Rumah
Ada apa dengan perasaanku beberapa bulan ini? Ke mana perginya buncahan perasaan di awal pernikahan kami.
Putaran roda mobil memasuki halaman rumah bergaya tropis dengan fasad depan dipenuhi rimbun pergola dan lampu taman yang menyala redup. Aku hampir tak percaya, mobil Jeep hitam yang sangat kukenal telah terparkir di dalamnya. Menyisakan ruang untuk mobilku terparkir di sampingnya.
Dari dalam rumah seorang perempuan paruh baya keluar dengan tergopoh-gopoh. Begitu melihatku, dia tersenyum, sambil membungkukkan sedikit posisi tubuhnya.
”Bre pulang jam berapa, Mbok?” tanyaku sambil menutup pintu mobil.
”Sore tadi, Mbak. Kelihatannya Mas Bre kurang enak badan. Wajahnya pucat. Dari tadi hanya mengurung diri di kamar dan belum makan malam, bahkan belum menyapa Ciko, kura-kura kesayangannya di halaman belakang.”
Kulirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Pukul sembilan malam. Berarti saat Bre mengirimkan pesan singkat yang belum juga kubalas, hingga detik ini, dia telah berada di rumah dari perjalanan singkatnya merambah pedalaman Papua. Kepulangan yang lebih cepat dari jadwal yang dijanjikannya.
Kulangkahkan kaki dengan cepat, memasuki ruang tamu. Singgah sebentar di ruang tengah. Menapaki anak tangga demi anak tangga yang berderit halus saat diinjak. Menuju satu ruangan di lantai dua rumahku dengan pintu kayu yang tertutup rapat.
Di depan pintu langkahku terhenti. Entah kenapa mendadak hatiku ragu untuk memasuki kamarku sendiri. Tepatnya, menemui lelaki yang ada di dalam sana. Terakhir kali kami berkomunikasi lewat saluran telepon seminggu yang lalu, dan mengakhiri dengan suasana tegang. Tapi… informasi yang disampaikan Mbok Asih mengenai kondisi lelaki itu menggerakkan jemariku untuk memutar handel pintu dan mendorongnya perlahan.
Mendadak aku terpaku. Apa yang kutemukan di atas ranjang membuat keningku berkerut kencang. Belum pernah kulihat Bre tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuh. Itu bukan Bre Bramasta yang kukenal. Ada apa dengan Bre? Kulangkahkan kaki dengan cepat, mendekatinya.
Pelan…. Sangat pelan, mata Bre yang terpejam perlahan terbuka. Menyadari kedatanganku dia tersenyum tipis. Namun, tubuh itu tak bergerak. Menatap sayu dari balik selimut. Ada yang berusaha diredam, namun tak dapat disembunyikan. Perasaan cemas mendadak menyerangku. Keadaan Bre menjadi fokus perhatianku. Kuraba keningnya cepat. Aku terlonjak. Benar-benar tak percaya.
”Bre… kamu kenapa?” Jantungku mendadak berdegub kencang.
”Bagaimana kabarmu, Kiran?” tanya Bre pelan dengan vibrasi yang terdengar jelas.
Dia masih saja berusaha membuat kondisinya terlihat wajar dan biasa.
”Kamu sakit? Kita ke dokter ya!” Aku benar-benar panik.
”Tidak perlu, aku sudah minum obat,” jawabnya lemah.
”Bre … jangan bandel!” Nada suaraku meninggi. Kuraba sekujur tubuhnya. Panas! Namun Bre terlihat menggigil kedinginan.
”Aku baik-baik saja!”
Aku menggeleng kuat. Menatapnya tak percaya. Puluhan kali Bre melakukan perjalanan. Mendaki puncak-puncak tertinggi, menyusuri urat-urat bumi, sampai melebur dalam kehidupan hutan yang masih perawan, dari dalam negeri sampai ke belahan bumi yang lain, baru kali ini Bre pulang dengan kondisi yang sungguh-sungguh membuat hatiku trenyuh. Padahal… dia hanya pergi ke Papua. Tempat yang sudah sering sekali dikunjunginya.
Tiba-tiba saja Bre menarik tanganku. Menggenggamnya dengan erat di antara panas dingin yang menggigilkan tubuhnya. Menatapku lemah.
”Tolong… peluk aku!” Pintanya.
Tubuhku mematung.
”Hanya itu yang kuinginkan, Kiran!” tatapnya memohon.
Hatiku langsung melesak. Entah kenapa, aku selalu luluh setiap mata sehangat langit senja itu menatapku dengan cara memohon. Padahal, kekecewaan yang belakangan ini sering kutunjukkan padanya, secara jelas, menguatkan hatiku untuk tidak gampang jatuh lagi pada tatapan itu. Bagai terhipnotis, tubuhku malah jatuh dan berbaring di ranjang. Menyusup masuk ke dalam selimut. Memeluknya dari belakang.
”Aku langsung pulang menemuimu begitu mendarat di bandara!” ucapnya memberi penjelasan, tanpa kuminta. ”Apa kau senang Kiran?”
Aku hanya diam. Sepertinya, Bre sedang berusaha mencairkan suasana tegang yang sering terjadi di antara kami akhir-akhir ini, walau jarak sering memisahkan kami. Protes yang sering kulayangkan padanya, beberapa bulan terakhir ini, akhirnya ampuh membawanya untuk langsung menemuiku hari ini. Terlalu sering aku merasa diabaikan. Acapkali aku merasa sendiri. Ya… aku hanya ingin dia meluangkan lebih banyak waktu bersamaku. Permintaan sederhana, tapi, entah kenapa, sulit sekali bagi Bre untuk mengabulkannya. Tidak seperti di awal-awal masa pernikahan kami.
”Aku merindukanmu!” ucap Bre, menyadari ada jeda panjang di antara kami. Ditariknya lenganku. Menenggelamkan tubuhnya lebih dalam, merapat dalam dekap pelukku. ”Apa kau merindukanku, Kiran?”
”Ya...,” jawabku, namun hanya di hati saja. Kurasakaan tubuh ini ikut menahan rasa sakit yang sama, untuk alasan yang berbeda.
Ada apa dengan perasaanku beberapa bulan ini? Ke mana perginya buncahan perasaan di awal pernikahan kami, mendorong troli bersama menyusuri lorong-lorong supermarket, berdebat hanya untuk memilih merek mie instan favorit. Sungguh, aku perempuan yang begitu lemah hanya dengan perhatian-perhatian kecil dari lelaki.
”Kebahagiaanmu semu Kirana!” Selalu itu yang Ibu ucapkan saat kukatakan, aku bahagia hidup bersama Bre, dan meminta Ibu untuk sekali saja membuka pintu hatinya, melihat bagaimana Bre memperlakukanku sebagai perempuan yang dicintainya.
”Secara fisik dia memang terlihat kaku dan jarang tersenyum. Mungkin sebagai arkeolog dia terlalu sering bermain-main dengan benda purbakala, hingga wajahnya selalu terlihat serius. Tapi dia begitu lembut dan penuh kasih saat memperlakukanku, Ibu!” jawabku waktu itu.
”Itu karena lelaki itu sudah berpengalaman,” bantah Ibu. ”Kamu masih muda Kiran, berpendidikan, pekerjaanmu juga bisa menghidupi dirimu sendiri. Hidupmu tidak tergantung padanya. Harusnya kau bisa memilih lelaki yang tepat.”
Aku hanya bisa mengusap dada. Begitu sulit meluluhkan perempuan berhati sekeras karang yang telah membesarkanku seorang diri, untuk menerima lelaki yang telah menikahiku, secara diam-diam, tiga tahun yang lalu, dan meletupkan bara di hati Ibu.
***
Mendadak aku dikejutkan oleh sebuah ciuman. Mendarat tepat di bagian atas kepalaku, dari belakang. Memutus rantai konsentrasiku. Mataku yang terpejam seketika menyalang. Tubuhku yang sedang bersila di atas matras, menghadap kolam koi kecil di halaman belakang, langsung bereaksi. Memutar kepala beberapa derajat, dan menemukannya.
Bre berdiri tepat di belakangku. Kemeja warna khaki dan celana dengan warna senada telah melekat di tubuhnya.
Aku mengernyitkan kening.
Bre membungkukkan badan.
”Aku mau ke kantor,” ucapnya pelan, hati-hati sekali, tepat di telingaku.
”Oh no, Bre…” Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Membalikkan badan.
Secara fisik dia memang terlihat kaku dan jarang tersenyum. Mungkin sebagai arkeolog dia terlalu sering bermain-main dengan benda purbakala, hingga wajahnya selalu terlihat serius. Tapi dia begitu lembut dan penuh kasih saat memperlakukanku, Ibu!
Menatapnya tajam. Satu jam yang lalu, saat aku meninggalkannya di kamar, dia masih tertidur dengan pulas. Kesehatannya masih belum pulih benar. Aku dapat mendeteksi itu. Tapi sekarang, wajah di hadapanku ini tampak berseri-seri dengan semangatnya. ”Tunda dulu! sampai kondisimu benar-benar pulih,” pintaku memohon.
”Aku bosan. Sudah beberapa hari di rumah saja. Berdiam diri di kamar, menonton televisi, justru membuatku bertambah sakit.”
”Kali ini tolong dengarkan aku!” Pintaku sekali lagi. Ritual yoga yang sedang kulakukan benar-benar buyar.
”Aku janji tidak akan lupa minum obat tepat waktu.” Mimik wajahnya seperti anak kecil yang sedang merengek pada ibunya untuk dibelikan mainan.
Aku mengalah. Sejak sakit, sikap Bre berubah sedikit manja. Sesuatu yang belum pernah ditunjukkannya selama ini. Bre yang selalu berbicara lugas dan tegas setiap menjadi pembicara di seminar-seminar keilmuannya. Yang bersikap kaku dan pelit tersenyum, bertingkah seperti bukan dirinya. Tapi entah kenapa aku justru suka dengan perubahan itu. Terutama karena dia jadi punya banyak waktu untukku. Apa mungkin rasa sakit bisa mengubah sifat dan kebiasaan seseorang.
Aku bangkit dari duduk. Bersamaan dengan suara ponsel berbunyi. Bre mengeluarkan benda itu dari saku celananya.
Kulirik ponsel Bre, sebaris nama memanggil-manggil di layar ponsel itu. RUMAH!
”Oh ya… selepas jam kantor aku juga akan pulang ke rumah. Aku rindu pada Brina dan Bryan!”
Baca juga:Bulan Ketujuh Kalender Lunar
Ponsel itu kemudian diletakkannya di telinga. Sambil menjawab telepon, Bre berjalan meninggalkanku. Suaranya terdengar sangat bersemangat. Sebesar semangat yang ditunjukkan oleh langkah-langkah kakinya yang bergerak menjauh dariku.
Aku tercenung, menatap kepergiannya dalam diam.
Mendadak terngiang kembali kata-kata Ibu.
”Kamu hanya persinggahan baginya Kirana. Sejauh apa pun seorang lelaki pergi, dia pasti akan kembali ke rumahnya, tempat di mana istri sah dan anak-anaknya menunggu. Seperti ayahmu yang kembali ke istri pertamanya setelah puas bemain hati bersama Ibu, hingga kau terlahir ke dunia. Apa kau ingin mengulang kesalahan yang pernah Ibu lakukan?”
Gerimis kecil mendadak menggenang di mataku.
***Triana Rahayu, lahir di Langsa, Aceh, dan kini berdomisili di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan alumnus Institut Pertanian Bogor. Karyanya telah terbit di sejumlah media cetak dan daring, seperti majalah Femina, majalah Kartini, tabloid Nova, koran Media Indonesia, dan Cendana News.