Tarian Kelelawar Biru
Abu Hasaant tidak berusaha menyelamatkan penduduk yang terluka. Ia malah mengumpulkan selongsong peluru yang ditembakkan tentara tzahal.
/1/ Tangisan Sebutir Peluru
Semua orang di Rafah, wilayah sekitar Gaza, mengenal baik Abu Hasaant. Ia orang baik, tapi sering berpikiran tak masuk akal setelah putrinya, Ammal, terkena peluru nyasar seorang Tzahal di suatu siang. Dari kejadian itu, setiap kali selesai serangan mendadak dari Tzahal ke permukiman penduduk, Abu Hasaant akan datang memeriksa tempat serangan. Di sana Abu Hasaant tidak berusaha menyelamatkan penduduk yang terluka. Ia malah mengumpulkan selongsong peluru yang ditembakkan tentara Tzahal.
Orang-orang di Distrik Rafah tidak mengerti mengapa peluru-peluru itu dikumpulkannya. Padahal selongsong itu tidak laku dijual di pasar loak mingguan yang tidak jauh dari kamp-kamp pengungsian Nusseirat.
”Apa gunanya mengumpulkan selongsong peluru kosong?” Ismail pernah bertanya kepada Abu Hasaant. ”Kau hanya memenuhi dirimu dengan sampah.”
”Ini bukan sampah,” jawab Abu Hasaant. ”Ini harapan.”
”Harapan?” Ismail kebingungan. ”Harapan bagaimana?”
”Harapan yang disalah gunakan manusia,” lanjut Abu Hasaant.
”Kau gila!” Ismail sedih melihat kawannya itu.
”Sulit menjelaskannya kepadamu,” Abu Hasaant menjawab dengan senyum. ”Aku ingin mengurus ceceran harapan ini, lalu menguburnya.”
”Jadi kau mengubur peluru-peluru itu layaknya manusia?” tanya Ismail lagi.
”Oh, terserah apa yang akan kau katakan nanti,” pekik Abu Hasaant. ”Tapi aku sering mendengar mereka menangis.”
Ismail tidak peduli dengan penjelasan Abu Hasaant. Ismail menganggap kalau Abu Hasaant sudah senewan seperti yang sering dikatakan oleh penduduk Distrik Rafah.
Ismail berlalu dengan mengumpat-umpat melihat tindakan Abu Hasaant yang konyol. Sedangkan Abu Hasaant tenang mengumpulkan ceceran selongsong peluru, sambil menahan pedih di hatinya mendengarkan tangisan pilu para selonsong dan mata peluru.
/2/ Permintaan Maaf Sebutir Peluru
Tidak ada satu orang pun yang percaya bahwa ia sering mendengar peluru-peluru itu menangis. Pertama kali Abu Hasaant menyadari kalau peluru itu juga memiliki perasaan seperti manusia terjadi setelah putrinya tertembak secara tidak sengaja tak jauh dari Masjid Abu Alif Rafah. Putrinya waktu itu baru saja pulang dari toko kue yang berada di Jalan Al-Imam Ali, setelah sebelumnya membeli kue baklava. Putrinya tertembak di bagian dada.
Dokter yang mengurus tubuh Amal berhasil mengeluarkan peluru tersebut. Cuma dokter itu tidak mampu menyelamatkan nyawa anaknya dari kehabisan darah dan kerusakan organ.
”Tuhan lebih mencintai putrimu untuk menghuni surga,” jelas si dokter.
Abu Hasaant segera menangis mendengar putrinya meninggal. Bahkan tangisan itu tidak berhenti setelah pemakaman putrinya selesai di kompleks makam Al-Hikmah.
Abu Hasaant sangat terpukul dengan kematian anaknya. Ia merasa bersalah tidak mengantarkan anaknya untuk mencari kue kesukaannya tersebut—karena sebenarnya si anak sempat minta diantarkan, tapi Abu Hasaant malah sibuk mengecat dinding rumahnya.
Setelah sepanjang hari mengikuti upacara pemakaman anaknya, Abu Hasaant mengurung dirinya di kamar. Di tengah rasa sepi hatinya, Abu Hasaant mendengar tangisan lain dari dalam sakunya.
”Apakah benar peluru ini menangis?” Abu Hasaant kebingungan. ”Aku salah dengar?”
”Kau bisa mendengar tangisanku?” tanya si peluru.
Abu Hasaant tercenung cukup lama dengan kejanggalan itu. Apalagi kini peluru itu berbicara dengannya.
Abu Hasaant seketika berpikir: kesedihan membuatnya gila. Ia pun segera meletakkan peluru itu dengan hati-hati di depannya. Kemudian Abu Hasaant menampar wajahnya sebanyak tiga kali.
”Apakah aku benar-benar bisa mendengarkan peluru ini menangis?” Abu Hasaant bingung.
”Ya tangisan itu adalah tangisanku,” sahut si peluru. ”Jadi kau bisa mendengarkan suaraku?”
”Aku bisa mendengarkannya,” Abu Hasaant merasa berhalusinasi.
”Maafkan aku,” segera peluru itu memekik keras. ”Maafkan aku telah membunuh anakmu. Tapi aku tak pernah ingin membunuhnya.”
Peluru itu kemudian menceritakan kepada Abu Hasaant apa yang sebenarnya terjadi.
Peluru itu memang sengaja ditembakkan untuk menciptakan keributan di tengah keramaian pada Jalan Al-Imam Ali di tengah pasar tradisional Al-Burjh. Salah seorang Tzahal yang waktu itu ditugaskan untuk menyamar menjadi masyarakat sipil, menembakkan secara serampangan peluru tersebut, hingga akhirnya mengenai Amal. Si bandit kemudian pergi dengan mobil kapsul hitam bersama kawannya.
”Aku memang diciptakan untuk membunuh,” ungkap si peluru. ”Tapi aku tidak pernah ingin membunuh.”
”Kau tidak bersalah.” Abu Hasaant tiba-tiba mengatakan itu. Padahal hatinya sangat sedih. ”Manusialah yang bersalah. Mereka berperang demi kepentingan pribadinya.”
Peluru itu sekali lagi meminta agar Abu Hasaant memaafkannya. Abu Hasaant segera mengabulkan permintaan itu.
”Tangan manusialah menciptakan kehancuran,” desis Abu Hasaant begitu murung.
”Dan tidak ada yang salah dari seluru benda ciptaannya.”
Peluru itu menangis cukup lama dengan Abu Hasaant. Tangisan mereka terdengar begitu menyedihkan bagi siapa saja yang mendengarnya dari luar pintu apartemen Abu Hasaant.
Setelah cukup lama mereka menangis, si peluru meminta kepada Abu Hasaant untuk menguburnya di suatu tempat agar dapat istirahat dengan tenang. Selain itu, si peluru juga meminta kepada Abu Hasaant untuk mengubur peluru-peluru lainnya bila kelak ia bertemu di suatu tempat.
”Dengan menguburnya, semua rasa bersalah dari kekejaman yang telah kami ciptakan dapat sedikit teredam,” jelas si peluru. ”Jadi mohon kabulkanlah permintaanku ini.”
Abu Hasaant mengangguk dan melakukannya.
/3/ Peluru dan Kepak Kelelawar
Hari berikutnya, setelah Abu Hasaant mengubur peluru yang membunuh anaknya, secara ajaib dari gundukan kuburan peluru itu keluar seekor kelelawar bercahaya biru. Kelelawar itu terbang ke langit Gaza.
”Apa aku tidak salah lihat?” desis Abu Hasaant. ”Peluru itu berubah menjadi kelelawar.”
Dari kejadian tidak masuk akal tersebut, Abu Hasaant mulai mengumpulkan selongsong atau mata peluru sisa peneyerangan yang ditemukannya secara tak sengaja. Demikianlah malam itu adu tembak antara Tzahal dan kelompok perjuangan lokal di dekat kompleks apartemennya kembali terjadi.
Memasuki pukul 12 malam, rentetan tembakan mulai sayup terdengar. Tidak segaduh sebelumnya. Tapi suara-suara menyedihkan lain dari para peluru mulai terdengar.
”Aku mulai mendengarkan tangisan peluru,” desis Abu Hasaant. ”Pasti ada ratusan peluru yang secara terpaksa membunuh seseorang malam ini.”
Sebuah peluru tiba-tiba nyasar mengenai kaca apartemen Abu Hasaant. Ia kemudian mendengar sayup-sayup pekik tangisan dari peluru itu. ”Kau baik-baik saja bersamaku,” tenang Abu Hasaant.
”Aku sumber petaka!” peluru itu merengek. ”Dunia ini hancur karena aku.”
”Tidak,” Abu Hasaant menenangkan. ”Kau adalah harapan manusia yang disalahgunakan.”
Setelah menunggu sekitar satu jam, hingga Abu Hasaant sendiri tertidur di kolong kamarnya, pertempuran dua kubu itu berakhir. Abu Hasaant pun pelan-pelan mulai keluar dari apartemennya. Ia mencoba mengais-ngais peluru yang dapat dijangkaunya dengan mudah di sekitar apartemen.
”Seharusnya para pasukan itu sudah pergi meninggalkan tempat ini,” Abu Hasaant tetap memasang sikap hati-hati. ”Malam ini aku akan menolong kalian.”
Abu Hasaant saksama mencari mata peluru atau selonsong peluru di bawah kakinya. Setiap kali Abu Hasaant menemukannya, ia selalu mendengar tangisan dan kutukan sesal.
”Aku telah membunuh orang,” tangisan sebuah peluru. ”Aku membunuhnya.”
Abu Hasaant menghampiri sisa mata peluru itu. Ia kemudian berusaha menghiburnya.
”Kau adalah sosok baik,” lerai Abu Hasaant. ”Kau tidak pernah salah.”
Ia dengan lembut memasukkan mata peluru itu ke kantong merah yang selalu dibawanya ke mana-mana.
Setelah kantong itu penuh dengan selongsong atau mata peluru, Abu Hasaant membawanya pulang. Namun malam itu, tanpa disadari oleh Abu Hasaant, ada sesuatu yang menunggu nasibnya. Seorang mata-mata zionis yang sudah membaca kisah hidupnya di koran lokal Knesset, berusaha mencari tahu perbuatan Abu Hasaant.
”Ada yang mengikutimu,” kata salah satu peluru dari kantung merahnya. ”Mereka mungkin ingin berbuat jahat kepadamu.”
Abu Hasaant yang mengetahui segera berlari menuju apartemennya. Mata-mata yang mengikutinya kaget. Si mata-mata akhirnya menembak mati Abu Hasaant.
Baca juga: Cerita Tanpa Cerita
/4/ Para Peluru Mengantar Abu Hasaant ke Surga
Sepanjang malam, mayat Abu Hasaant hanya dibiarkan teronggok—setelah tertembak—tanpa ada yang mengetahuinya. Anjing-anjing liar bahkan sempat ingin memakannya. Seluruh peluru yang dikumpulkan Abu Hasaant segera melindunginya dan menangis histeris mengetahui Abu Hasaant mati.
”Dunia ini bukanlah tempat bagi orang-orang sepertinya,” kata setiap peluru di sana.
”Ia lebih pantas di surga.”
”Kita harus mengantarkannya ke surga,” tambah para peluru lain. ”Kita harus menempatkannya di dekat Tuhan.”
Selonsong dan mata peluru yang jumlahnya puluhan seketika menjadi kelelawar bercahaya biru. Kelelawar itu syahdan merubung mayat Abu Hasaant, hingga tubuh itu menjadi serpihan abu berwarna biru yang perlahan-lahan hanyut diembus angin ke langit dengan para kelelawar. (*)
Risda Nur Widia. Kini sedang kuliah S-3 di Pendidikan Bahasa Indonesia UNY. Buku kumpulan cerpen tunggal Berburu Buaya di Hindia Timur (2020).