Rupa Cinta dalam Inspirasi Tanpa Batas
Pameran lukisan karya Yoes Wibowo yang merupakan ilustrasi dari seluruh puisi dalam buku ”Rupa Cinta” karya para penyair Perempuan Penulis Padma (Perlima) menjadi kolase bahwa cinta ialah sumber inspirasi tak berbatas.
”Ada pelangi di mataku, Sayang/
Aku tak bisa lagi bersamamu/”.
Penggalan puisi berjudul ”Ada Pelangi di Matamu” karya Stebby Julionatan itu terpampang pada kertas putih persegi panjang yang menempel di dinding tangga ke lantai dua Art Lab Lounge di Jalan Darmokali, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (14/1/2023). Puisi itu merupakan bagian dari kumpulan puisi dalam buku Rupa Cinta oleh Perempuan Penulis Padma (Perlima).
Sabtu itu merupakan peluncuran buku kumpulan puisi, sekaligus pembukaan pameran lukisan karya Yoes Wibowo yang digelar di lantai dua Art Lab Lounge. Sebanyak 40 lukisan dari 46 lukisan cat air pada kertas merupakan ilustrasi dari seluruh puisi Rupa Cinta.
Di lantai dua, lukisan ”Ada Pelangi di Matamu” dibuat dengan cat air pada kertas berukuran 30 sentimeter (cm) x 40 cm dalam bingkai kuning kecoklatan. Ada obyek berupa kurva menyerupai mata berona pelangi atau warna warni gradasi. Ada obyek awan putih dengan garis tepi biru muda, obyek bangunan hitam serupa rumah, obyek dedaunan dan ada yang berambut atau berduri seperti kaktus, aksara A, dan goresan putih.
Sulit untuk memahami lukisan itu. Namun, ilustrasi tadi menjadi hidup ketika puisi ”Ada Pelangi di Matamu” dibaca. Demikianlah cukilan syair dalam buku Rupa Cinta pada halaman 64.
Suatu pagi, suamimu mendatangimu dan berkata: ”Ada pelangi di mataku” …
Foto laki-laki muda sixpack di handphone-nya, bookingan Traveloka, dan beberapa transferan yang dikatakannya sebagai sumbangan ke panti asuhan …
Dan dengan suara yang sama berat kau pun bertanya : “Lantas perkawinan kita ini apa?”
Aku tak bisa lagi bersamamu
Aku bisa menerimamu, Mas. Aku bisa membuatmu normal.
Ada pelangi di mataku, Sayang. Aku tak bisa lagi bersamamu …
Dari puisi itu akhirnya tergambar bahwa Yoes ingin mengilustrasikan masalah dalam suatu rumah tangga. Si suami ternyata homoseksual, tak lagi mencintai si istri. Pelangi pada netra menjadi perlambang keragaman. Kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) menjadikan pelangi sebagai simbol mereka dan dunia dianggap bisa menerima dan memahami.
”Lukisan ilustrasi ’Ada Pelangi di Matamu’ cukup menguras energi karena berat dalam pembuatannya,” ujar Yoes.
Yoes membuat 46 ilustrasi dengan jumlah yang sama dengan seluruh puisi dalam buku Rupa Cinta. Namun, yang dipamerkan tidak semua atau hanya 40 lukisan. Dimensi lantai dua galeri pameran menjadi alasan tidak semua lukisan bisa Yoes pamerkan. ”Semua lukisan dibuat dalam rentang waktu enam bulan di tahun lalu,” katanya.
Pameran akan berlangsung sampai dengan Minggu (22/1/2023). Pembukaan pameran dimeriahkan dengan orasi budaya oleh penyair Madura KH Zawawi Imron, peluncuran buku Rupa Cinta, dan musikalisasi puisi-puisi dari Rupa Cinta.
Getar
Zawawi dalam orasi budaya mengatakan, karya seni berupa puisi yang kemudian dibuat ilustrasi atau lukisan dan didendangkan melalui musikalitas seolah matahari terbaik. Mentari terbaik bukan takdir bahwa terbit di ufuk timur dan menuju peraduan di cakrawala barat. Karya seni seolah matahari yang terbaik jika muncul dari hati.
Puisi ialah seni kata. ”Puisi adalah untaian kata atau istilah yang menggetarkan jiwa,” kata Zawawi.
Bagi penyair, berbicara cinta enggan dilakukan secara lugas dan menukik. Cinta bisa dibuat mbulet, tetapi merebut dan melelehkan hati. Seperti yang dicontohkan Zawawi dalam ungkapan izinkan aku memiliki cantikmu yang sungguh tak bisa kumaafkan.
”Kalau misalnya istilah tadi disebut gombal mungkin yang menyatakannya tidak pernah mau kesulitan dalam seni kata,” kata penyair berusia 78 tahun yang setia menetap di tanah kelahiran di Batang-batang, Sumenep. Daerah di ujung timur Pulau Madura itu menjadi sumur inspirasi karya-karyanya.
Penggiat seni dan jender Heti Palestina Yunani mengatakan, tema rupa cinta merupakan kolase yang tak pernah selesai. Cinta yang sekadar untaian huruf c-i-n-t-a menjadi inspirasi untuk karya seni kata atau puisi oleh 23 penyair Perlima dan 46 lukisan karya Yoes. Lema cinta menjadi sumber kreasi karya dari karsa yang tak akan habis, tak pernah kering.
Dalam lukisan, Yoes tidak sekadar menggoreskan pasta cat warna-warni ke kertas. Yoes, suami dari Wina Bojonegoro, pendiri Perlima, juga merekatkan, misalnya, sobekan kertas atau tisu. Sejumlah lukisan bergaya kolase dengan keberadaan obyek-obyek yang direkatkan.
Menurut Heti, kolase sebagai gaya modern seni rupa terkait dengan maestro kubisme Pablo Picasso dan George Braque pada awal abad ke-20. Meskli demikian, sejarawan seni meyakini kolase sudah dipraktikkan oleh seniman kaligrafi dari Jepang mulai abad ke-10 ketika membuat puisi.
Kolase juga menjadi bagian dari surealisme yang seolah kontradiksi antara kenyataan dan konsepsi mimpi. Ada obyek-obyek dalam dunia nyata, tetapi digoreskan, direkatkan, disusun yang seolah acak sehingga menghadirkan realitas baru yang mungkin menutupi atau menyamarkan.
Jika memang demikian, puisi juga merupakan kolase, surealisme. Ada pemilihan, pemilahan, perekatan aksara dan lema untuk menghadirkan realitas yang menyamarkan, mendayu, dan kurang lugas. Apalagi tema yang diangkat ialah cinta, konsepsi yang bisa dipandang berbeda dalam pemahaman setiap individu penghuni Bumi yang berjumlah 7,88 miliar jiwa.
Rupa cinta itu beragam. Komposisi apa pun, tetapi dari bahan yang sama, yakni c-i-n-t-a. Bisa nyata, bisa tidak nyata. ”Bisa jadi itu cinta. Bisa jadi itu bukan,” kata Heti.