekejap kemudian ia tersenyum, barangkali ia bangga pada dirinya sendiri karena telah membela negaranya sampai mati.
Saya perhatikan tubuh Toyo yang mulai mendingin dari ujung kaki. Matanya yang menembak langit masih berkaca-kaca. Ia mulai membeku. Urat-urat yang terbentang di sepanjang lengan yang ia ikat erat-erat dengan tubuh saya, telah berhenti. Saya tak lagi merasakan darah yang mengalir dari sana. Tak ada yang bisa saya lakukan selain menemani Surtoyo sampai napasnya habis dan menunggui tubuhnya sampai dibenamkan ke dalam bumi.
Tiba-tiba saya teringat Masrini. Saya yakin gadis itu tengah berjongkok di sudut ruangan dan menggigiti jari-jarinya, seperti yang selalu ia lakukan dulu ketika khawatir. Tangannya akan gemetar hebat. Ia pasti tengah menunggu Surtoyo kembali. Saya yakin itu.
Ah, betapa kejamnya takdir gadis itu.
***
Vianda Alshafaq merupakan anggota Kelas Menulis Loker Kata. Beberapa cerpennya pernah dimuat dalam antologi cerpen bersama di antaranya, ”Gift from The Sea” (Poetry Publisher, 2020), ”Rumah yang Ingin Bunuh Diri” (Rakata, 2021), ”Criminaloid” (LovRinz Publishing, 2022).