Aku menghela napas panjang, sebenarnya masih banyak kisah warga kampung yang bisa kuceritakan. Aku banyak mencermati warga kompleks, mengorek informasi hingga ke ruang paling tersembunyi, dan mengetahui aib mereka.
Oleh
Puspa Seruni
·8 menit baca
Ada lima permen kujajarkan di atas meja, dua permen rasa cherry, satu permen rasa mint, satu rasa anggur, dan satu lagi rasa jahe. Di sebelahnya masih ada tiga permen pelega tenggorokan yang diberikan oleh Pak RT kemarin sore. Di kumpulan lainnya lagi, ada dua biji permen susu yang kudapatkan dari warung Bu Yayuk sebagai kembalian uang belanja. Pemberian permen-permen itu membuatku jengkel, bukan karena Bu Yayuk mengganti uang recehan dengan permen, tetapi karena ucapan Pak RT dan ibu-ibu kompleks yang menganggap aku perlu mengemut permen itu ke mana-mana. Apalagi saat mengingat wajah para pemberi permen yang menatapku dengan pandangan meringis sekaligus cemas.
Dalam satu bulan terakhir, pemberian permen memang kerap kali kuterima dari orang-orang yang kutemui. Awalnya, aku merasa itu adalah sebuah bentuk perhatian dan keramahan saat aku berkunjung ke rumah para tetangga. Pemberian permen itu semakin membuatku betah duduk mengobrol di teras mereka, tetapi saat Pak RT mulai ikut-ikut memberikannya juga—apalagi disertai pandangannya yang menatapku dengan takut-takut—aku mulai menaruh curiga. Jangan-jangan, mereka menyelipkan sesuatu, mungkin racun atau jampi-jampi untuk menjatuhkanku. Bisa jadi, kan? Meski di depanku mereka bersikap baik dan ramah, aku selalu tidak bisa mempercayai tetangga dan Pak RT sepenuhnya.
Isu bahwa aku akan mencalonkan diri sebagai ketua RT tahun depan mungkin membuat Pak RT memcoba mempengaruhi warga untuk tidak memilihku. Pak RT sudah dua kali terpilih dan mungkin terobsesi untuk terpilih pada periode selanjutnya dan karena itulah segala cara dia lakukan untuk menjegalku. Aku, sih, tidak masalah. Toh, aku tahu kapasitasku yang jauh di atas Pak RT. Warga tentu akan lebih memilihku untuk menjadi RT, apalagi itu akan menjadi terobosan baru seorang perempuan menjabat sebagai ketua RT.
Aku menghempaskan tubuh dengan kesal pada kursi kayu yang dibeli beberapa waktu lalu. Kuraba permukaan kayu yang halus dan berpelitur coklat itu. Sebuah mahakarya dari seorang perajin kayu di pesisir Jawa yang sengaja kuletakkan di teras supaya semua orang yang datang atau sekadar melintas tahu bahwa perabot di rumahku memang selalu berkualitas nomor satu. Sambil mengagumi kursi sultan milikku, aku mencoba menganalisis maksud dan tujuan pemberian permen-permen itu.
Mari kita cermati satu per satu pemberi permen itu. Kita mulai saja dari Pak RT. Pak RT, siapapun tahu, dia hanya pensiunan pegawai kecamatan yang karena ketelatenannya mengurus warga dipilih sebagai ketua RT. Sebagai pensiunan tentu gajinya tidak seberapa, apalagi kudengar dia juga hanya pegawai rendahan. Alasan kenapa dia terpilih sebagai ketua RT karena dia telaten membantu warga mengurus administrasi kependudukan di kantor kecamatan dan Dinas Kependudukan, menjadi penengah jika ada warga bermasalah, dan tentu sebagai pensiunan dia memiliki banyak waktu luang untuk memperhatikan warga. Meski gaji sebagai ketua RT tidak seberapa, tetapi kuduga pungutan liar yang dilakukannya mampu membuatnya mampu menambah aset pribadinya.
Berbeda lagi kisah Bu Manda, pemberi permen cherry yang pagi tadi kutemui di Mang Jajang sayur, Perempuan berusia awal tiga puluhan dan beranak satu itu merupakan pekerja kantoran yang hidup sendirian. Kuduga dia dicerai sama suaminya karena terlalu sibuk bekerja atau bisa juga karena penampilannya. Aku bertanya-tanya, apa alasan dia membeli rumah di kampung yang jarak ke kantornya di kota kabupaten hampir tiga puluh kilometer. Desas-desus yang kudengar dia memiliki hubungan gelap dengan seorang pengusaha kayu, karena itulah rumahnya—meski berukuran tidak terlalu besar—terlihat berseni dengan penggunaan kayu-kayu jati tua pada jendela, tiang-tiang penyangga hingga pengaturan taman yang dipenuhi bunga-bunga dan rerumputan.
Setiap acara pengajian, dia selalu menjadi pusat perhatian. Wajahnya yang seputih susu, matanya yang bulat bersinar, hingga tutur katanya yang lembut, meresahkan banyak perempuan. Kuminta ibu-ibu di kampung ini erat memegangi suami-suami mereka, bukan tidak mungkin, kan, Bu Manda diam-diam menjadi duri yang mengancam kelangsungan rumah tangga warga. Bagiku, kehadiran Bu Manda adalah sebuah bencana bagi kampung ini, dan aku sudah punya rencana untuk membuatnya pindah.
Lain lagi kisah Bu Yayuk, pemilik warung yang biasa dijadikan tempat ibu-ibu kompleks mengobrol sambil berbelanja. Meski hanya pemilik warung kelontong kecil dan suami yang stroke sejak lima tahun lalu, dia mampu membiayai anak-anaknya kuliah. Bahkan anak bungsunya melanjutkan ke S2. Aku curiga, di sela aktivitasnya berjualan, dia menyelipkan usaha membungakan uang. Pasalnya aku mendengar, beberapa warga bahkan Imah—pembantu di rumahku—pernah meminjam uang kepadanya saat kepepet. Katanya, Bu Yayuk selalu ringan tangan menolong yang sedang membutuhkan.
Aku menghela napas panjang, sebenarnya masih banyak kisah warga kampung yang bisa kuceritakan. Aku sudah banyak mencermati warga kompleks, mengorek informasi mereka hingga ke ruang paling tersembunyi, dan mengetahui aib-aib mereka semua. Aku menganalisis mereka sebagai bagian dari persiapan mencalonkan diri sebagai RT mendatang. Hasil analisa yang nantinya aku gunakan untuk membuat mereka memilihku di acara pencalonan itu.
Aku berdiri lalu melangkah ke depan pintu. Saat daun pintu mulai terbuka, seketika bau bangkai menyeruak, bertubi-tubi mendesak rongga dada, membuat sesak dan perutku terasa bergolak.
“Imah ... Barjo .... sudah periksa plafon belum? Bangkainya sudah dibuang?” Aku mulai menutup hidung dan mulutku dengan tangan kanan, sambil tetap berdiri di ambang pintu. Bau itu semakin menusuk.
“Imah ... Barjo ....”
Sampai otot leherku bertonjolan, sepasang suami istri yang sudah bekerja kepadaku selama tiga tahun itu tidak juga menyahut apalagi menghampiriku.
Aku melangkah masuk dan disambut empat pot sedap malam yang diletakkan di pojok ruang tamu. Sedangkan di meja, seikat mawar merah di letakkan dalam vas berukuran sedang. Aku terus masuk menuju ruang makan dan dapur. Jambang berisi kelopak melati serta mawar di letakkan di tengah meja makan dan pot-pot tanaman arumdalu di susun di rak bunga di dekat dapur. Aku telah menyuruh Imah dan Barjo membeli banyak bunga beraroma kuat untuk menghilangkan bau dari rumah ini, tetapi sepertinya tidak berhasil.
Aku membuka pintu kamar satu per satu, kosong. Aku menuju dapur, juga kosong. Aku berlari ke halaman belakang, tetap kosong. Aku menggerutu, di mana orang-orang ini. Apa Imah dan Barjo juga pergi seperti suamiku yang awal minggu lalu meninggalkanku: padahal sudah kubilang kepadanya bau bangkai ini akan kuatasi dengan segera. Aku hanya butuh beberapa botol lagi pewangi ruangan, mungkin lebih banyak bunga dan sedikit teriakan kepada Barjo agar segera memeriksa plafon—karena kuduga dari sanalah bau itu berasal, entah dari bangkai tikus atau yang lain.
“Imah ... Barjo ....”
Urat leherku nyaris putus rasanya karena sejak tadi berteriak kepada dua orang pekerja yang belum juga muncul. Mungkin sudah saatnya aku memecat mereka. Selama ini aku tidak pernah bisa bertahan lama dengan pembantu rumah tangga, Imah termasuk yang paling lama, mungkin karena itu dia mulai banyak berbantah. Barjo apalagi. Kerjanya cekatan tetapi seperti sapi penarik pedati, harus dipecut dulu untuk bisa berjalan cepat dan perintahku dituruti.
Aku kembali masuk ke dalam rumah, menuju dapur. Kuteguk segelas air putih yang baru kutuang. Setelah meletakkan gelas, pandanganku beralih ke ruang makan. Ada sesuatu di atas meja dan aku bergegas mengambilnya. Sebungkus permen mint rasa buah serta satu lembar kertas lusuh dengan tulisan tangan yang kukenal adalah milik Shifa, anakku yang berusia enam tahun. Dia memang suka permen sejak masuk TK, tetapi untuk apa dia meninggalkan permen itu di sini?
Aku mengambil surat itu, perlahan membaca isinya kemudian merematnya dengan geram. Pikiran Shifa sudah diracuni oleh bapaknya. Dia meninggalkan permen ini untukku.
Aku menghembuskan napas ke telapak tangan sambil menghirup aromanya. Ah, tidak seburuk yang disampaikan Pak RT tadi. Orang tua itu benar-benar menyebalkan, gerutuku.
“Mohon maaf sekali, Bu, saya terpaksa menyampaikan ini. Beberapa warga sempat berkeluh kesah kepada saya, menyampaikan bahwa dari rumah ini tercium aroma bangkai, begitu juga saat ibu bicara; di warung sayur, di pengajian ataupun di jalan.”
“Pak RT jangan sembarangan bicara. Saya yakin di antara semua orang di kampung ini hanya saya yang punya jadwal khusus untuk ke dokter gigi.”
Aku berkata dengan dada yang bergemuruh.
“Kami tak meragukan itu, Bu. Warisan ibu sangat banyak, bisnis juga berjalan baik. Siapapun tahu, untuk perawatan tentu sudah ibu lakukan. Hanya saja ....”
“Apa?”
Mataku membulat menatap lelaki yang kepalanya sudah penuh dengan uban itu. Hanya pensiunan pegawai rendahan saja, kok, coba-coba menilaiku.
Aku melemparkan sebungkus permen beserta surat dari Shifa ke lantai, menepis bayangan obrolanku dengan Pak RT tadi pagi. Permen-permen berhamburan dari kantungnya yang robek. Orang-orang ini memang keterlaluan. Suamiku, dua orang pembantu, warga kampung bahkan juga Shifa, bisanya hanya mengeluh dan mengeluh saja. Aku tidak peduli mereka semua menjauhiku. Selama aku masih punya uang, aku bisa mencari pengganti Imah dan Barjo, aku juga sangat yakin suamiku akan kembali nanti. Dan untuk Pak RT juga warga kampung di sini, aku sudah punya rencana, akan kubuat mereka semua menyesal telah memberiku permen.
***
Puspa Seruni, penulis kelahiran Situbondo, Jawa Timur, yang saat ini menjadi pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali. Penulis terpilih sebagai Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022.