Grup Whatsapp
Selama ini Tari tidak pernah mempermasalahkan apakah keluarganya dikucilkan atau tidak. Sesuai nasihat Ibu, Tari berusaha memaafkan keluarga besarnya dan tetap bersikap baik pada mereka.
Tari selalu berpikir hidupnya tidak kekurangan apa pun. Teman-teman yang perhatian dan keluarga yang tidak pernah rewel menanyainya kapan akan menikah. Barangkali mereka bosan. Berkali menanyakan hal yang sama, jawaban Tari selalu sama: ”Ih, bosan, ganti pertanyaan!” Atau jika suasana hatinya sedang baik, Tari hanya menjawab, ”Doakan saja segera.”
Ibunya sudah lama menyerah menjodoh-jodohkan Tari dengan anak kerabat dan kolega keluarga. Tari pun bisa kembali tenang dan menjalani hari-harinya yang sibuk dengan rutinitas kantor sejak paling hingga sore—bahkan malam, jika ia harus lembur sesuai perintah atasan.
Ketenangan hatinya sedikit terusik ketika April, sahabatnya, mengajak Tari berlibur bersama keluarganya. April tidak pernah menanyakan mengapa Tari belum menikah. Yang mengusik Tari bukan pertanyaan soal pasangan, melainkan percakapan keluarga April.
”Kata Bapak, kamu siapkan dana untuk penginapan saja. Bus sudah kami sewa untuk dua hari. Asal ibumu setuju, kita bisa berangkat minggu depan.”
”Iya, Ibu mau ikut kok. Sekalian refreshing, katanya.”
”Ya sudah, kalau gitu fix ya. Aku bilang Bapak.”
Lewat ekor matanya Tari mengintip April mengetik pesan pada grup Whatsapp keluarga. Tak lama April terkekeh sendiri dan melirik Tari.
”Duh Bapak ada-ada aja deh. Masa minta ibumu dan ibuku duet lagu dangdut nanti di bus dalam perjalanan. Bapak juga menantang kita semua joget. Bapak mau saweran, katanya.”
Tari tertawa kecil. Membayangkan ibunya bernyanyi mengimbangi cengkok suara ibu April yang jago nyanyi. Terakhir kali ibunya bernyanyi saat Bapak Tari masih hidup, itu pun kerap digoda Bapak untuk berhenti. Setiap Ibu bersenandung menimpali mereka bernyanyi, selalu diakhiri senyum tersipu sebab Bapak kerap mencuri cium pipi ibu dan meminta disiapkan pisang goreng kesukaannya.
”Boleh. Bilang bapakmu, saweran minimal 200 ribu, buat jajan di Pangandaran!” Tari melihat April meneruskan percakapan di grup Whatsapp keluarganya.
”Deal kata Bapak, Tar! Ha-ha-ha.”
Tari terkikik. Namun, Tari ingat Bapak. Tiba-tiba ada rasa perih dalam hatinya. Terutama saat April berkata, ”Beginilah ramainya chat keluarga, apalagi tahu mau piknik begini, rempong!”
Keluarga besar bapak Tari cukup terpandang di kotanya. Apalagi salah satu paman Bapak adalah orang kepercayaan Jenderal Sudirman di masa perjuangan, yang kemudian mendirikan bank pasca-kemerdekaan. Kakak dan adik kakek Tari nyaris semua aktif dalam dunia politik atau pendidikan sehingga mereka mendirikan sebuah yayasan. Di masa kecil, Tari sering ikut Bapak menghadiri rapat keluarga, menggantikan kakek. Tari tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan. Biasanya, jika Bapak sedang rapat, Tari duduk menunggu sambil membaca buku di teras rumah besar milik keluarganya.
Di kemudian hari, rapat-rapat itu menghasilkan pendirian sebuah hotel di kota kelahiran kakek, 60 kilometer dari rumah Tari. Ketika adik-adik kakek Tari meninggal satu per satu, kebijakan keluarga mengatur pengurusan hotel dan yayasan estafet pada anggota keluarga tertua. Jika orang itu meninggal, dilanjutkan kepada anggota keluarga berikutnya sesuai urutan usia.
Keluarga besar mereka menerbitkan buku silsilah keluarga lengkap dengan sejarah singkat tentang pendirian yayasan. Tentu, kebanggaan Tari mekar bertahun-tahun lalu, ketika media sosial belum seramai seperti saat ini.
”Tante dapat kabar, Angel mau nikah dua minggu lagi. Undangan untuk keluarga Bapakmu ada di Tante ya,” Suatu hari Tante Wike mengirim pesan.
Angel, sepupu dari Uwak Tari kesulitan mendapatkan alamat lengkap keluarga Bapak. Angel tidak punya nomor ponsel Tari dan tidak berteman di Facebook sehingga Angel tidak langsung menanyakannya kepada Tari. Masih kata Tante Wike, ada grup Whatsapp keluarga besar Wilantika, dan semua informasi penting disampaikan di grup itu. Tari menahan diri untuk bertanya, mengapa dia tidak dimasukkan ke dalam grup keluarga Wilantika. Padahal mudah melakukannya, hanya diperlukan sekali-dua kali klik sampai akhirnya nomor ponsel Tari tergabung dalam grup keluarga.
Tante Wike sebetulnya sangat baik, tetapi ia kalah kuasa dengan Om Ridwan, adik kedua Bapak. Bisa jadi Om Ridwan menghalangi Tante Wike untuk memasukkan Tari ke dalam grup keluarga. Sejak Bapak Tari meninggal, entah mengapa, keluarga mereka seolah-olah dikucilkan. Dulu saat di rumah sakit, ketika dokter berhasil mengeluarkan tujuh batu kecil dari ginjal Bapak, Om Ridwan menghasut saudara lain, bahwa itu akibat perbuatan Bapak yang tidak segera menyerahkan pengurusan yayasan padanya. Tari sakit hati. Apalagi saat mendiang Bapak masih hidup, Om Ridwan pernah menggelapkan uang warisan dari Oma Betje di Belanda.
Nenek Tari merupakan blasteran Belanda-Spanyol yang tinggal di Indonesia pada masa pra kemerdekaan, mengikuti ayahnya yang bertugas sebagai tentara di Hindia Belanda. Nenek jatuh cinta dan menikah dengan kakek, kemudian menetap di Indonesia hingga akhir hayatnya. Oma Betje, adik nenek Tari, menetap di Belanda dan tidak menikah. Saat meninggal, surat pengadilan memutuskan warisan Oma Betje jatuh pada nenek Tari, saudara satu-satunya. Karena kelihaiannya, Om Ridwan menyediakan diri mengurusi soal warisan tersebut ke Belanda. Setelahnya, setiap ditanya, Om Ridwan selalu menjawab, ”Ribut amat, warisan gak seberapa juga ditanyain!” Dan bapak Tari, yang paham perangai adiknya, hanya berkata, ”Semoga kamu selamat, Wan. Hati-hati, itu amanat.”
Sejak saat itu, Tari mengerti bagaimana harus berurusan dengan pamannya yang satu itu. Menyedihkan, tapi begitulah hidup.
Kata Bapak, ”Akan selalu ada orang culas di keluarga mana pun. Tinggal kita sikapi dengan baik. Anggaplah Om Ridwan itu contoh buruk, agar kita tidak melakukan perbuatan sama kepada orang lain. Tari harus tetap menghormatinya sebagai adik Bapak. Tapi hati-hati saja, hindari terlibat masalah dengan Om Ridwan, apalagi soal uang.”
Selama ini Tari tidak pernah mempermasalahkan apakah keluarganya dikucilkan atau tidak. Sesuai nasihat Ibu, Tari berusaha memaafkan keluarga besarnya dan tetap bersikap baik pada mereka. Dan jika tidak sesuai harapan, petuah Ibu selalu menyejukkan hatinya, ”Maafkan mereka. Mereka tidak tahu. Biar nanti Gusti Allah bukakan kebenarannya.”
Beberapa tahun setelah kepergian Bapak, Tari tidak ambil pening dengan hal-hal yang sekiranya mengganggu produktivitas. Dalam banyak buku-buku selfhelp yang dibacanya, salah satu pemicu macetnya produktivitas adalah ketika isi kepala dipenuhi oleh persoalan tidak seberapa penting yang menghabiskan energi untuk dipikirkan. Tari memilah persoalan. Fokusnya hanya tetap bekerja dan membahagiakan Ibu. Kerja keras Tari membuahkan hasil, kemajuan di kantor berimbas pada kenaikan posisi Tari. Saat ini Tari menjabat sebagai area manager untuk divisi pemasaran di perusahaan tempatnya bekerja. Tari menjadi semakin sibuk, dan mulai melupakan soal pernikahan. Dalam hal itu, Tari tetap menerapkan prinsip mengalir seperti air. Jika sudah tiba waktunya, tak ada yang bisa menghalanginya untuk menikah. Dan saat ini Tari merasa belum waktunya.
”Eh kita mau body rafting loh nanti, Tar! Siap-siap ya, bakalan seru loh.”
April mengangkat mukanya dari layar ponsel, menatap Tari yang tidak merespons.
Plak!
April menepuk lengan Tari. ”Hei! Malah melamun!”
”Enggak kok, eh apa? Sambil syuting? Eh, gimana?” Tari tergeragap.
”Lah… kok malah syuting. Body rafting, Tar, rafting! Ih, beneran ngelamun nih anak!”
Tari menarik napas panjang. Dia lupa, sejak tadi April masih duduk bersamanya dan membahas rencana piknik keluarga. Pikiran Tari malah piknik duluan, mengembara ke masa lalu dan situasi keluarganya.
”Hemmm… pasti mikirin Irwan ya? Cieee… yang baru ketemuan, inget terus ya?” April menggoda Tari dan menyenggol badannya.
”Apa sih? Bukan dong. Eh, kenapa jadi bahas Irwan sih?” muka Tari bersemu merah. ”Aku lagi ngitung nih kira-kira nanti butuh berapa biayanya.”
Diam-diam April mengamati perubahan muka Tari. Dia senang jika sahabatnya itu akhirnya mau membuka diri. Tapi April tahu, Tari tidak bisa dipaksa. Tari akan bercerita jika merasa sudah siap. April selalu berharap kebahagiaan untuk Tari, dan mendoakan yang terbaik untuknya.
”Itu masih dibahas rame ya di grup?”
”Iya, Tar. Ini Dwi malah heboh mikirin baju pergi, ha-ha-ha.”
Renyah tawa April mengusik lagi perasaan Tari. Tari tidak iri pada kehangatan keluarga April. Tari senang sering dilibatkan dalam acara-acara keluarga mereka dan diajak berlibur bersama seperti sekarang. Rasanya seolah Tari menemukan kehangatan dari keluarga April, yang tidak didapatnya dari keluarga sendiri.
Tari yang ceria punya banyak teman dan disukai karena pembawaannya yang positif. Tapi kali ini Tari murung. Benaknya terus-menerus dipenuhi pertanyaan yang sama. Tari aktif dalam berbagai kegiatan selain kesibukan kantor. Tari pun sesekali mengikuti grup diskusi pembaca sesuai hobinya. Tari juga aktif menjadi admin dalam grup Whatsapp komunitas. Sayangnya, Tari tetap tidak tergabung dalam grup keluarga satu pun, baik grup Whatsapp keluarga Danu, kakeknya, maupun grup Whatsapp keluarga Wilantika, kakek buyutnya. Sesuatu yang tidak pernah terpikir sebelumnya, betapa menjadi anggota sebuah grup Whatsapp bisa begitu mengusik saat April bercerita.
Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Tari.
Diana menambahkan Tari ke dalam grup Royal Pamily.
Tari tersenyum dan maklum, Diana tidak tahu seharusnya menggunakan huruf ”F” pada kata ”family”. Tari membuka grup Whatsapp baru itu.
Tolong, di daerah Teteh sini masih kekurangan air minum dan popok bayi. Tadi juga masih ada gempa susulan beberapa kali. Ini Teteh masih ngungsi di tenda pos 5 di lapangan dekat kantor desa.
Tari terkesiap dan mengutuk dirinya sendiri. Telah terjadi gempa berkekuatan 5,6 skala Richter di kota kelahiran ibunya. Pesan grup itu menyadarkan bahwa Tari masih memiliki keluarga yang hangat dari pihak ibu. Dan rupanya mereka pun baru menyadari perlunya grup Whatsapp keluarga setelah kejadian gempa tadi pagi. Tari terharu, akhirnya ia bisa menjadi anggota sebuah grup Whatsapp keluarga, Royal Pamily.
***
Ratna Ayu Budhiarti menulis puisi, cerpen, artikel, resensi, fiksimini, dan beberapa naskah drama, salah satunya naskah Musikal Inggit yang dipentaskan pada Mei 2022 lalu. Menulis 8 buku tunggal (puisi dan cerpen), serta nyaris 60 antologi bersama. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Korea, dan Rusia. Beberapa karya bisa dilihat di laman http://ratnaayubudhiarti.wordpress.com.
Yessi Nur Mulianawati, dikenal dengan panggilan Yessiow, seniman mural dan ilustrator asal Bali. Lulusan Telkom University, Bandung, ini hidup nomaden antara lain di kamboja, India, Turki, Itali, dan Afrika Selatan. Sejak 2016 setidaknya sudah 13 kali pameran dan 14 kali ikut festival, antara lain, Kaalo 101 Art Intervention Kathmandu, di Nepal, pada 2019 dan B-Murals Street Art Intervention di Barcelona, Spanyol (2022).