Ngidam Babi
Matahari sedang garang-garangnya. Titik kulminasi. Siang kerontang, orang-orang kampung waswas. Segera memasuki rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Sebagian nekat, melihat dari balik pintu, atau pun mengintip.
Seekor babi hutan, besar dan hitam, terseok memasuki perkampungan. Sepasang matanya menyalang seperti mengancam. Sepasang taring tajam panjang menebarkan kengerian. Si babi hutan semakin jauh memasuki perkampungan. Dalam waktu sekejap, perihal keberadaan babi tersiar ke ratusan warga, menebar suasana panas dan mencekam.
Matahari sedang garang-garangnya. Titik kulminasi. Siang kerontang, orang-orang kampung waswas. Segera memasuki rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Sebagian nekat, melihat dari balik pintu, atau pun mengintip. Mengawasi dan memantau keberadaan babi hitam yang berkeliaran di jalanan kampung. Seseorang pemberani memotret, dan menyebarkan gambar babi ke orang-orang kampung.
“Babi dari mana? Bukankah perkampungan ini jauh dari hutan?”
“Babi kesasar, eh tersesat kali.”
“Seperti mencari sesuatu. Mungkin ia mencari kawannya.”
“Babi ngepet mungkin, Kang. Kepagian pulang.”
“Babi siluman atau babi asli kita baru tahu kalau sudah tertangkap.”
“Siapa berani menangkap babi? Kalian lihat tubuh dan taringnya. Seram.”
“Kita tembak saja!”
“Jangan! Kalau kita tembak dan ternyata si babi jelmaan orang, itu sama saja kita sudah membunuh orang.”
“Babi siluman kagak mati kena tembak.”
“Kata siapa, Cong? Konon kalau kita pakai peluru emas, babi siluman ataupun orang yang pakai ilmu kebal bisa mampus!”
“Kita pasang perangkap saja. Kita tangkap babi hidup-hidup!”
“Bagaimana cara bikin perangkap babi?”
“Aku dulu pernah diajak berburu babi. Aku masih ingat cara bikin....”
Orang-orang bersatu, bahu membahu membuat perangkap. Babi terperosok dalam kandang jebakan. Babi tertangkap. Babi tiada berdaya. Orang-orang bersorak. Beramai-ramai menghabisi si babi. Si babi disembelih, dagingnya dibagi-bagi. Untuk pesta.
***
Baca juga:Kematian yang Indah
Keesokan harinya, seorang perempuan muda memasuki perkampungan. Langkahnya tertatih, terhuyung. Matahari sedang garang-garangnya membakar tanah basah sisa hujan semalam. Si perempuan asing memilih berhenti. Lelah. Gundah.
Pada sebuah pos ronda ia berteduh. Aku merasakan bau suamiku di daerah sini, dekat dari sini, gumam si perempuan muda berpipi tirus, berambut panjang lurus. Berperawakan tinggi lencir. Wajahnya terlihat ayu, tapi ia terlihat lelah. Tak bisa dipungkiri. Berhari-hari ia mencari jejak sang suami. Demi apa pun aku harus menemukan dan menyelamatkan suamiku, batinnya. Si perempuan layu hendak membaringkan tubuh, melepas lelah, ketika seorang pemuda menghampiri, melarangnya. “Jangan tidur di situ, Mbak. Kotor. Tempat babi disembelih.”
“Babi?”
Si perempuan tersengat. Ia buru-buru bangun.
“Mbak sepertinya orang jauh. Kelihatan lelah.”
“Saya...”
“Minumlah dulu air ini, Mbak.” Pemuda memberikan sebotol minuman. Perempuan hanya minum seteguk, parasnya menyiratkan kekhawatiran. “Babi itu... apa maksudmu, Nak?”
“Kemarin siang seekor babi kesasar masuk kampung ini. Babi dijebak, masuk perangkap. Babi ditangkap, dibunuh, dijadikan pesta semalam suntuk.”
“Pesta babi?”
“Ya. Tapi saya tidak ikutan. Saya muslim, haram makan daging babi.”
“Semalam yang dibunuh... babi hutan atau babi putih, peliharaan?”
“Babi hutan. Hitam. Besar dan bertaring. Seram. Tapi aneh, saat penduduk memburu babi itu, si babi seperti ketakutan. Tak bisa melawan. Taring seperti hanya untuk pajangan. Jangan-jangan taring palsu, hahaha.” Si pemuda yang tengah tertawa betapa tak tahu bahwa paras perempuan asing di hadapannya, tiba-tiba berubah memerah, seperti menahan marah. Sesaat saja. Detik berikutnya si perempuan terlihat nelangsa, gambaran seorang ibu yang tengah membutuhkan pertolongan. Suaranya terdengar seperti orang merintih kesakitan, memerlukan obat penyembuh luka.
“Oh, bisakah kau membantuku, Nak. Aku sedang hamil dan ngidam babi. Suamiku sudah beberapa hari pergi berburu babi ke hutan. Demi memenuhi ngidamku. Suamiku tidak pulang-pulang. Aku menyusulnya, mencari jejaknya. Tapi belum ketemu. Berhari-hari aku berjalan kaki, antara mencari suamiku dan memenuhi ngidam jabang bayiku. Nak, bisakah kau carikan aku sepotong daging, darah, ataupun sehelai bulu babi demi ngidamku.”
“Kau ngidam babi?”
“Iya, Nak. Tolong carikan sepotong daging. Jika pun tak ada, boleh darah. Atau jika tak ada darah, bulu babi yang baru saja dibantai warga bisa kau berikan padaku. Kau mau menolongku, kan, Nak?”
“Baiklah,” si lelaki muda merasa jatuh iba. “Aku kan mendatangi rumah kerabatku yang semalam ikut pesta babi.”
“Ya. Aku akan tetap di sini. Menunggumu sampai kembali, Nak.”
***
Si teruna tampan pergi. Si perempuan yang mengaku ngidam babi termenung di pos ronda. Tadi dia merasa mengantuk. Sekarang rasa lelah dan kantuk entah telah terbang ke mana. Harapan bahwa suaminya bisa ditemukan, memicu gairah hidupnya. Terbayang sosok jantan cinta pertamanya. Mereka menikah atas nama cinta, meskipun terlahir sama-sama orang tak berpunya. Malangnya terlahir miskin dan dipandang sebelah mata. Ia dan suami sepakat mengubah nasib. Seorang kawan mengenalkannya pada juru kunci Bukit Babi.
Mereka mengadakan perjanjian pesugihan babi ngepet. Menukar nyawa demi harta duniawi. Kelak bila tiba saatnya menjadi tumbal siluman babi. Sejoli suami-istri yang bosan hidup dalam kemiskinan pun menyetujui. Maka, sang juru kunci yang merangkap sebagai dukun memberi ilmu ajian babi ngepet pada mereka. Dengan memiliki ilmu malih rupa, setiap membaca rapal, mereka akan berubah wujud menjadi siluman babi. Siluman babi jantan dan betina. Siluman babi berkeliling, mencuri harta warga. Berlaksa kala mereka berhasil. Sial, petaka datang. Malam itu, si istri lupa mematikan lampu, dan si babi jantan kebingungan pulang.
Oh, bisakah kau membantuku, Nak. Aku sedang hamil dan ngidam babi. Suamiku sudah beberapa hari pergi berburu babi ke hutan. Demi memenuhi ngidamku. Suamiku tidak pulang-pulang. Aku menyusulnya, mencari jejaknya. Tapi belum ketemu. Berhari-hari aku berjalan kaki, antara mencari suamiku dan memenuhi ngidam jabang bayiku. Nak, bisakah kau carikan aku sepotong daging, darah, ataupun sehelai bulu babi demi ngidamku.
“Jika si babi dibunuh, dibantai, bahkan dicacah orang, aku bisa menghidupkannya lagi.” Tergiang pesan sang juru kunci Bukit Babi.
“Benarkah, Ki?” tanyanya saat itu.
Secepat kilat si juru kunci menebaskan pedang di leher si babi jantan-jelmaan suaminya. Babi pun roboh ke tanah, mati. Si perempuan tercekat. Belum pulih dari keterkejutan saat sang juru kunci mendekati bangkai babi, mengusap leher babi yang menganga. Diusapnya. Ajaib, si babi bangkit, hidup lagi. Luka di lehernya sembuh, tanpa meninggalkan bekas luka.
“Apa maksudnya ini, Ki?”
“Jika kalian terluka, bahkan mati, aku bisa menghidupkan kalian lagi asalkan bisa membawakan sepotong daging, tulang, atau helai bulu babi.”
***
Baca juga:Manusia Kelelawar
Si perempuan termenung di pos ronda. Hatinya tak tenang, namun ia masih punya harapan. Mungkinkah babi yang ditangkap warga memang penjelmaan suaminya? Oh, jika kenyataan begitu, apa gunanya ia hidup jika orang tercinta telah tiada? Ah, tapi ia masih punya harapan. Juru kunci bisa menghidupkan suaminya. Asal ia bisa memenuhi syaratnya. Semoga lelaki muda bisa mendapatkan sepotong daging babi, setetes darah, atau sehelai bulu babi pun tidak mengapa.
Si perempuan muda mengelus perutnya. Oh, anakku, mungkinkah kau lahir tanpa seorang ayah? Oh, suamiku yang tampan kembalilah. Lupalah kau aku sedang hamil dan ngidam? Aku ngidam babi, tapi hanya babi penjelmaanmu. Hanya kau lelakiku yang mengerti aku dan membuatku bahagia. Sekarang mengapa kau tega meninggalkanku. Bukan, bukan salahmu, tapi keteledoranku, mengapa malam itu aku tertidur dan lupa menjaga nyala lilin.
Oh, suamiku maafkanlah aku. Aku kan menebus dosa. Aku kan berjuang agar kau hidup lagi, kembali bersamaku. Hidup membesarkan anak kita.
“Mbak....” suara itu memintas lamunan. Oh, dia sudah datang suamiku. Dia yang menolongku.
“Ya. Mana daging dan darah babinya. Agar ngidamku terwujud dan anakku tak ngiler. Kau berhasil membawanya untukku? Jika tak daging atau darah babi, mungkin bulu atau tulang babi....”
Si pemuda muncul, tertegun mendengar si perempuan yang sangat mendamba ngidam babi, hingga ia sesaat tercekat diam. Beberapa saat baru si teruna perlahan berkata-kata. “Maafkan, aku sudah mencari daging babi, tulang, bulu, tidak ada yang tersisa, bahkan tak ada yang menyimpannya. Dini hari tadi hujan turun lebat, sungai meluap. Orang-orang membuang sisa pesta ke sungai. Kau bisa menyusuri sungai, mencarinya. Jika beruntung, kau menemukannya. Mengapa kau tak ngidam yang lain saja. Babi itu jorok dan haram!”
Si pemuda hanya bermaksud bercanda. Si perempuan muda murka, malih rupa, wujudnya berubah menjadi babi betina yang mengerikan!
***
Kota Ukir, 02 November 2022
Menulis prosa dan puisi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Founder komunitas Akademi Menulis Jepara(AMJ). Buku karyanya Perjaka, Balada Orang_orang Tercinta, Perempuan yang Ngidam Buah Nangka, dan Karimunjawa Love Story. Buku terbarunya jelang terbit, Hujan Beras.