Tak Ada Gus Baha di Pondok Ini
Saya seorang ibu dan sudah punya anak, jadi saya sudah berpengalaman melihat gelagat hati seseorang dari raut wajahnya. Ketidaksenangan Kang Zaki tetap bisa saya lihat meski ia mencoba menutupinya dengan senyuman.
I
Di kantor pondok, setelah menyilakan saya, Kang Zaki tidak langsung ikut duduk dan malah berjalan ke pojokan untuk menyalakan kipas. Saya tersenyum kecil melihat itu. Tampaknya, Kang Zaki memang kurang senang dengan kunjungan saya ini. Tak apa. Toh saya sudah berkabar lewat WA bahwa hari ini saya akan kemari. ”Ada yang musti dijelaskan, Kang,” kata saya kemarin dengan pesan yang sengaja saya buat mengambang.
Saya seorang ibu dan sudah punya anak, jadi saya sudah berpengalaman melihat gelagat hati seseorang dari raut wajahnya. Ketidaksenangan Kang Zaki tetap bisa saya lihat meski ia mencoba menutupinya dengan senyuman dan muka yang dibuat tampak biasa-biasa saja.
Saya tidak masalah dengan itu. Maksud saya, saya tidak akan terpengaruh dengan ketidaksenangan Kang Zaki tersebut. Seperti sudah saya katakan lewat WA kemarin, ada yang musti Kang Zaki jelaskan, dan saya akan meminta penjelasan itu, bahkan meski Kang Zaki tidak lagi menyembunyikan ketidaksenangannya. Saya tidak akan terpengaruh; ini tentang masa depan anak saya.
Saya melihat kipas yang terpasang di langit-langit—hari ini memang panas sekali. Kang Zaki berjalan kemari dan saya merasa diamati olehnya. Tapi saya diam saja, menunggunya duduk dan bertanya, ”Sehat ya, Bu?”
”Alhamdulillah, Kang Zaki. Njenengan juga, kan?” jawab saya sambil merasai semilir dari kipas milik pondok.
”Iya, Bu. Alhamdulillah, pangestunipun.”
Seperti sudah saya duga, obrolan kami akan berputar-putar dulu: menanyakan kabar masing-masing, membicarakan cuaca akhir-akhir ini, dan sebagainya. Kang Zaki bercerita bahwa ia pindah ke rokok lintingan sebab harga rokok kian tak masuk akal. Saya mengikuti alur saja dan menanggapinya dengan mengeluhkan soal cabai dan minyak goreng yang bertambah mahal.
Diajak berputar-putar dulu seperti itu, saya tak apa-apa. Saya sudah terbiasa dan tidak akan teralihkan. Itu tidak menghalangi saya untuk langsung mengarahkan pembicaraan terkait hal yang membikin saya datang kemari.
”Begini, Kang Zaki, seperti yang sudah kita obrolkan di WA kemarin, saya kemari untuk nanyain soal anak saya.”
Saya menatap Kang Zaki sebab ingin tahu reaksinya mendengar perkataan saya barusan. Dan seperti saya perkirakan, Kang Zaki diam dan menarik napas dalam-dalam, sikap khas seseorang yang kurang senang dengan topik pembicaraan. Tak masalah, lanjutkan saja, Kang Zaki.
”Soal Syarif ya, Bu? Baru pulang sekolah ini. Sebentar, biar saya panggilkan,” jawab Kang Zaki sembari hendak beranjak dari kursi. Melihatnya, saya tahu apa maksudnya dan langsung meminta untuk nanti saja memanggilkan anak saya. Saya tidak mau berlarut-larut.
”Jadi gimana anak saya itu, Kang Zaki? Kemarin pas pulang waktu liburan, saya minta baca kitab kok belum bisa? Pas saya tanyain di sini diajarin apa, jawabannya nggak jelas. Dia tiga tahun di sini lho, Kang Zaki, masa belum bisa baca kitab sama sekali?”
Saya berhenti sebab melihat Kang Zaki mengerutkan dahi. Saya lalu tersenyum kecil. Kang Zaki memang betul merasa tidak senang. Tapi maaf saja, Kang Zaki, itu tidak akan mempan. Nanti, kalau sudah menikah, Kang Zaki akan paham betapa persoalan anak tidak bisa diurus setengah-setengah. Itu persoalan serius dan musti dibicarakan sampai tuntas.
”Pas saya liatinscreenshot bahasa Arab dari video pengajiannya Gus Baha, anak saya juga nggak bisa nerangin artinya. Padahal saya masukin anak saya ke sini itu karena di Youtube Gus Baha pernah bilang kalau pondok ini bagus lho. Beneran, saya masih nyimpen videonya. Tapi kok anak saya nggak bisa kayak Gus Baha? Gimana itu, Kang Zaki?”
Saya masih mau menyampaikan banyak hal. Tapi saya mengurungkannya. Anak saya tiba-tiba sudah berdiri di pintu kantor pondok—entah siapa yang memanggilnya—langsung berjalan masuk, dan duduk di sebelah saya. Semua yang mau saya sampaikan tertelan kembali. Saya agak tertegun, dan baru setelah diam agak lama bertanya, ”Sehat, Nak?”
Baca juga : Surat untuk Ibu
II
Di kantor pondok, setelah Bu Rahma duduk begitu saya persilakan, saya berjalan dulu ke pojok ruangan. Udara panas sekali. Saya ingin menyalakan kipas terlebih dahulu. Via WA, Bu Rahma memang sudah mengabari akan datang hari ini dengan pesan yang terdengar serius: ”Ada yang musti dijelaskan, Kang.” Tapi, datang di jam ini, ketika matahari sedang di puncaknya, jelas tidak masuk perhitungan saya.
Jujur saja ada perasaan kurang senang dalam diri saya. Tapi, mau tidak mau saya harus menemuinya. Tidak mungkin, kan, saya mengatakan bahwa ini jam istirahat? Tentu saja saya kurang bersemangat menemui Bu Rahma. Saya sudah bisa membayangkan percakapan yang nanti akan berjalan satu arah: Bu Rahma mengeluhkan anaknya yang tak kunjung bisa baca kitab, sementara saya hanya menjadi pendengar karena tiap kali hendak menjelaskan sesuatu Bu Rahma akan memotongnya.
Ini bukan kali pertama saya menghadapi wali santri yang rewel soal anaknya. Jadi, saya sudah punya gambaran soal itu. Tapi, toh saya juga sudah tahu bagaimana sebaiknya saya bereaksi: saya hanya perlu menjawab seperlunya. Kalau perlu, saya malah jangan terlalu menjelaskan keadaan sebenarnya. Selain tidak akan didengarkan, itu hanya akan membuat saya capek sendiri.
Kipas sudah sepenuhnya berputar dan saya berjalan menuju kursi kantor pondok sembari melirik ke arah Bu Rahma yang sedang mengamati kipas angin.
”Sehat ya, Bu?” tanya saya setelah duduk.
”Alhamdulillah, Kang Zaki. Njenengan juga, kan?”
”Iya, Bu. Alhamdulillah, pangestunipun,” jawab saya sembari memutar otak.
Ya, saya betul-betul memutar otak untuk memutuskan apa yang harus saya bicarakan terlebih dahulu. Bukan soal bagaimana perkembangan ngaji anaknya, tentu saja, tapi lebih kepada hal-hal remeh dan tak nyambung supaya Bu Rahma tidak langsung nyosor ke pembicaraan yang sepengalaman saya tidak akan menyenangkan.
Mulailah saya menanyakan kabar, mengeluhkan cuaca yang sejak kemarin panas sekali, lalu berbicara soal kenaikan harga rokok dan kepindahan saya ke lintingan karenanya. Seperti yang saya harapkan, Bu Rahma menanggapinya dengan bercerita soal cabai dan minyak goreng yang harganya naik terus.
Bu Rahma memang menanggapi obrolan saya seperti itu. Tapi saya kira Bu Rahma tahu kalau saya membincangkan itu hanya karena ingin menghindari persoalan yang membuat Bu Rahma datang kemari. Dan cara itu sepertinya tidak bertahan lama. Bagaimanapun, Bu Rahma sudah berumur. Bu Rahma tidak mudah diakali.
Dari ekspresi wajahnya saja, saya sudah bisa menduga bahwa diam-diam Bu Rahma menanti kesempatan untuk mulai membahas soal anaknya—dugaan yang tak lama kemudian terbukti. Seusai bercerita soal harga cabai dan minyak goreng, Bu Rahma langsung menyambung, ”Begini, Kang Zaki, seperti yang sudah kita obrolkan di WA kemarin, saya kemari untuk nanyain soal anak saya.”
”Soal Syarif ya, Bu? Baru pulang sekolah ini. Sebentar, biar saya panggilkan,” jawab saya setelah diam agak lama dan menarik napas dalam-dalam.
Saya mengatakan itu sembari hendak beranjak dari kursi. Saya berharap Bu Rahma tak terlalu cepat tanggap sehingga saya bisa keluar dan berlama-lama mencari Syarif. Namun, cara untung-untungan itu tidak berhasil. Sebelum saya sepenuhnya berdiri, Bu Rahma sudah lebih dulu meminta untuk nanti saja memanggil anaknya.
Bu Rahma sungguh tak memberi saya kesempatan karena langsung bertanya: ”Jadi gimana anak saya itu, Kang Zaki? Kemarin pas pulang waktu liburan, saya minta baca kitab kok belum bisa? Pas saya tanyain di sini diajarin apa, jawabannya nggak jelas. Dia tiga tahun di sini lho, Kang Zaki, masa belum bisa baca kitab sama sekali?”
Bu Rahma berhenti dan menatap saya. Saya sendiri tak berkata apa-apa dan sengaja mengerutkan dahi. Saya tahu itu akan memperlihatkan kekurangsenangan saya. Tapi biarlah. Saya ingin melakukan itu sembari menunggu keluhan Bu Rahma dikeluarkan semua.
”Pas saya liatinscreenshot bahasa Arab dari video pengajiannya Gus Baha, anak saya juga nggak bisa nerangin artinya. Padahal saya masukin anak saya ke sini itu karena di Youtube Gus Baha pernah bilang kalau pondok ini bagus lho. Beneran, saya masih nyimpen videonya. Tapi kok anak saya nggak bisa kayak Gus Baha? Gimana itu, Kang Zaki?”
Saya yakin Bu Rahma masih akan menyampaikan banyak hal, sedang saya sendiri ingin sekali mendapat kesempatan untuk mengatakan tak ada Gus Baha di pondok ini. Tapi—saya sungguh sangat bersyukur—Syarif datang menyelamatkan saya. Dia tiba-tiba sudah berdiri di pintu kantor pondok lalu berjalan masuk dan langsung duduk di samping ibunya. Bu Rahma diam seketika, agak lama, sebelum bertanya, ”Sehat, Nak?”
Baca juga : Kronik Bukit Api
III
Di kantor pondok, setelah berdiri sebentar di pintu, saya langsung duduk di sebelah ibu saya. Saya sengaja melakukan itu bahkan tanpa mengucap salam. Saya sudah tahu ibu saya kemari saat pulang sekolah tadi melihat Alphart putih terparkir di halaman pondok. Saya pun tahu siapa yang ibu temui saat ini. Siapa lagi kalau bukan pengurus kamar saya?
Saya juga tahu untuk apa ibu saya kemari. Apa lagi kalau bukan untuk mengeluh kepada Kang Zaki tentang kenapa saya tak kunjung bisa ngaji seperti Gus Baha? Saya masih saja ingin tertawa tiap kali mendengar keinginan ibu saya itu. Dan saya kira, seperti biasa, Kang Zaki tidak akan menjawabnya. Saya sudah kerap melihat Kang Zaki melakukan itu, baik ketika menemui ibu saya atau wali-wali santri lainnya.
Jadi gimana anak saya itu, Kang Zaki? Kemarin pas pulang waktu liburan, saya minta baca kitab kok belum bisa? Pas saya tanyain di sini diajarin apa, jawabannya nggak jelas. Dia tiga tahun di sini lho, Kang Zaki, masa belum bisa baca kitab sama sekali?
Saat saya mau masuk ke kantor pondok, respons ibu saya dan Kang Zaki pun tepat seperti yang ada dalam pikiran saya: ibu saya langsung terdiam, sementara Kang Zaki tampak lega. Dalam hati, saya tersenyum; kehadiran saya sepertinya di luar dugaan keduanya.
”Sehat, Nak?” tanya ibu saya setelah diam agak lama.
Seperti biasa, saya tak menjawabnya. Saya hanya mengangguk sebab tahu tak lama lagi ibu saya akan kembali mulai membicarakan alasan kenapa saya tak kunjung bisa ngaji seperti Gus Baha. Padahal, Kang Zaki jelas sekali tampak tidak terlalu minat menanggapinya. Saya heran, apa yang membuat ibu saya tidak bosan-bosan mempersoalkan hal ini? Saya juga penasaran, apakah menanggapi keluhan wali santri memang semenyebalkan itu?
Saya menarik napas dan memutuskan untuk tidak berpikir lebih jauh lagi. Saya lebih memilih untuk melirik ke atas. Sebab, kipas di langit-langit itu mengingatkan saya pada tugas saya sekarang: tidak ikut andil apa-apa dalam pembicaraan; cukup diam, menunggu, dan mengamati. Serahkan semuanya pada orang dewasa.
Mlangi, 20 November 2022
***
Syafiq Addarisiy, pengajar di PP Assalafiyyah dan alumnus di Jurusan Sastra Indonesia UNY. Senang mendengarkan musik, menonton film, menulis, dan membaca. Bergiat di Komunitas Susastra dan Sindikat Muda, Liar, Ngantukan. Beberapa tulisannya tersiar di Koran Tempo, Kompas.id, Basabasi.co, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Radar Selatan, majalah Pewara Dinamika, dan lain-lain. Dapat dihubungi melalui surel: addarisiy13@gmail.com dan Instagram: @syafiqaddarisiy.