Siger
Lusa ingin bersanding dengan Errys. Mengenakan mahkota adat wanita Lampung di kepalanya. Siger, ya, mahkota Siger, seperti nama menara tempat keduanya bertemu.

-
Serupa Prolog
Semenjak berjumpa dengan Errys di Siger, Lusa bukan hanya kagum dengan pesona bangunan berbentuk mahkota pengantin wanita itu atau hiruk-pikuk Pelabuhan Bakauheni—kapal-kapal feri yang menyandar, debur ombak Selat Sunda, antrean kendaraan keluar masuk pintu pelengsengan—ia pun melihat pesona lain dari gadis berdagu manis semanis buah bintang itu yang mengajaknya bercakap-cakap saat itu. Lusa menetapkan janji di dalam hatinya. Janji itu diam-diam ia simpan dengan baik di pedalaman hatinya yang terdalam. Kelak, saat yang membahagiakan itu datang, Lusa ingin bersanding dengan Errys. Mengenakan mahkota adat wanita Lampung di kepalanya. Siger, ya, mahkota Siger, seperti nama menara tempat keduanya bertemu.
Babak 1
Matahari belum bangun dari tidurnya dan pagi masih gelap. Jendela kamar Errys diketuk seseorang. Errys membuka jendela, ia mendapati Nita yang tampak cemas.
”Ayo Errys!” bisik Nita. Jelas sekali ia tampak gelisah. Matanya melirik kanan dan kiri seperti ada yang ingin disembunyikannya.
”Apa tidak ada yang melihat?” tanya Errys, juga dengan berbisik.
”Kurasa aman,” jawab Nita sepelan mungkin.
”Baiklah, ini tolong turunkan!” seru Errys menyerahkan sebuah tas berisi pakaian secukupnya.
Errys segera keluar dengan meloncati jendela. Keduanya kemudian berjalan mengendap-endap. Mereka sengaja tidak melalui jalan raya. Tujuannya adalah rumah penyimbang adat.
Jalan menuju rumah penyimbang adat itu mesti dilalui dengan berjalan kaki. Sebab, setelah melintasi jalan kecil di tengah kebun karet yang akarnya centang perenang, juga harus menyeberangi sungai berbatu yang airnya bergemericik. Errys yang ditemani Nita, akhirnya sampai juga. Oleh pak kepala adat keduanya diterima dengan baik dan dipersilakan istirahat terlebih dahulu di sebuah kamar yang diperuntukkan bagi tamu-tamu yang datang ke rumahnya. Beberapa hari nanti, upacara adat perkawinannya dengan Lusa akan dilaksanakan.
Hari itu, Errys menjadi seorang muli—gadis larian yang akan dinikahi Lusa. Ditemani Nita yang bertugas sebagai penakau—kawan gadis. Sebelum meninggalkan rumahnya, ia telah meninggalkan pengepik—sepucuk surat dan sejumlah uang—untuk kedua orangtuanya yang ditinggalkan di bawah bantal tempat tidurnya. Berharap dengan itu, ayah dan ibu Errys akan bisa mengerti dan merestui jika ia akan melakukan sebambangan.
Errys segera keluar dengan meloncati jendela. Keduanya kemudian berjalan mengendap-endap. Mereka sengaja tidak melalui jalan raya. Tujuannya adalah rumah penyimbang adat.
Babak 2
Surut tiga bulan sebelumnya. Di rumahnya, Errys terkejut. Ia tersipu mendapatkan sepucuk surat dari Lusa melalui jasa layanan pos. Menurut dia, itu sangat romantis. Mirip dengan kisah-kisah roman lama angkatan pujangga baru yang selalu ia baca sebelum berangkat tidur. Padahal, sebelum berpisah dengan Lusa beberapa bulan yang lalu di menara Siger, keduanya telah saling bertukar kontak telepon. Namun, tak sekali pun Lusa menelepon atau mengirim pesan pendek. Ingin sebenarnya Errys menanyakan keadaan Lusa di Indramayu, tetapi karena perasaannya yang halus sebagai perempuan, mencegahnya untuk melakukannya. Bukankah perempuan selalu begitu?
Surat itu dibaca Errys dengan hati bergerimis. Ternyata dalam pesannya Lusa menumpahkan segala rasa yang ia alami sejak bertemu dengannya. Pertemuan yang, menurut dia, sangat berkesan. Apakah kau tidak merasa? tanyanya. Errys hanya bisa mendekap surat itu dengan air mata kerinduannya yang juga tertumpah meleleh di kedua pipinya.
Setelah surat itu. Lusa meminta izin untuk berkunjung ke rumah Errys di Pesawaran. Perempuan bermata bening seperti embun itu kemudian menceritakan perihal pertemuannya dengan Lusa kepada orangtuanya. Dan rencana Lusa untuk bertamu dan menemuinya.
”Apakah Lusa akan melamarmu?” tanya ayahnya menyelidik.
”Entahlah, Ayah. Barangkali nanti bisa Ayah tanyakan langsung pada Lusa,” jawab Errys pada sebuah pembicaraan hangat di beranda rumahnya, sore itu. Matahari senja membuat wajahnya berwarna jingga.
Pada saat itu, tak ada isyarat keberatan apa pun yang disampaikan oleh ayah ataupun ibunya. Namun, ketika Lusa berkunjung dan menyatakan maksudnya akan datang kembali untuk melamar Errys, tampak ada sesuatu menggumpal di raut wajah ayahnya. Barangkali Lusa tak dapat membacanya. Hanya mata Errys yang dapat mengejanya. Lusa pun pulang dengan sejuta harapannya, sementara kekasihnya menyimpan tanda tanya dengan sikap ayahnya.

-
Babak 3
Di beranda rumah yang tampak temaram. Cahaya rembulan jatuh ke pekarangan membaur bersama rumput-rumput yang kedinginan, Errys tampak menangis di kursinya. Ia baru saja mendapatkan penjelasan dari ayahnya, bahwa telah ada permintaan dari kerabatnya yang ingin mengambilnya menjadi menantu. Memang hal itu baru sekarang dibicarakan.
”Mengapa Ayah baru cerita sementara Errys sudah merasa mencintai Lusa,” jelasnya sambil terisak.
”Apa kamu ingin Ayah kehilangan muka? Keluarga kita dianggap tidak dapat dipercaya?” tukas ayahnya.
Ibunya hanya bisa mendekap anak gadisnya dengan pelukkan kasih. Sebagai perempuan, ia pun tidak ingin anak gadisnya tidak bahagia.
Babak 4
Lusa tak ingin kehilangan Errys. Baginya perempuan itu adalah cinta sejatinya. Seperti janjinya dulu, bersama ayah dan ibunya, Lusa melamar Errys. Namun, karena sesuatu alasan lamaran itu akan dijawan seminggu kemudian, melalui surat.
Surat yang ditunggu pun datang dan hal itu membuat kecewa Lusa. Mengapa tak berterus terang kalau telah ada yang melamar? Pikiran Lusa berkecamuk.
Beberapa hari kemudian, datanglah sepucuk surat dari Errys. Lusa termenung. Sebambangan? Benarkah?
Surat itu memang berpanjang lebar menjelaskan pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat untuk meminta persetujuan dari orangtuanya melalui musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua orangtua dari calon mempelai sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan antara kedua orangtua tersebut.
Lusa menarik napas dalam-dalam. Ia berpikir keras untuk memahami keinginan Errys. Apakah itu sama dengan kawin lari? Tapi ketika itu ditanyakan, Errys menjawab tidak sama. Katanya, kawin lari itu sama dengan menculik anak gadis orang. Namun, sebambangan telah diatur oleh adat dan tetap mengedepankan restu dari kedua orangtua calon pengantin.
Baca Juga: Jamur Raksasa
Babak 5
Errys telah tiga hari tidak pulang. Tak ada kabar ke mana perginya. Namun, ayahnya yakin, kepergiannya sangat berkaitan dengan balasan surat yang dibuatnya untuk Lusa. Siang itu ia merenung duduk memandang kebun durian yang belum berbunga. Tiba-tiba istinya datang tergopoh-gopoh membawa sesuatu.
”Ini pesan yang ditinggalkan Errys di kamarnya.”
”Pengepik?”
”Sepertinya begitu.”
Ayahnya segera membaca isi pesan di dalamnya. Dahinya berkerut-kerut seperti sedang menguraikan benang pikiran yang kusut di kepalanya. Wajahnya memerah menahan marah, sebab sebagai orangtua merasa tak dipatuhi oleh anaknya. Namun, berkali istrinya meredakannya. Bahwasanya, sebagai ulun Lampung yang beradat, apa yang dilakukan oleh anak gadisnya adalah sesuatu yang dibolehkan dalam adat Lampung ataupun syariat agama.
Babak 6
Di rumah penyimbang adat, Lusa menyerahkan uang panekhangan. Tak di sangka-sangka, ayah dan ibu Errys datang bersama kerabatnya yang menghendaki Errys menjadi calon menantunya.
”Maafkan Errys, Ayah, Ibu, dan yang lainnya,” ucapnya sambil tersedu.
”Ayah ataupun ibu sudah merelakanmu,” ucap ayahnya sambil memeluk anak gadisnya. Ibunya kemudian menghambur dengan tangis memecah.
”Maafkan juga Lusa, Ayah, Ibu.”
Musyawarah antara kedua belah keluarga dan penyimbang adat berakhir dengan sebuah upacara adat sebambangan. Semua saling merelakan dan mengikhlaskan. Ijab dan kabul terlaksana tanpa halangan apa pun.
Ayahnya segera membaca isi pesan di dalamnya. Dahinya berkerut-kerut seperti sedang menguraikan benang pikiran yang kusut di kepalanya. Wajahnya memerah menahan marah, sebab sebagai orangtua merasa tak dipatuhi oleh anaknya. Namun, berkali istrinya meredakannya. Bahwasanya, sebagai ulun Lampung yang beradat, apa yang dilakukan oleh anak gadisnya adalah sesuatu yang dibolehkan dalam adat Lampung ataupun syariat agama.
Malam itu, Errys tampak cantik sekali dengan mengenakan mahkota Siger, kain tapis dan pakaian pengantinnya. Sementara Lusa tampak gagah dengan Kopiah Emas dan pakaian pengantinnya.
”Kau tahu Errys, apa yang sedang terlintas di pikiranku?”
”Sayangnya aku terlalu bahagia, jadi tak tahu apa yang kau maksudkan, Lusa.”
”Melihatmu memakai mahkota Siger, aku merasa seperti sedang bertemu denganmu kali pertama di menara Siger itu.”
”Benarkah, Lusa?”
”Iya, seperti janji diam-diamku saat itu, aku akan menyandingmu dengan mahkota Siger itu.”
”Dan hari ini janji itu terwujudkan demikian manisnya, Benar kan, Lusa?”
Lusa tak menjawab kecuali tangannya menyentuh mahkota Siger itu. Errys menyandarkan kepalanya di bahu Lusa.
Serupa Epilog
Di atas sana rembulan tersenyum mengintip dari celah jendela kayu rumah adat nuwo sesat, lelaki dan perempuan yang sedang menunaikan ibadah cinta pada malam pertama. Indramayu, 2018
****
Faris Al Faisal lahir dan berdikari d(ar)i Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. Bergiat di Komite Sastra Dewan Kesenian Indramayu (DKI) dan Lembaga Kebudayaan Indramayu (LKI). Buku Kumpulan Cerpen pertamanya berjudul Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek Karyapedia Publisher (2017). Cerpen-cerpennya tersiar di surat kabar Indonesia dan Malaysia seperti: Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Haluan, Rakyat Sumbar, Singgalang, Rakyat Sultra, Radar Cirebon, MediaJatim.com, CendanaNews.com, Detikcom, dan Utusan Borneo Malaysia.