Main Belakang
Pertemuan John Kardit dengan Marni tak terjadi begitu saja.
Semilir angin berembus. Dedaunan kering bergulir menyapu tanah. Pohon glodokan tiang berjejer rapi di antara ruas jalan. Kendaraan seperti mobil dan motor berlalu-lalang, mengisi setiap sudut kota yang padat dan penuh polusi. Di atasnya, terik mentari membakar sampai ke tulang. Meninggalkan jejak keringat di kulit setiap orang.
Seorang wanita muda tampak melintas ke seberang jalan. Mencari tempat berteduh untuk menghindari terik. Ia mengibas-ngibas ke wajahnya sebuah buku yang sedari tadi dipegang, tampak kegerahan. Adapun sebuah setelan kasual dikenakan di tubuhnya yang padat dan berisi. Ia baru saja selesai mengikuti perkuliahan di kampus.
Wanita muda itu berperawakan manis. Hidungnya mancung kulitnya putih. Walau ber-make up seadanya, tak sedikit pun mengurangi keindahan rupanya. Lalu, ia mengedarkan pandangan. Sedang mencari sosok yang ditunggu-tunggunya sedari tadi. Sejurus kemudian ia tampak kesal. ”Ondeh mana sih, Da John. Udah capek begini, belum juga datang.”
Usai berkata demikian, sebuah motor Supra butut berwarna hitam berhenti di depannya, dengan sosok lelaki berjaket hijau lengkap mengenakan helm berwarna senada, bila dilihat-lihat macam sopir Gojek menunggu penumpang. Ia mengklakson berulang kali. Meminta wanita muda itu untuk segera menghampiri.
”Dari tadi Marni tunggu Uda.”
”Maaf, tadi Uda ada sedikit urusan. Jangan kesal gitu, dong!”
”Gimana ndak kesal, udah capek, nih!”
”Sudahlah, cepat naik!”
Marni memandangi motor lelaki yang dipanggilnya Uda itu.
”Kenapa?”
”Mana motor Satria RX-King, Uda?”
”Uda tinggalkan di rumahmu.”
”Kenapa?”
”Tak mengapa. Ayolah naik, Marni! Panas ini.”
”Ya iya.”
Kedua sejoli itu segera melaju, membelah jalanan lenggang yang tak pernah tampak lengang. Meski hiruk pikuk bertebaran di sekeliling jalan, Marni tampak santai memeluk dari belakang sosok pria yang ada di depannya, yang sudah tiga bulan ini resmi menjadi tunangannya. Ketika berhenti di lampu merah, ia bahkan tak peduli dengan tatapan orang-orang. Tambah didekapnya erat-erat badan kekar lelaki yang bernama John Kardit itu.
"Marni, Uda malu dilihat orang. Jangan begitu!" John Kardit menepis tangan Marni dengan lembut. Ia betulan risih dengan sikap Marni yang kadang tak tahu tempat dan suasana.
"Uda ndak cinta pada Marni." Marni semakin mendekap erat pelukannya, macam bocah kecil yang merajuk di atas motor. John Kardit sontak berdecak kesal. Ia mengembuskan napasnya gusar.
Sudah hampir dua tahun memadu kasih hingga berakhir bertunangan, sikap Marni tak pernah berubah. Meski cantik dan banyak yang suka, tetap saja ia memilih sosok dirinya yang miskin dan apa adanya. Bahkan, dulu ia sering menumpang hidup pada Marni. Katakanlah untuk sekedar makan sehari-hari, kadang sering dibuatkan dan diantarnya ke kontrakan. Seringkali ia merasa tak enak hati. Belum lagi masalah harga diri lelaki. Tapi, ia tak punya pilihan. Hidup di perantauan memang keras dan banyak cobaan. Orang tua di kampung tak sedikit pun memberikan bekal tujuan selain doa dan harapan. Beruntung ia bertemu sosok Marni yang hingga saat ini masih mendekapnya erat dan mencintai dirinya. Tapi...
Belum selesai dengan lamunannya, John Kardit dikejutkan dengan bunyi-bunyi klakson dari belakang. Pertanda lampu merah sudah hijau dan mesti jalan. Ia pun kembali melajukan motornya. Sesekali menambah kecepatan.
Sesampainya di rumah Marni, seorang wanita paruh baya menghampiri mereka berdua, menaruh segelas es teh dan sepiring agar-agar di atas meja. Mempersilakan dengan senyum ramahnya John Kardit untuk duduk sembari menunggu Marni berkemas mandi.
"John, perkawinan kalian sebentar lagi, sudah sampai mana persiapan kamu, nak?"
Sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, John tampak enggan menjawab pertanyaan dari calon mertuanya itu.
"Yah, Mama sekedar bertanya."
"Belum sampai mana-mana, Ma. Sebab kesibukan akhir-akhir ini di ladang sawit Papa..."
"Ondeh si pak tua itu memang ndak mengerti. Jelas-jelas calon menantunya mau kawin, masih saja disuruh ngurus-ngurus sawit. John, jangan banyak bermain di ladang sawit lagi, ya!"
Sudah hampir dua tahun memadu kasih hingga berakhir bertunangan, sikap Marni tak pernah berubah. Meski cantik dan banyak yang suka, tetap saja ia memilih sosok dirinya yang miskin dan apa adanya. Bahkan, dulu ia sering menumpang hidup pada Marni. Katakanlah untuk sekedar makan sehari-hari, kadang sering dibuatkan dan diantarnya ke kontrakan. Seringkali ia merasa tak enak hati.
Mama Marni tampak kesal. Sejurus kemudian ia kembali tersenyum ramah. John Kardit mendesah pelan, ia sedikit tak nyaman dengan kalimat terakhir Mama Marni. Sejenak ditatapnya segelas teh es yang bulir-bulir air sudah kelihatan di permukaan gelasnya itu. Betapa menggiurkannya di saat-saat cuaca terik begini. Tanpa ba-bi-bu John segera meneguknya. Merasakan kenikmatan yang teramat sangat mengalir membasahi kerongkongannya yang sedari tadi sudah kering.
Asyik dengan kegiatannya, Mama Marni kembali melontarkan pertanyaan. "John! Kalau nanti sudah menikah mau tinggal di mana? Mama, sih, berharapnya kalian tinggal di rumah Mama saja. John tahu, kan, Mama ndak bisa pisah dari Marni."
John Kardit menaruh kembali gelas teh es yang sudah diteguknya itu. Ia memaksakan senyumannya di hadapan Mama Marni yang cerewetnya tak dapat terbendung. Belum lagi karakternya yang suka dipuji dan umbar kekayaan sana sini. Bila Marni juga demikian, tak sedikit pun ia betah melanjutkan hubungan ini hingga ke tahap pertunangan. Beruntungnya tidak.
Sejenak ditatapnya Mama Marni lekat-lekat. Memang, wanita paruh baya itu suka berlebihan perihal penampilan. Bahkan, di dalam rumah saja ia tak segan memakai semua koleksi baju mahal yang dibelinya. Ber-make up pun juga tak seadanya, tak seperti Marni. Hampir tiga tahun ia menjalin hubungan dengan keluarga Marni. Jelas mengetahui sisi-sisi lain keluarga ini. Bila kedua orang tuanya tampak glamor dan menonjol, maka Marni tak demikian. Bila kedua orang tuanya makan dengan sesendok kaviar di pagi hari, maka Marni hanya makan dengan sebakul beras ketan putih ditambah tumis sayur kangkung dan ikan teri. Sungguh perbedaan yang tak dapat terperikan. Hampir-hampir John Kardit berpikir bila Marni bukan darah daging dari kedua pasutri itu. Namun, tentu saja pemikiran itu tidaklah benar.
Sebetulnya, sebagai perempuan muda yang masih cantik dan perawan, hampir tak ditemukan celah pada Marni. Hampir tak punya alasan setiap pria mengapa mesti meninggalkan dirinya. Selain cantik ia juga sederhana. Tulus menerima orang-orang rendahan seperti dirinya. Belum lagi, Marni berasal dari keluarga yang berada. Papa Marni seorang tuan tanah sekaligus pemilik lima hektar ladang sawit yang berpusat di daerah Pesisir pulau Sumatera. Belum lagi latar belakang keluarga Mama Marni yang sukses berdagang kain hingga ke pulau Jawa. Semestinya mereka bermenantukan orang kaya yang potret kehidupannya juga setara. Tak seperti dirinya yang dahulu diterima dalam keadaan kucel dan tak memiliki apa-apa.
Singkat cerita, pertemuan John Kardit dengan Marni tak terjadi begitu saja. Saat ia pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota, tak sengaja dilihatnya sosok wanita muda hendak melompat ke bawah jembatan dekat perempatan jalan. Walau awalnya tak merasa memiliki urusan, ia berkeyakinan bila wanita itu masih memiliki keluarga yang tak ingin ia berbuat demikian. Langsung saja sekuat tenaga ia berlari, menahan tangan wanita itu keras-keras agar tak terjatuh dari jembatan yang di bawahnya adalah rel kereta api. Ia angkat segera wanita itu. Orang-orang yang tadinya tak memperhatikan jadi berkerumun menyaksikan.
John Kardit menatap wanita muda itu. Bibirnya tampak pucat dan matanya sayu. Sejurus kemudian ia menangis tersedu-sedu di pelukannya, tampak stres dan butuh sandaran.
"Adiak, kenapa Diak? Saya tahu Adiak mau bunuh diri. Astaghfirullah Diak, ndak boleh seperti itu! Merusak harga diri dan kepercayaan Tuhan..." John Kardit tampak panik menenangkan wanita muda yang masih saja tersedu-sedu itu. Di sela-sela tangisannya, ia menatap padanya.
"Tak ada gunanya saya hidup..."
"Kenapa begitu, Diak?"
"Orang yang saya cintai berkhianat. Lelaki brengsek itu!" Tangisannya semakin pecah dan mengundang bisik-bisik orang sekitar yang berkerumun namun tak berniat menolong. Manusia di kota-kota memang tak ada otak. Batin John emosi. Tak lama berselang, sebuah mobil sedan mengkilat menepi di sana. Keluarlah dua orang dengan tergesa-gesa. Si wanita menangis histeris dan si lelaki tampak khawatir. Mereka merangkul wanita muda itu dengan perasaan berkecamuk. Lelaki itu menatap John Kardit dengan penuh keputusasaan. "Terima kasih sudah menyelamatkan anak kami."
Saat itulah pertama kali John Kardit bertemu dengan Marni dan kedua orang tuanya. Ia sendiri dapat melihat betapa mereka merasa sangat berhutang budi. Bila ia tak segera menyelamatkan, tak akan dilihatnya lagi cahaya rembulan satu-satunya di kehidupan mereka. Hancurlah hati kedua orang tua yang membesarkan Marni dengan keringat dan darah air mata.
Seusai kejadian itu, Papa Marni banyak berkenalan dengan John Kardit. Menawarkannya untuk meminta apa saja yang ia butuhkan guna membalas budi dan kebaikan. Walau awalnya menolak, John Kardit kemudian berpikir bila tak ada salahnya menerima tawaran itu. Ia tak muluk-muluk. Meminta ingin dipekerjakan sebagai pekerja kasar saja di perusahaan Papa Marni. Orang tua itu tampak keberatan. Tak lama, ia berkeputusan bila John Kardit bekerja sebagai supir pribadinya saja. Ia yakin orang miskin polos seperti John Kardit tak akan macam-macam. Benar saja, selama ia bekerja dengan keluarga Marni, tak sekalipun ia malas-malasan apalagi mengecewakan. Kerjanya bersih dan memuaskan. Ia tak pandai menjilat pada majikannya dan hanya bekerja sesuai yang diperintahkan.
Tak hanya loyal pada kedua orang tua Marni, John Kardit juga dekat dengan wanita muda itu. Pasalnya, ia saban hari mengantar Marni ke kampus seusai mengantar Papa Marni bekerja. Dari rutinitas itulah mereka sering bertemu dan saling bertukar cerita. Selayaknya seorang yang lebih tua dari Marni, ia sering menasehati Marni perihal ada banyak hal yang mesti disyukuri dalam hidup ini. Termasuk mengikhlaskan orang tercinta yang tak dapat lagi dimiliki. Menurut cerita-ceritanya, ia tahu Marni sangat lemah pada lelaki. Ibarat kata, ia rela memberikan segalanya demi orang yang ia cintai dapat hidup bahagia. Oleh sebab itulah, ia akan sangat tersakiti bila dikecewai.
Seiring berjalannya waktu, begitu cepat Marni mengagumi sosok John Kardit. Baginya, tak ada lelaki setulus dirinya. Ia jatuh dalam perangkap cinta seorang lelaki kampung yang tadinya tak memiliki apa-apa. Ia terang-terangan mengatakan bahwa ia memiliki perasaan itu di dalam hati. Bahkan, ia meminta John Kardit untuk bersedia menjadi kekasih hatinya. John Kardit yang tak percaya drama-drama semacam sinetron itu terpaku tak percaya. Walau sejujurnya ia juga menaruh hati pada Marni, tapi ia tak berani sampai sejauh itu. Pasalnya, kedua orang tua Marni sangat ketat dan protektif. Algojonya saja berdiri kanan kiri di dekat pagar rumahnya saban hari. Ia takut bila nanti dipukuli dan diinterogasi.
Tapi, tanpa diduga kedua orang tuanya sangat menyetujui hubungan mereka. Baginya, John Kardit sudah dianggap layaknya anak sendiri. Perihal menjaga kesetiaan pada Marni, tentu tak diragukan lagi. Oleh sebab itu, ia akhirnya dengan senang hati menjalani.
Setelah diresmikan memadu kasih, hubungan keduanya berjalan dengan normal. Bahkan sangat menguntungkan bagi John Kardit. Bagaimana tidak? Ia mendapatkan semua yang diinginkan. Sedan Suzuki Baleno, RX-King, kontrakan layak huni dan lain-lain didapatkannya dengan cuma-cuma. Bahkan, ia tak lagi bekerja sebagai supir pribadi tuan tanah itu, melainkan sebagai tangan kanannya dalam mengurusi lima hektar ladang sawit. Tak hanya itu, ia juga membelikan rumah baru di kampung untuk kedua orang tuanya. Ibarat kata, kehidupannya sangat berbalik 180 derajat sebab tercebur ke dalam ladang kekayaan keluarga Marni hanya dengan menarik hati anak perempuannya yang cantik. Tapi, sebab berbuat demikian, hingga sekarang ia tak bisa hidup dengan tenang. Alasannya...
"Uda sudah telpon Amak dan Apak di kampung?"
Marni dan John berdiri di halaman belakang, memandang ke arah kolam ikan milik keluarga itu. Sesekali memberi makan dengan melempar segenggam pelet, lalu berjalan beriringan sembari bercakap-cakap perihal perkawinan mereka yang mesti segera dilaksanakan.
Marni berterus-terang tak ingin menunggu sampai wisuda. Ia tak sabar membangun rumah tangga dengan sosok John Kardit yang begitu dicintainya. Seperti tak ada lelaki lain lagi di muka bumi ini. Tapi, memang cinta dapat membutakan hati dan pikiran. Bisa saja itu yang sedang terjadi pada Marni saat ini.
"Belum, Marni."
"Kenapa belum?"
"Tak sempat Uda melakukannya. Sibuk mengurusi sawit."
"Halahh sudahlah, Da. Dari kemarin alasan begitu terus. Uda niat ndak, sih, menikahi Marni? Masa menelepon saja tidak bisa..."
"Kamu ndak mengerti, Marni! Ini bukan masalah menelepon untuk memberitahu atau tidaknya..."
"Lalu?"
John Kardit termenung sesaat. Ia tampak memikirkan kata-kata apa yang selanjutnya mesti diucapkan. Marni di depannya ini memang cantik dan memikat, tapi sebetulnya ia sangat manja dan kadang bertindak tidak dewasa. Apakah ia akan mengerti bila ia panjang lebar menjelaskan dengan kata-kata?
"Karena saya ragu." Akhirnya John Kardit mengeluarkan kata-kata itu dengan susah payah di bibirnya. Bisa ditebak ekspresi Marni langsung berubah seketika. John yang melihat itu mengusap wajahnya gusar. Ia tampak frustasi. Marni yang tak mengerti mencoba menahan emosinya. Ia mendekat pada John Kardit.
"Ragu? Tak apa, perasaan semacam itu pastilah suka melanda orang yang mau kawin..." Ucap Marni dengan memaksakan senyumannya. Sebetulnya, ia tak benar-benar memaklumi. Dadanya sesak. Ia tak berharap kata-kata seperti itu keluar dari bibir John Kardit. Ia pikir selama ini lelaki itu juga ingin segera mempersuntingnya sebagai istri. Marni melanjutkan ucapannya. "Bila Uda ragu sebab status keluarga kita yang berbeda, maka itu tidaklah tepat dijadikan sebagai sebuah keraguan."
John Kardit menangkup wajah Marni dengan kedua tangannya. "Tidak. Bukan begitu, Marni. Saya ..."
"Apa?"
Hembusan angin kala itu mendukung keironisan situasi dan bergetarnya suara Marni. Entah mengapa ia tak siap mendengar lanjutan ceritanya. Dalam hati yang paling dalam, hari itu adalah sebuah momen terakhir ia dapat melihat sosok John Kardit yang bertahun-tahun sudah menyembuhkan luka di hatinya. Selama bersama, tak sekalipun ia menemukan kebohongan pada diri John Kardit. Hanya saja, akhir-akhir ini ia tak mengerti mengapa John Kardit sering menghindari pertemuan dengannya dan terlalu sibuk di ladang sawit.
Ia sudah sering tersakiti, bahkan hampir bunuh diri. Ia pikir bersama John Kardit adalah yang terakhir kali. Tapi, ia tak mau cepat menyimpulkan. Siapa tahu lelaki di depannya ini punya alasan lain.
Marni segera menepis tangan John Kardit dari wajahnya, untuk kemudian ia genggam erat di dada. Sangat erat. Ia melepaskan sejenak sikap kekanak-kanakan dan emosionalnya.
"Tak apa, Uda. Beritahu saja! Marni siap mendengarkan. Bukankah selama ini kita sudah sering bersama?!"
Marni tersenyum tulus dan menelusuri wajah John Kardit dengan telapak tangannya. Dalam hati ia berpikir wajah yang tak begitu tampan ini sudah sejak lama berhasil memikat hatinya. Tak sudi bila ia lepaskan begitu saja. Keyakinan akan segera bersama begitu mengakar di dalam nuraninya. Entah ia buta cinta entah nelangsa, ia tak pernah mau memperdulikan hal itu. Yang jelas, John Kardit sekarang ada di dalam genggamannya. Ia banyak bertumpu hidup selama ini pada ia dan kedua orang tuanya. Tak mungkin ia bertindak sampai di luar harapan seperti meninggalkan dirinya sebab memiliki perempuan lain di luar sana.
"Tapi, bila Uda tak berniat memberitahu alasannya sekarang tak mengapa. Marni siap menunggu kapan saja..."
"Tidak. Saya akan memberitahu sekarang juga. Agar semuanya jelas dan tak berakhir kecewa."
Marni melepas genggamannya. Tiba-tiba muncul perasaan tak enak. Kali ini ia tak bisa sabar menunggu. Tapi, ia juga tak siap bila sesuatu itu adalah kata-kata yang tak ingin ia dengar seumur hidup.
"Saya banyak berhutang budi padamu dan kedua orang tuamu, Marni."
"Tak masalah, lupakan itu..."
"Tolong dengarkan saja! Saya belum selesai bicara."
"Maaf, lanjutkan!"
"Siapa yang tak menyukai dirimu. Kamu cantik dan sederhana,"
John Kardit sekali lagi berjalan mendekati Marni. Ia menelusuri bibirnya. Menatap lekat-lekat wajah cantik itu. Walau kali ini tatapannya tak sama seperti sejak pertama kali mereka memadu kasih, terlihat sayu dan putus asa. Seolah begitu berat beban yang hendak dipikul setelahnya bila mengungkapkan alasan di balik keraguannya.
Baca juga:Jasa Perancang Skenario Hantu Kejahatan
"Ada apa ini, Da. Langsung saja!" Air mata Marni tiba-tiba tumpah. John Kardit bahkan belum mengucapkan hal inti yang hendak disampaikan.
"Saya ingin berkata jujur padamu, tapi di lain sisi saya takut kejujuran itu membuat saya kehilangan segalanya. Tidakkah kamu mengerti..."
"Gila. Bagaimana bisa saya mengerti bila kamu setengah-setengah begitu! Cepat katakan saja kejujurannya!"
"Saya cinta padamu. Sangat cinta. Kamu pikir cuma-cuma saya sembuhkan luka di hatimu itu, ha? Tidak! Tapi, saya tak ingin hidup dalam penyesalan suatu hari nanti.”
Marni frustasi. Ia menjambak rambutnya sendiri. Melihat John Kardit yang tampak gusar dan tak kunjung menjelaskan inti keraguan, ia semakin tak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Keraguan apa? Penyesalan dan kejujuran apa? Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan di kepalanya bagai hujan kerikil yang menggoreskan banyak luka. Tunggu, semestinya ia tak ikut frustasi. Semestinya ia bisa menenangkan John Kardit dan perlahan-lahan mengatakan kejujuran yang hendak disampaikannya itu, bukan?
Tiba-tiba John Kardit menggenggam tangan Marni erat. Seperti mendapatkan pencerahan entah dari mana, sekali lagi ia telusuri wajah Marni dengan serius dan lekat-lekat. Hal itu membuat Marni sedikit takut dan mundur ke belakang. Siapa yang ia lihat di depan matanya saat ini tak seperti orang yang ia cintai selama ini.
“Begini saja, Marni. Bagaimana bila kita pergi dari sini dan membawa sejumlah uang...”
“Apa? Kamu gila, Da!”
“Tidak, aku tidaklah gila. Brengsek, ini demi keselamatan cinta kita berdua...”
“Kamu mengataiku brengsek?” Marni menghempas tangan John Kardit. Ia benar-benar tak mengerti setan apa yang tengah merasuki tunangannya itu. Tak sekalipun selama ini ia berkata kasar padanya.
“Oh, sayang, tidak seperti itu...” John tampak putus asa. Ia yang tadinya berjalan mendekati Marni, tiba-tiba langkahnya jadi terhenti. Ia mengusap wajahnya sekali lagi. Kali ini, ia tampak kesusahan mengendalikan emosinya. Ia terdiam selama beberapa saat. Kepalanya tertunduk ke bawah. Marni yang menyaksikan itu tampak bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada tunangannya. sejurus kemudian,
John Kardit mengangkat kepalanya. Ia kembali menatap mata Marni. “Sebetulnya, saya dalam keadaan bahaya...” John mengambil napasnya perlahan baru kemudian melanjutkan. “...Papamu tak akan pernah menyetujui hubungan kita.”
“Mengapa demikian, Uda?” Mendengar itu Marni buru-buru menghampiri John Kardit. Dibelainya wajah tunangannya itu dengan lembut. “Benarkah Papa tak menyetujui hubungan kita?”
“Benar.”
“Sebab kenapa?”
“Sebab di belakangmu, saya berhubungan dengan perempuan lain yang sering saya temui di ladang sawit. Beliau baru mengetahuinya kemarin sore dari koleganya. Pastilah ia akan membunuh saya.”
Hampir-hampir jantungnya berhenti berdetak. Sekali lagi ia berusaha mencerna apa yang baru saja disampaikan John Kardit. Betapa kalimat yang baru saja diucapkannya itu berhasil menghancurkan hatinya. Seolah sisi-sisi warna dalam sukmanya dianulir oleh warna hitam yang mendominasi. Tapi, ia masih saja tak ingin segera menaruh percaya. Ia mesti bertanya sekali lagi.
“Kamu bercanda, Da?”
“Tidak. Itulah kejujurannya. Sebab itu saya ragu mengawinimu...”
“Tidak, kamu juga takut, bukan?”
“Benar.”
Marni terpekur sesaat. Bibir dan tubuhnya bergemetar hebat.
“Apa kamu membuat keturunan dengan wanita itu?”
“Tidak.”
“Tak masalah, itu tak berarti apa-apa...”
“Apa kamu gila?”
“YA SAYA GILA BRENGSEK!!”
Air mata Marni tumpah. Ia berteriak di hadapan John Kardit. Ia tak kuasa menahan kesakitan hatinya. Ternyata apa yang selama ini menjadi ketakutannya beneran terjadi. Tapi, di sisi lain ia sungguh cinta pada John Kardit. Walau ia marah, ia tak akan sudi melepaskan lelaki itu. Ia tak akan rela kehilangan orang yang ia cintai lagi sebab perselingkuhan. “Ayo kita kabur saja jika begitu!” Marni menggenggam tangan John Kardit erat. Ia tersenyum dengan linglung. Meski ia mencintai Papanya, ia juga tak ingin kekasihnya mati begitu saja. John yang melihat itu seketika tersenyum tulus ke arah Marni. Benar saja, Marni tak mungkin marah apalagi meninggalkannya.
Baca juga:Langit Merah Gegunung
Ia yang tadinya takut seperti kembali mendapatkan keberanian. Lepas ini ia akan pergi jauh bersama Marni, membawa serta harta dan sisa kebahagiaan yang dimiliki.
Tapi, tatkala berbalik pergi, nahas sebuah pistol api ditodong ke arah wajah John Kardit. Marni yang melihat itu sontak syok dan terpaku di tempat. Pistol itu dipegang oleh Papa Marni sendiri, si tuan tanah yang wajahnya sudah tegang dan penuh amarah.
John Kardit yang sudah siap dengan apa yang akan menimpanya memejamkan mata. Menghirup hembusan udara yang mungkin saja hal terakhir yang dapat dirasakannya. Namun, belum sempat Papa Marni menarik pelatuk, sebuah suara menghentikan aksinya.
“Hentikan, Pa!”
Mama Marni berdiri di sana. Ia berjalan mendekat pada orang-orang yang tengah berseteru hebat itu. Matanya tampak sangat basah oleh air mata, hitam dan kelam. Seolah habis menangis histeris di kesendirian. Rambutnya terurai berantakan. Tak dilihat lagi sosok wanita paruh baya yang glamor dan percaya diri menebar kecantikan.
“Mengapa tak kau tembak saja dirimu sendiri, brengsek?”
Marni dan John Kardit luar biasa terkejut dengan ucapan Mama Marni. Tak terkecuali si tuan tanah, ia segera menurunkan pistol yang ada di tangannya. Ia memandang tak percaya pada istri sekaligus ibu dari anak perempuan satu-satunya itu.
“Apa pula maksudmu? Lelaki ini main wanita di belakang anak kita!”
“Kau marah karena wanita itu juga selingkuhanmu, kan?” Bibir Mama Marni bergemetar, ia seperti tak sanggup melanjutkan ucapannya. “...bahkan kau menghamilinya!”
Seketika semua orang terdiam. Dalam keheningan yang menikam itu, hanya terdengar suara kicauan burung perkutut yang terbang di atas mereka semua, seolah sedang menyaksikan pertunjukan kemelut kisah keluarga ini.
John Kardit berdiri di posisinya, terpaku tak percaya. Selama ini, ia pikir dirinya lah yang jahat dan berkhianat di keluarga ini. Kenyataannya, ada yang lebih tak berperasaan dan tega menyakiti anak istri sendiri. Marni yang mendengar itu semakin diburu perasaan berkecamuk. Ia tambah tak mengerti dengan drama kehidupannya. Mengapa tak satupun lelaki yang dicintainya memiliki kesetiaan. Sejurus kemudian ia tersungkur di tanah, memejamkan mata dan mengeluarkan setetes air mata yang warnanya tak lagi bening seperti sebelumnya.
***
Gisti Kartika. Berasal dari negeri sejuta pesona, Pesisir Selatan Sumatera Barat. Aktif menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa kali mengikuti lomba kepenulisan, seperti menulis puisi, cerpen, resensi buku, dan lain-lain. Saat ini, tengah menempuh pendidikan S1 Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang. Semasa kuliah ini, aktif mengirimkan karya cerpen ke dalam sebuah kompetisi menulis. Beberapa di antaranya meraih juara. Selain itu, sebuah karya beritanya (jurnalistik) pada tahun 2021 lalu sudah terbit di laman Bengkel Literasi Rakyat Sumbar, berada di bawah naungan surat kabar Rakyat Sumbar. Adapun sebuah puisi juga berhasil terbit di sana. Apabila ingin mengetahui lebih jauh tentangnya, bisa melalui email gistirikardo@gmail.com dan Instagram @gigiiikr_.